Kedutaan Besar Republik Islam Iran di Kabul, Senin malam (5/4) mengeluarkan statemen yang isinya menepis klaim Kepala Staf Militer AS, Michael Mullen. Panglima militer AS di Afghanistan ini menuding Republik Islam Iran mengirim senjatanya ke kelompok Taliban di Kandahar, Afghanistan.
Menurut statmen itu, klaim Mullen adalah tudingan yang tak berdasar. Menjelang operasi militer AS di Kandahar yang juga kawasan tidak aman di Afghanistan, Molen mengklaim bahwa pihaknya menerima laporan-laporan tentang pengiriman senjata ke kelompok Taliban oleh Iran.
Tudingan itu itu disampaikan saat Provinsi Kandahar dalam kurun satu bulan ini akan menjadi ajang konflik antara tentara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan milisi Taliban. Hal inilah yang menimbulkan kekhawatiran serius. Diprediksikan bahwa operasi militer mendatang di Kandahar akan mempunya nasib seperti operasi gabungan militer di Helmand yang malah banyak menelan korban dari kalangan warga sipil. Padahal klaim mereka ingin membasmi kelompok Taliban.
Sementara itu, Afghanistan saat ini membutuhkan kedaulatan nasional, independensi dan pengurangan serangan ke warga sipil. Oleh karena itu, Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, berulangkali menuntut pengokohan militer dan polisi negara ini. Dengan cara ini, pasukan keamanan Afghanistan dapat mengendalikan kemanan negara ini tanpa intervensi pihak asing. Tuntutan Karzi itu mengacu pada penarikan mundur pasukan asing dalam waktu secepatnya.
Pada dasarnya, tentara AS dan NATO tetap ingin bercokol di Afghanistan. Untuk itu, pasukan-pasukan pendudukan ini mencari kambing hitam untuk dijadikan alasan untuk tetap menjajah Afghanistan. Salah satu caranya adalah menuding Iran mengirimkan senjata ke kelompok Taliban.
Para pejabat Republik Islam Iran dan Afghanistan berulangkali menepis tudingan tersebut. Bahkan hingga kini, tidak ada bukti bahwa Iran mengirimkan senjata ke Taliban. Hal ini juga diakui oleh para pejabat Afghanistan. Sebaliknya, AS dan negara-negara yang bergabung dalam pasukan NATO malah tidak dapat menangani fenomena radikalisme dan perdagangan narkotika yang kian meninngkat di negara ini. Yang lebih parah lagi, radikalisme dan perdagangan narkotika kian semarak semenjak AS dan kroni-kroninya menduduki negara ini.
Tak diragukan lagi, stabilitas Afghanistan justru menguntungkan Republik Islam Iran. Akan tetapi sebaliknya, kondisi krisis di negara ini malah diharapkan oleh para penjajah. Untuk itu, Iran terus memandang sensitif perkembangan Afghanistan yang selalu menjadi ajang eksploitasi negara-negara arogan.
Sejak delapan tahun lalu, Afghanistan sudah dijajah, tapi kondisi di negara ini semakin semrawut. AS yang menjadi penjajah utama di negara, sudah semestinya menjadi penanggungjawab terhadap kondisi yang ada. AS saat ini benar-benar kewalahan di Afghanistan. Dalam kondisi terjepit seperti ini, AS seperti biasanya melempar batu sembunyi tangan. (mediaumat.com, 7/4/2010)