بسم الله الرحمن الرحيم
London, United Kingdom, 11 Juni 2008, Parlemen menyetujui sejumlah langkah yang intensif, langkah-langkah yang seandainya suatu rezim seperti rezim Zimbabwe dan Myanmar melakukannya, Inggris pasti akan memprotesnya. Saat ini orang yang dicurigai dalam kasus terorisme dapat ditahan di penjara dalam waktu lebih dari tiga bulan tanpa satupun tuduhan terlibat tindak terorisme. Jika undang-undang ini disahkan, itu artinya Parlemen telah mengizinkan penangkapan tersebut. Dengan dilakukannya voting atas langkah-langkah tersebut, hal itu telah membongkar kelemahan mendasar dalam sistem politik di Inggris. Disamping apa yang dilakukan oleh para politisi itu, media dan dinas keamanan mengekspos komunitas yang dicurigai. Jika langkah-langkah ini diloloskan, maka justru akan mendorong sistem keamanan Inggris menjadi menyerupai sistem inkuisisi liberal.
Taji Mustafa, representasi media Hizbut Tahrir Inggris, mengatakan: ”Gordon Brown sama sekali tidak menggunakan bukti atau prinsip tertentu untuk menggalang dukungan bagi undang-undang tersebut. Akan tetapi ia merujuk kepada kekhawatiran merosotnya popularitas partai. Ini tidak lain adalah contoh mutakhir dari permainan politik yang dijalankan oleh para politisi yang mempermainkan masalah keamanan. Dikatakan kepada kita bahwa 60 % rakyat mendukung langkah-langkah tersebut, yang (seakan) menunjukkan bahwa pemerintahan itu adalah untuk rakyat. Itu tidak lain merupakan permainan untuk membeli massa. Orang-orang yang berpura-pura suci itu mengklaim mereka ”menjaga kebebasan”. Klaim itu tidak lain sekedar permainan untuk memikat massa melalui tuntutan mereka untuk melarang dan mengkriminalisasi kelompok yang tidak mengadopsi kekerasan”.
”Kemungkinan lolosnya langkah-langkah yang keras ini mencuatkan lemahnya demokrasi liberal dalam hal yang berkaitan dengan perlindungan kepada rakyat dari penahanan sewenang-wenang dan proses legislasi. Prinsip-prinsip yang diklaim bersifat mendasar dan tetap, seperti asas pra duga tak bersalah, habeas corpus, dan kebebasan mengungkapkan pendapat, telah runtuh di hadapan apa yang disebut keamanan. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya demokrasi liberal tidak memiliki prinsip sama sekali. Dunia menyaksikan pemerintahan barat dengan mengatasnamakan keamanan melegitimasi penahanan 42 hari dan penyerahan orang-orang yang dituduh, penyiksaan dan pemenjaraan di teluk Guantanamo.”
”Meski keamanan digunakan sebagai dalih bagi pelaksanaan langkah-langkah seperti ini, tetapi alasan yang sebenarnya adalah kepentingan politik. Yang paling mandasar dan langgeng di dalam sistem ini tidak lain adalah prinsip-prinsip machiaveli. Hanya tinggal masalah waktu sampai prinsip-prinsip suci lainnya dikorbankan demi kepentingan politik. Sementara pada saat yang sama barat menyampaikan khotbah kepada dunia tentang keadilan dan hak asasi manusia. Apakah aneh kalau setelah itu kaum muslim dapat melihat jelas tipuan demokrasi liberal dan menyerukan tegaknya kembali sistem politik islam yang terepresentasi di dalam Khilafah yang meliputi dunia islam?”
”Sesungguhnya Khilafah yang tuntutan pendiriannya semakin bertambah kuat dari sebelumnya, memiliki prinsip-prinsip yang bersifat tetap di dalam kerangka kerja legalnya. Prinsip-prinsip itu tidak berubah karena adanya provokasi eksternal ataupun kepentingan politik. Syariah mengharamkan penyiksaan, spionase terhadap warga negara, hukuman yang bersifat retrospektiv dan tanpa proses pengadilan. Semua orang dipandang tidak bersalah sampai terbukti bersalah (asas pra duga tak bersalah). Di bawah konstitusinya, segala bentuk penahanan seperti di teluk Guantanamo atau Long Lartin di Amerika Serikat dan sejenisnya tidak akan diizinkan sama sekali.
Catatan untuk editor:
Hizbut Tahrir Inggris akan mengadakan seminar seputar kebijakan anti teror tersebut pada Selasa, 12 Juni 2008 pk. 6.30 sore di Frioends House, 173 Euston Road, London, NWI 2BJ.