Penyesatan Oleh Kelompok Liberal, Mencatut al-Imam ath-Thufi

BOLEHKAH FAKTA DIJADIKAN SUMBER HUKUM?

Soal:

Bolehkah menjadikan fakta/realitas sebagai sumber hukum? Benarkah menggunakan maslahat sebagai dalil, sama dengan menggunakan fakta/realitas sebagai sumber hukum?

Jawab:

Sumber hukum (mashadir al-ahkam), oleh ulama ushul fikih kadang juga disebut dalil hukum (adillatu al-ahkam) dan akar hukum (ushul al-ahkam), yaitu sumber yang dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan hukum (istidlal) maupun menggali hukum (istinbat).[1]

Para ulama ushul telah membagi sumber hukum tersebut menjadi dua, yaitu sumber yang disepakati (mashadir muttafaqah ‘alayha) dan sumber yang diperselisihkan (mashadir mukhtalafah fiha).[2] Ada juga yang membagi menjadi dua, yaitu dalil syar’i (al-adillah as-syar’iyyah) dan apa yang diduga sebagai dalil, padahal bukan dalil (ma dzanna annahu dalil, wa laysa bi dalil).[3]

Masalah mana yang layak dan tidak layak disebut dalil telah menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama ushul. Hanya saja, perlu digarisbawahi, bahwa sesuatu yang layak disebut sumber (mashadir), dalil (‘adillah) atau akar (ushul), kehujjahannya harus dinyatakan oleh dalil qath’i, dan bukan dalil zhanni. Dalam hal ini, Asy-Syathibi menyatakan, “Dalil-dalil yang dijadikan sandaran dalam ilmu ini (ushul fikih) tidak boleh tidak, kecuali harus qath’i.”[4]

Karena itu, kami menegaskan, bahwa yang layak disebut sebagai sumber hukum hanyalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Adapun yang lain, menurut kami, tidak layak dijadikan sebagai dalil, meski tetap bisa saja disebut sebagai syubhat dalil. Karenanya, hukum yang ditarik atau digali darinya tetap layak disebut sebagai ra’y[un] islami, atau hukum syar’i bagi orang yang menarik dan menggali hukum dari syubhat dalil tersebut, meskipun bagi kami tidak.

Adapun boleh dan tidaknya fakta menjadi sumber hukum, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang siapa yang berhak menjadi hakim (al-hakim); akal atau syariah? Dalam hal ini ada dua mazhab. Pertama: mazhab Syiah dan Muktazilah, yang menyatakan bahwa akal bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Kedua: mazhab Ahlussunnah, dan jumhur ulama kaum Muslim yang menyatakan, bahwa akal tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum.[5]

Perdebatan ini sebenarnya terkait dengan masalah taqbih wa tahsin (penentuan baik dan buruk). Bagi Muktazilah dan Syiah, akal berhak menentukan baik dan buruk, sementara bagi Ahlussunnah tidak. Bagi Ahlusunnah, penentuan baik dan buruk adalah otoritas syariah. Al-Qadhi al-Baqillani menyatakan:

اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ

Baik adalah apa yang dinyatakan baik oleh syariah, sementara buruk adalah apa yang juga dinyatakan buruk oleh syariah.[6]

Hanya saja, dalam rinciannya, para ulama Ahlusunnah membuat tiga kategori: Pertama: dilihat dari aspek mahiyah (fakta zat)-nya. Kedua: dilihat dari aspek sesuai dan tidaknya dengan fitrah manusia. Ketiga: dari aspek pujian dan celaan (madh wa dzamm); juga pahala dan dosa (tsawab wa iqab) dari Allah yang menyertainya. Pada kategori pertama dan kedua, akal bisa digunakan oleh manusia untuk memutuskan sehingga mereka bisa berkesimpulan, bahwa adil baik, jujur baik, curang tidak baik, bohong tidak baik, dan seterusnya. Namun, ketika adil, jujur, curang dan bohong itu dikaitkan dengan konsekuensi pujian dan celaan, juga pahala dan dosa dari Allah, maka akal tidak bisa. Karena itu, hukum syariah masuk dalam kategori ketiga. Dengan begitu, jelas akal tidak bisa dan tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum. Satu-satunya yang harus dijadikan pemutus adalah syariah.[7]

Inilah argumentasi pihak yang menjadikan fakta sebagai sumber hukum, yang secara syar’i maupun nalar, jelas tidak bisa diterima. Adapun argumentasi lain, sebagaimana yang disebut-sebut oleh pentolan JIL, bahwa fakta bisa dijadikan sebagai sumber hukum dengan menganalogikannya pada kasus mashalih mursalah, bahkan kemudian menisbatkan pendapat tersebut kepada al-Imam Najmuddin ath-Thufi (w. 716 H) dalam kitab Syarh al-‘Aba’in, sebenarnya merupakan kesimpulan yang gegabah, sekaligus menunjukkan dua hal: kebodohan yang bersangkutan dalam memahami ushul fikih, terutama pendapat ath-Thufi, dan niat tidak baik, yaitu membajak pendapat ath-Thufi untuk menjustifikasi sikap dan pandangannya.

Meski kami berpendapat bahwa maslahat (mashlahah) bukanlah dalil dan ‘illat hukum syariah, menggunakan maslahat sebagai dalil dan ‘illat hukum syariah tidak bisa disamakan dengan menggunakan akal atau fakta sebagai sumber hukum. Imam Abu Zahrah menyatakan, “Jumhur fuqaha tidak menjadikan akal sebagai hakim, tetapi mereka mengembalikan sesuatu yang tidak ada nashnya pada sesuatu yang dinyatakan oleh nash, dengan berbagai pendekatan yang berbeda. Ada yang menggunakan Qiyas, Istihsan, atau mengembalikannya pada Mashalih Mu’tabarah secara syar’i, meski tidak didukung dengan dalil khusus.”[8]

Dengan demikian, menggunakan maslahat sebagai dalil atau ‘illat hukum tidak bisa dianggap menggunakan akal atau fakta sebagai sumber hukum. Sebab, mereka masih merujuk pada nas, baik langsung maupun tidak.

Adapun pendapat ath-Thufi yang menyatakan:

وَرِعَايَةُ الْمَصْلَحَةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلاَم: (لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) وَإِنْ خَالَفَاهَا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْمَصْلَحَةِ عَلَيْهِمَا بِطَرِيْقِ التَّخْصِيْصِ وَالْبَيَانِ لَهُمَا وَلاَبِطَرِيْقِ الإِفْتِئَاتِ عَلَيْهِمَا وَالتَّعْطِيْلِ لَهُمَا، كَمَا تَقَدَّمَ السُّنَّةُ عَلَى الْقُرْآنِ بِطَرِيْقِ الْبَيَانِ.

Mengurus kemaslahatan yang diambil dari sabda Nabi saw. (Tidak boleh ada bahaya dan ancaman), jika keduanya (nas dan ijmak) bertentangan dengan maslahat, maka maslahat harus didahulukan daripada keduanya dengan cara menjadikan maslahat sebagai pen-takhshis dan penjelasan bagi keduanya, bukan dengan cara mengalahkan keduanya atau mengabaikannya, sebagaimana as-Sunnah didahulukan atas al-Quran dengan cara menjadikannya sebagai penjelasan.[9]

Pandangan ath-Thufi ini sebenarnya dalam konteks pembahasan tentang thariq al-jam’i (metode kompromi) di antara sejumlah dalil yang bertentangan. Beliau menegaskan, “Maslahat dan dalil-dalil syariah yang lain kadang sejalan, dan kadang bertentangan. Jika sejalan maka tentu cukup dengan itu…sebagaimana nash, ijmak dan maslahat sepakat untuk menetapkan lima hukum kulliyyah dharuriyyah…Jika keduanya bertentangan maka sebisa mungkin dikompromikan…Jika tidak mungkin dikompromikan, maka maslahat didahulukan ketimbang yang lain…”[10]

Adapun yang dimaksud dengan penjelasan beliau, “Bi thariq at-takhshish wa al-bayan lahuma (dengan cara menjadikan maslahat sebagai pen-takhshis dan penjelasan bagi keduanya)”, maksudnya sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitabnya, Syarh Mukhtashar ar-Rawdhah, bahwa takhshish di sini adalah bayan (penjelasan), karenanya mukhashshish artinya mubayyin (menjelaskan). Karenanya, ketika beliau menyatakan, bahwa akal layak dijadikan sebagai bayan, maksudnya adalah akal bisa digunakan untuk menjelaskan maksud firman Allah.[11] Jadi, bukan menjadikan akal sebagai dalil atau sumber hukum.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Zahrah, bahwa menjadikan maslahat ini sebagai ‘illat tidak identik dengan menjadikan akal sebagai dalil. Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, “Para ulama ushul itu menyatakan, bahwa maslahat ini harus dinyatakan oleh dalil sehingga keberadaan di dalam hukum layak disebut ‘illat bagi hukum tersebut.” [12]

Tentang maslahat sebagai ‘illat ini juga telah beliau bedah dengan tuntas dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz III, yang intinya bahwa maslahat bukanlah ‘illat hukum, dan tidak bisa dijadikan sebagai ‘illat hukum. Siapa saja yang ingin mendalaminya, hendaknya merujuk pada kitab tersebut.

Dengan demikian, jelas akal dan fakta bukanlah sumber hukum, dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Maslahat juga tidak bisa dijadikan sebagai ‘illat hukum, dan karenanya maslahat juga bukan sumber hukum. Wallahu a’lam. [KH Hafidz Abdurrahman]

Catatan kaki:


[1] Dr. Khalifah Ba Bakr al-Hasan, Al-Adillah al-Mukhtalafah fiha ‘inda al-Ushuliyyin, Maktabah Wahbah, cet. I, 1987, hlm. 5-6; Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyyah, Syabab al-Azhar, cet. VIII, 1968, hlm. 20.

[2] Ibid, hlm. 6-7; Dr. ‘Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Dar at-Tauzi’ wa an-Nasyr al-Islami, Kaero, cet. I, 1993, hlm. 149-150.

[3] Al-‘Allamah Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1404, I/208; al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, 2005, III/64 dan 404.

[4] Al-‘Allamah Abu Ishaq as-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, tt. I/23; al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, hlm. 66; al-‘Alim al-Ushuli Syaikh ‘Atha’ Abu Rusythah, Taysir al-Wushul ila al-Ushul, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 2000, hlm. 55.

[5] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt, hlm. 69-70.

[6] Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani, Al-Anshaf fima Yajibu I’tiqadahu wa La Yajuzu al-Jahlu bihi, Maktabah al-Khaniji, Kaero, cet. III, 1993, hlm. 50; al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizb at-Tahrir, Dar al-Ummah, edisi Muktamadah, hlm…

[7] Al-‘Allamah Abdurrahman ‘Adhuddin al-Iji, Al-Mawaqif fi ‘Ilm al-Kalam, ‘Alam al-Kutub, Beirut, tt., hlm. 323-324; al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah, III/14-18.

[8] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Ibid, hlm. 70.

[9] Al-Imam Najmuddin at-Thufi, Risalah fi Ri’ayat al-Mashlahah, ed. Dr. Ahmad Abdurrahim as-Sayih, ad-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyah, cet. I, 1993, hlm. 23-24.

[10] Ibid, hlm. 44-45.

[11] Al-Imam Najmuddin at-Thufi, Syarh Mukhtashar ar-Raudhah, ed. Abdullah at-Turki, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. I, 1409, II/555; ath-Thufi, Qaidah fi ‘Ilm al-Kitab wa as-Sunnah, ed. Muhammad ‘Abdul ‘Aziz al-Mubarak, tt, hlm. 18.

[12] Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah, III/375.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*