Jakarta – Bank Dunia sudah lekat dengan Indonesia. Bantuan miliaran dolar mengucur ke Tanah Air. Namun pinjaman itu bocor dan seringkali menjadi ladang korupsi.
Dibentuk pada masa akhir perang dunia kedua melalui The Washington Consencus, Bank Dunia diklaim sebagai institusi yang bertujuan membantu pembangunan negara-negara yang membutuhkan.
Berdirinya organisasi keuangan multilateral ini bersamaan dengan International Monetary Fund (IMF). Pembentukan keduanya tak lepas dari dominasi politik dua negara terkuat saat itu, Amerika dan Inggris. Hal ini terbukti pada pinjaman pertama yang diberikan pada Perancis. Pada saat itu Perancis harus menyingkirkan unsur-unsur komunis sebelum dana dikucurkan.
Bank Dunia kini beranggotakan 186 negara. Voting power negara berkembang, menurut Presidennya Robert B. Zoellick, bertambah. Negara seperti India, China dan Indonesia kini diberikan kekuatan lebih banyak. Total seluruhnya mencapai 47% dari keseluruhan voting power.
Bank Dunia telah aktif membantu pembangunan di Indonesia sejak 1967. Pada awalnya fokus bantuan yang diterima dialokasikan untuk infrastruktur energi, industri dan pertanian.
Tapi sejak krisis 1998, terjadi perubahan pola penggunaan pinjaman. Pemerintah mulai membiayai kesehatan, pendidikan, lingkungan, serta pembangunan sosial dan pemerintahan.
Kini total pinjaman Bank Dunia pada Indonesia mencapai US$25 miliar terbagi 280 program sejak kedatangannya pertama kali di Tanah Air. Bank Dunia telah memberikan pinjaman kepada 11 Kementerian/Lembaga (K/L) dengan total 23 proyek. Kementerian Pekerjaan Umum mendapatkan proyek terbanyak yaitu sembilan proyek.
Penyerapan terbesar pinjaman Bank Dunia didapatkan Kementerian Kesehatan yakni 95,39% dari total pinjaman. Sedangkan penyerapan terendah 33% diperoleh Kementerian Pendidikan Nasional.
Program-program Bank Dunia juga tidak serta merta berhasil membantu membinasakan kemiskinan di Indonesia. Sebut saja program Transmigrasi V di 1971. Program ini dianggap gagal karena banyaknya bentrokan antar etnis dan hutan tropis yang rusak karena dibuka menjadi ladang pertanian. Bahkan proyek-proyek Bank Dunia tak jarang menjadi ladang korupsi para pejabatnya.
Soal korupsi dana pinjaman Bank Dunia ini pun, telah menjadi bagian tak terpisahkan sejak kehadiran peran lembaga donor dunia ini di Indonesia. Adalah begawan ekonomi Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo (alm) yang paling getol mempermasalahkan korupsi dana pinjaman dari Bank Dunia ini.
Berkali-kali Pak Cum, demikian begawan ekonomi itu sering disapa para muridnya, mengingatkan rezim pemerintahan Soeharto bahwa tingkat kobocoran dana pinjaman dari Bank Dunia sudah sangat parah.
Menurut Pak Cum, dana pinjaman Bank Dunia yang menguap tanpa bekas lantaran dikorupsi tak kurang mencapai 30% dari total nilai pinjamannya. Bila total pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia mencapai US$25 miliar, yang dihabiskan koruptor tak kurang dari US$8 miliar atau Rp72 triliun (kurs 9.000 per US$1).
Celakanya, korupsi berlangsung bertahun-tahun, tanpa pernah ada protes dari para petinggi Bank Dunia. Padahal, laporan korupsi sudah seringkali masuk ke meja para pejabat Bank Dunia, baik di Jakarta maupun di Washington.
Itu sebabnya, Pak Cum tak segan-segan mengkritik Bank Dunia sebagai lembaga yang punya andil, dan karenanya harus turut bertanggung jawab atas maraknya praktik korupsi di Indonesia.
Setelah Indonesia porak poranda oleh krisis ekonomi 1998 silam, barulah Bank Dunia mengakui telah turut andil atas terbentuknya budaya korupsi di Indonesia. Yang paling mengenaskan, Bank Dunia ternyata juga mengakui bahwa ada di antara para pejabatnya yang turut menikmati segarnya dana korupsi itu!
Bank Dunia juga dinilai mempunyai andil berhentinya beberapa perusahaan pengolah minyak kelapa sawit karena terhentinya pembelian hasil sawit di Indonesia. Sebut saja PT Unilever dan PT Kraft Food yang tidak mau lagi menggunakan produk sawit dari SMART.
Bank Dunia, lewat program Palm Oil Strategy Consultations-nya dinilai mempengaruhi beberapa perusahaan dan LSM untuk menggoncang pasar minyak sawit Indonesia yang merupakan terbesar di dunia bersama Malaysia. Bukan tidak mungkin hal ini merupakan strategi pengamanan keuntungan negara produsen minyak kedelai, wijen dan lainnya.
Keberadaan Bank Dunia di Indonesia juga bukannya tanpa kritik. Umumnya Bank Dunia ditentang karena ditengarai memiliki prinsip-prinsip neoliberalisme. Pengaruh yang didapat dari Amerika serikat.
Kini Sri Mulyani menjadi salah satu staf senior di insitusi keuangan ini. Jika ia memang secerdas dan sebersih yang dielu-elukan “pemuja-pemujanya,” seharusnya Indonesia mendapatkan keuntungan dari hal ini.
Apalagi ia diklaim akan menerima laporan dari 78 negara berkembang. Apa Sri Mulyani akan memberi pengaruh pada Bank Dunia? Atau sebaliknya? (inilah.com, 6/5/2010)