Islamic Reformation (2) : Exposing A Battle for Hearts and Minds

Halaman 7
Setelah peristiwa 9/11, Barat menampakkan kebenciannya terhadap Islam secara terbuka. Perang di Iraq dan Afganistan adalah bukti bagi para intelektual bahwa Kapitalisme tidak mendapat dukungan di dunia Islam. Cerita bahwa kedatangan tentara AS (Amerikas Serikat) disambut oleh penduduk Iraq ternyata hanya cerita bohong yang dibesar-besarkan oleh media AS. Tidaklah kebetulan bahwa daerah yang menjadi ajang pertempuran “Perang Melawan Teror” adalah negeri-negeri yang berpenduduk mayoritas muslim yang memiliki potensi untuk berdirinya pemerintahan Islam di masa depan. Dan negeri-negeri tersebut juga memendam potensi kekayaan alam seperti gas dan minyak bumi. Dan bukan pula kebetulan bahwa di tahun 2002 dan 2006 Pentagon mengeluarkan laporan Quadrennial Review yang menggambarkan wajah seram umat muslim, negeri-negeri muslim, dan agama Islam itu sendiri dalam berbagai bentuk sebagai ancaman terhadap keamanan AS. Pejabat teras AS pun yakin bahwa ancaman terhadap ideologi AS adalah “Islam yang dipolitisir’. Maka Washington serta sekutunya tidak bisa tinggal diam membiarkan umat Islam mewujudkan cita-cita politik mereka, yaitu Khilafah.

Lord Curzon, yang menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Inggris saat jatuhnya Khilafah di tahun 1924 menyatakan di depan parlemen Inggris House of Commons:

“Kita harus hentikan segala bentuk usaha yang bertujuan untuk menyatukan Islam diantara generasi muda muslim. Setelah kita berhasil mengenyahkan Khilafah, maka kita harus pastikan bahwa persatuan Islam tidak boleh ditolerir, baik dalam bentuk persatuan intelektual maupun budaya.”

Kata-kata ini menunjukkan bagaimana negeri adidaya melihat Islam sebagai ancaman terhadap keberadaannya.

Jatuhnya Komunisme di tahun 1990 menempatkan Islam dalam pertentangan langsung dengan Kapitalisme. Mantan Sekjen NATO Willie Claes mengatakan:

“Sekutu telah memasang Islam sebagai target berikutnya setelah tumbangnya Uni Soviet.”

Ini semua memulai serangan baru terhadap Islam. AS pun telah menyadari bahwa penjajahan kultural tidak berhasil dan kini diperlukan pendudukan militer secara langsung. Paul Wolfowitz berkata dalam konferensi pers di Singapura:

halaman 8
“Memang benar, bahwa Perang kita melawan teror adalah perang terhadap para penjahat, tapi juga adalah perang ideologi dan juga perang pemikiran.”(5)

Badan intelijen AS National Intelligence Council (NIC) dalam laporannya berjudul ‘Pemetaan Masa Depan Global’ dikeluarkan setelah proyek ‘Global 2020′. NIC adalah kumpulan masyarakat intelijen AS yang memikirkan stragetegi intelijen jarang menengah dan panjang. Dalam laporannya, NIC menggambarkan skenario dunia pada tahun 2020 yang menyimpulkan bahwa daya tarik Islam saat ini adalah seruan untuk kembali ke akar sejarah islam dimana peradaban Islam pernah menjadi pemimpin perubahan global dibawah kepemimpinan Khilafah. Dengan menggambarkan skenario fiktif’ bagaimana gerakan global yang dimotori oleh identitas keagamaan radikal mampu bangkit (6),” laporan ini menunjukkan secara nyata bahwa pusat kebijakan AS telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi bangkitnya Khilafah. Laporan lainnya dari pembuat kebijakan AS dan badan intelektual dunia lainnya juga mengakui adanya gerakan ideologi global yang menginginkan kembalinya Khilafah.

Sebagai akibatnya pembuat kebijakan senior termasuk George W. Bush telah ‘memperingatkan’ konsekuensi dari tegaknya Khilafah. Dalam pidato kenegaraannya, Bush berkata di bulan Oktober 2005:

“Kaum militan percaya bahwa dengan mengontrol satu negara maka umat muslim akan menjadi semangat, yang membuat mereka mampu untuk menjatuhkan semua pemerintahan moderat di wilayah tersebut, dan mewujudkan imperium Islam radikal dari Spanyol hingga Indonesia.”

Pada tanggal 5 Desember 2005, mantan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld berkomentar tentang masa depan Irak di universitas Johns Hopkins sebagai berikut:

“Iraq akan menjadi pusat Khilafah Islam yang menguasai Timur Tengah dan memberikan ancaman terhadap pemerintahan sah di Eropa, Afrika, dan Asia. Ini rencana mereka. Mereka pun telah menyatakannya. Kita akan membuat kesalahan fatal kalau kita gagal untuk mendengar dan belajar.”

Setelah peristiwa 7/7, Tony Blair juga menegaskan pentingnya menghadapi ‘ideologi jahat’ yang menginginkan ‘terbentuknnya negara seperti Taliban yang menerapkan syariah di dunia arab sebagai batu loncatan untuk kembalinya Khilafah bagi semua umat muslim.” Jenderal David Petraeus, ketika ditanya majalah Times pada tanggal 20 Juni 2007 tentang prioritasnya dalam peningkatan operasi di Iraq menjawab:

“Menghancurkan kemampuan al Qaeda dalam membuat serangan sensasional dan menghentikan tindak kekerasan mereka. Di samping itu, mereka juga berusaha membuat tempat perlindungan sebenarnya di Iraq, yaitu Khilafah. ”

halaman 9
Pernyataan-pernyataaan yang menyudutkan usaha-usaha pengembalian Khilafah seperti ini selalu dikaitkan dengan isu-isu terorisme, dan juga diperluas dengan menfitnah pergerakan politik Islam secara umum.

Maka pendudukan secara fisik dengan menempatkan pasukan di lokasi strategis di seluruh dunia dan menyokong gerakan revolusi yang bersimpati kepada Barat adalah modus peperangan yang bertujuan untuk meraih simpati perasaan dan pemikiran umat muslim secara global. Label McCarthyitism semasa Perang Dingin dulu, kini dimunculkan kembali seperti ‘ekstrimis’, ‘radikal’, ‘fanatik’, dan ‘militan’ untuk memojokkan umat Islam dalam perang budaya. Definisi dari label-label tersebut sangat berbahaya karena terlalu umum dan terkesan memanipulasi fakta, sebab kenyataannya tidak ada konsensus yang jelas tentang definisi terorisme untuk mencap umat Islam yang mudah melakukan tindak kekerasan.

Nampaknya sudah ada semacam kesepakatan dunia Barat bahwa perang untuk menarik simpati umat Islam menjadi keniscayaan untuk menghindari semakin banyaknya anggota umat Islam yang jatuh ke pangkuan radikalisme (baca: Islam). Di bulan Januari 2007, pengganti Tony Blair yaitu PM Gordon Brown menyebutkan tentang Perang Iraq dan ‘terorisme’:

“Sejatinya engkau tidak akan menang dalam menentang aktifitas terorisme terutama aktifitas propaganda, kecuali kamu raih simpati perasaan dan pikiran mereka. Bagi saya, perang ini harus dimenangkan sebagaimana Perang Dingin sebelumnya dimana perang budaya dilancarkan terhadap komunisme sejak 1940an hingga 1950an.” (7)

Insitut RAND yang juga telah melaporkan “Membangun Jaringan Muslim Moderat’ mengeluarkan argumentasi yang mirip bahwa keberhasilan menjatuhkan Uni Soviet dengan mendukung gerakan-gerakan yang menentangnya perlu ditiru oleh Barat dengan mendukung jaringan muslim ‘moderat’ sebagai balasan terhadap interpretasi Islam yang radikal dan dogmatis, yang kini telah mulai menarik simpati yang semakin luas di dunia Islam.

Ini semua membuat AS merencanakan perang baru untuk menarik simpati dan memenangkan perasaan dan pikiran umat Islam.

Di bulan Juli 2003, para pejabat teras pemerintah AS yang tergabung dalam rencana ‘Perang Gagasan’ melawan terorisme berkumpul di universitas National Defence di kota Washington, DC. Di antara yang hadir adalah manajer krisis dari Gedung Putih, diplomat dari Kementrian Negara, dan staf ahli Pentagon di bidang operasi psikologi (10).

Kemenangan AS yang telak terhadap tentara Saddam Hussein di musim semi ternyata tidak mampu menghentikan perasaan anti-Amerika yang meluas di dunia. Survey yang dilakukan di negeri-negeri muslim termasuk sekutu AS seperti Yordania dan Indonesia menunjukkan bahwa Osama bin Laden adalah tokoh yang lebih dipercaya ketimbang George W Bush.

Setelah melakukan berbagai kekeliruan sejak 9/11, pemerintah AS memulai kampanye politik yang gencar yang belum pernah tertandingi sejak Perang Dingin yang lalu. Berbagai usaha seperti operasi psikologis militer dan operasi rahasia CIA untuk mendanai media dan lembaga intelektual, pemerintahan yang beribukota di kota Washington ini telah menyiapkan puluhan juta dolar AS untuk mempengaruhi umat Islam dan merubah Islam itu sendiri apabila diperlukan. AS tidak lagi bisa tinggal diam ketika kaum radikal bersaing melawan kaum moderat mengenai corak masa depan dunia Islam. Pada akhirnya, sebagaimana dijelaskan oleh pejabat senior, usaha ini berujung pada reformasi Islam.

Usaha tersebut terbongkar dalam investigasi yang dilakukan oleh majalah US News selama 4 bulan, yang disimpulkan dari 100 wawancara dan laporan serta memo internal. Hasil investigasi juga menampilkan berbagai usaha reformasi Islam yang sedang dilakukan dan yang akan dimulai.

CIA juga mulai mengaktifkan kembali operasi rahasia, yang sempat berhasil semasa Perang Dunia, untuk membidik sasaran baru yaitu media Islam, ulama, dan partai politik. CIA juga diberikan kenaikan dana yang meroket dalam bentuk uang, sumber daya manusia, dan juga aset dalam rangka mempengaruhi masyarakat muslim. Di antara taktik yang dilancarkan CIA adalah bekerjasama dengan kaum militan yang memiliki masalah atau persaingan dengan Al Qaeda dan melakukan kampanye untuk menyudutkan pihak terburuk yang memiliki sentimen anti-amerika. Alat untuk menyerang juga bermacam-macam. Bagi CIA, alat-alat yang digunakan adalah operasi rahasia seperti pengaruh politik dan propaganda. Bagi Pentagon, mereka melakukan ‘operasi psikologis’ atau usaha perubahan strategis. Sedangkan bagi Kementrian Negara, mereka melakukan aksi diplomasi. Semua alat atau kegiatan tersebut menggunakan informasi untuk mempengaruhi, memberitakan, dan memotivasi sekutu maupun musuh Amerika di dunia internasional. Beberapa kegiatan diantaranya sempat mengundang kontroversi, seperti terbongkarnya usaha pejabat pemerintahan yang memalsukan laporan berita video, membayar kolumnis surat kabar untuk menulis opini pro pemerintah di kalangan masyarakat AS. Sedangkan bagi mereka yang secara sungguh-sungguh berada dalam lini terdepan dalam perang melawan Teror, memenangkan perang ide atau gagasan serta menguasai seluruh pirantinya adalah suatu kepentingan yang hakiki. Bagaimana piranti digunakan oleh pemerintahan AS adalah suatu cerita yang dimulai separuh abad yang lalu, pada masa puncak ketegangan Perang Dingin di era komunisme Uni Soviet.

Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia yang berjudul “Muslim World Outreach” (Penarikan Simpati Dunia Islam), yaitu suatu kegiatan keamanan nasional yang bertujuan untuk berperan aktif dalam memberikan pengaruh terhadap segala sesuatu yang terjadi di dalam Islam. Karena AS sangat dibenci oleh Dunia Islam, maka rencana AS adalah menjalin kerjasama dengan pihak ketiga, yaitu negeri muslim yang moderat, yayasan, kelompok reformasi dalam rangka mempromosikan nilai-nilai demokrasi, hak-hak perempuan, dan toleransi. Secara diam-diam, AS mendanai radio dan TV Islam, pembelajaran di sekolah-sekolah muslim, badan intelektual muslim, lokakarya politik dan program lainnya yang bertujuan mempromosikan Islam Moderat. Radio Sawa, radio pop-musik-berita

halaman 11

dan jaringan televisi AL Hurra, keduanya telah terbongkar sebagai perwujudan rencana AS. Analis terorisme pada Nixon Center, Zeyno Baran mengatakan:

“Anda sediakan uang dan dukung untuk membentuk ruang politik bagi muslim moderat guna mengorganisir, mempublikasikan, menyiarkan, dan menerjemahkan karya-karya mereka.” Dia juga berkata tentang “Dilema AS yang harus menghadapi tantangan ideologi dalam bentuk suatu agama– kaum militan muslim, lengkap dengan manifesto politik, fatwa, dan pasukan bersenjata.”

Menjelang invasi AS terhadap Iraq, Asisten Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz berkata:

“Kita memerlukan reformasi Islam, dan saya pikir disini ada harapan yang nyata.”

Daniel Pipes, anggota Middle East Forum (MEF), yang berpusat di Philadelphia, baru-baru ini mendeklarasikan bahwa ‘tujuan utama’ perang melawan teror haruslah memordernisasi Islam atau, dalam kata lain, usaha ‘pembangunan agama.”

Bantuan AS juga dikerahkan untuk memastikan bahwa kebijakan luarnegeri AS bisa tercapai. Dibalik layar, lembaga USAID milik Kementerian Negara AS telah mendanai 30 LSM muslim di dunia Islam. Diantara program yang didanai adalah proyek penyiaran/media massa, lokakarya bagi mubaligh, dan reformasi kurikulum sekolah dari pedesaan hingga universitas Islam. Salah satu acara yang didanai mempromosikan toleransi dan Islam dan disiarkan ke 40 kota dan mengirimkan kolom opini ke ratusan surat kabar. Di antara lembaga yang didanai adalah lembaga pemikiran muslim yang melakukan penelitian tentang kesesuaian Islam liberal dengan demokrasi dan hak asasi manusia.

Strategi lain yang sedang ditindaklanjuti adalah berdamai dengan tokoh muslim radikal yang menolak tindak kekerasan. Terutama adalah organisasi Ikhwanul Muslimin yang didirikan di tahun 1928. Banyak anggota Ikhwan di Mesir dan Yordania yang memiliki pertentangan serius dengan al Qaeda. “Saya bisa pastikan bahwa jika kamu pergi ke dunia Islam mengunjungi orang-orang yang kamu pikir kamu tidak akan bisa menyukai mereka, kamu justru akan terkejut bagaimana kamu akan diterima dengan terbuka,” kata Milt Bearden, yang pernah meniti karir di CIA selama 30 tahun di negeri muslim. “Ikhwanul Muslimin bisa menjadi bagian dari solusi ketimbang bagian dari problem.” Dia juga mengatakan bahwa pejabat intel CIA tidak hanya bertemu dengan tokoh Ikhwan tapi juga dengan anggota gerakan muslim tradisional di Paksitan. Beberapa ulama yang bisa diajak bekerjasama dengan CIA telah mengeluarkan opini yang menetralisir fatwa penyeruan Jihad anti AS dan berhasil meyakinkan anggota milisi yang terpenjara untuk meninggalkan tindak kekerasan.

Kunci dari peperangan ini adalah reformasi Islam itu sendiri. Namun, reformasi akan sulit terjadi kalau tidak dibantu dari luar dunia Islam. Satu jalan keluarnya adalah pemberian dukungan AS secara diam-diam terhadap gerakan reformis yang beraliran Sufi, yang dianggap sebagai sayap Islam yang toleran.

halaman 12

AS sudah mendanai tokoh-tokoh Sufi di Turki yang menentang formalisasi Hukum Islam oleh negara, dengan keyakinan bahwa sebagian besar peraturan Islam mengatur kehidupan privat dan hanya sedikit saja yang mengatur kehidupan publik atau pemerintahan. Negara, bagi mereka, tidak selayaknya memaksakan hukum Islam, karena agama Islam adalah masalah individu, dan perintah suatu agama tidak boleh dipaksakan kepada seluruh anggota masyarakat. Fethullah Gulen menggarisbawahi bahwa Islam dan Demokrasi tidak bertolakbelakang dan bisa menerima bahwa konsep pemerintahan republik adalah sejalan dengan konsep Islam yang bernama Shura. Dia juga berkata bahwa pemahaman dan pengalaman muslim Turki pada dan terhadap Islam tidak bisa disamakan, terutama, dengan pemahaman dan pengalaman muslim Arab. Gulen juga telah menuangkan pemikirannya dalam buku “Anatolian Islam’ yang bermuara pada toleransi dan penolakan terhadap kekakuan atau fanatisme (8).

Aspek lain dari Perang melawan Teror adalah untuk memisahkan umat Islam dengan membagi muslim dengan garis moderat dan garis ekstrimis. Laporan RAND tentang ‘Demokrasi Sipil Islam ‘ membagi umat dalam 4 kelompok: fundamentalis, tradisionalis, modernis, dan sekularis. Pembagian ini bertujuan untuk menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok moderat, dan disaat yang sama mengucilkan sebagian muslim lainnya yang percaya bahwa Islam adalah solusi. Kelompok moderat ini, salah satunya, adalah LKiS (Lembaga Kajian islam dan Sosial), yang berafiliasi dengan Nahdhatul Ulama (NU), memiliki misi untuk membangun sekolah yang diwarnai dengan nilai keadilan sosial dan toleransi, bukan sekolah Islam an sich. Kata ‘i’ dalam LKiS (yang mewakili islam) sengaja ditulis dalam huruf kecil untuk menekankan bahwa LKiS menentang segala bentuk islamisme, yang menekankan superioritas islam terhadap agama lainnya. Kegiatan LKiS saat ini adalah aktif dalam lokakarya Hak Asasi Manusia di berbagai pesantren (9) di Indonesia.

AS juga mendanai proyek Islam Eropa, termasuk proyek pelajar yang tergabung dalam Forum Pelajar Uni Eropa (AEGEE). Kegiatan forum ini adalah pelatihan, pertukaran pelajar, kuliah, dan penerbitan yang bertujuan untuk mendefinisikan dan mempromosikan Islam yang modern dan Islam yang meng-Eropa, yaitu Islam yang masih memiliki karakter khasnya dan tetap terbuka dengan masyarakat sekitarnya.

Pendanaan juga diberikan kepada tokoh seperti Bassam Tibi, yang sering memberikan kuliah di berbagai kalangan di Eropa. Sebagai pendiri Organisasi Arab Hak Asasi Manusia dan juga anggota beberapa organisasi yang mempromosikan dialog antar Muslim-Yahudi dan Muslim-Kristen-Yahudi, Bassam juga sangat mendukung integrasi minoritas Muslim kedalam identitas masyarakat Eropa dan sangat menentang adanya sistem hukum, budaya, dan sosial Islam yang berjalan secara paralel dengan sistem yang berlaku di Eropa. Bassam juga gencar mempromosikan bahwa imigran muslim harus menerima nilai Barat yang dominan (Leitkultur), ketimbang menolak atau merubahnya. Dia juga menentang Keamanan Paralel (Parallelgesellschaft), yang berusaha menerapkan Islam di Eropa. Penentangan Bassam ini tentu sangat kontras dengan pemahaman bahwa Islam memiliki peran penting dalam lingkup publik dan juga politik. Segala macam usaha yang menerapkan Islam di Eropa ia tentang dengan alasan ‘hubungan antara shariah dan hak asasi manusia adalah seperti api dan air.” (10).

Departemen Pertahanan AS mengakui dalam laporannya Quadrennial Defence Review bahwa AS sedang berperang yang melibatkan ‘senjata dan pemikiran’ dimana ‘kemenangan hanya akan diraih ketika ideologi ekstrimisme berhasil dipermalukan di hadapan mata rakyatnya sendiri (baca: umat Islam) maupun dari para pendukungnya.” (11)

Dokumen Strategi Keamanan Nasional AS (NSA) di bulan September 2002 memperjelas konsep tentang keamanan yang menekankan adanya konsekuensi yang bisa timbul akibat kondisi internal negara-negara tertentu, terutama apabila demokrasi tidak berjalan. Tema pentingnya demokrasi ini sangat ditekankan dalam beberapa tahun ke depan berikutnya, yang nampak dari laporan Komisi s 9/11 hingga ke pidato kenegaraan Presiden Bush. Dari berbagai dokumen dan pidato, ‘strategi besar’ perang melawan teror terangkum dalam agenda kepresidenan yang bertajuk ‘Agenda Kebebasan.’ Agenda ini menfokuskan pada beberapa sektor sosial yang menopang usaha reformasi Islam yaitu dengan mengutamakan dukungan kepada akademisi dan intelektual muslim sekuler dan liberal, ulama muda yang moderat, aktifis masyarakat, dan kelompok pengusung isu perempuan yang menyuarakan kampanye kesetaraan jender, serta jurnalis dan penulis moderat.

One comment

  1. hanif al-islam

    Astagfirullah, orang-orang kafir saja sudah bisa memetakan tatanan dunia global. bagaimana dengan kaum muslimin yang ingin menegakakkan khilafah, apakah sudah merancang dan menyusun strategi untuk menumbangkan kaum kafir? semoga Allah beri kekuatan pada para pejuangnnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*