Dengan meningkatnya gelombang kekerasan etnis di Kirgistan, surat kabar Inggris dan Amerika Serikat hari ini (15/6) memfokuskan pada kekhawatiran akan meluasnya bentrokan berdarah ini hingga ke tempat-tempat lain di wilayah Asia Tengah. Pertanyaannya, apakah konflik ini akan mendorong Rusia dan Amerika Serikat untuk melakukan intervensi?
Surat kabar Daily Telegraph melaporkan dengan mengutip dari para aktivis hak asasi manusia yang menuduh pemerintah Kirgistan tidak hanya gagal menghentikan kekerasan, tetapi juga keterlibatannya dalam beberapa kasus.
Thahir Maqshodov dari organisasi “Rakyat melawan korupsi” mengatakan bahwa apa yang terjadi di sana adalah sebuah pembantaian.
Surat kabar itu mengatakan bahwa gejolak di Kirgistan-salah satu bekas republik Uni Soviet-telah memicu kekhawatiran di Rusia, Amerika Serikat dan China. Dikatakan bahwa Washington menggunakan pangkalan udara Manas di utara negara itu, yang terletak 190 mil dari kota Osh untuk memasok pasukannya di Afghanistan.
Sementara surat kabar The Independent menyatakan bahwa penyerangan terhadap bangsa Uzbek, yang membentuk sekitar 15% dari populasi, tampaknya telah berkurang dibandingkan dengan hari sebelumnya. Namun ada laporan yang masih membicarakan tentang kekerasan di Selatan, khususnya di kota Jalalabad.
Saksi mengatakan bahwa jalan-jalan di kota Osh-kota terbesar kedua di negeri ini-dan Jalalabad masih bebas dari kehadiran militer selama hari terakhir, dimana sejumlah pengungsi Uzbek mengklain bahwa tentara Kirgistan ikut terlibat dalam pembantaian itu.
Surat kabar itu mengatakan bahwa tidak jelas alasan sebenarnya di balik pecahnya bentrokan tersebut, dimana pemerintah sementara di ibukota Bishkek mengklaim bahwa para pekerja “sewaan” yang loyal terhadap mantan presiden bertangung jawab atas berkobarnya kerusuhan itu.
Sementara itu, rumor yang tersebar bahwa perkelahian terjadi di salah satu kasino lokal, atau sengketa sengit berlangsung ketika salah seorang penumpang menolak untuk membayar tarif kepada sopir taksi.
Surat kabar itu mengatakan, terdapat cerita yang beredar bahwa sekelompok orang Uzbek telah memperkosa perempuan, dan inilah yang memicu kemarahan orang-orang Kirgistan.
Di bawah judul “Perang di Kirgistan: Apa yang menyebabkan kekerasan itu?“. Seorang wartawan, Mark Tran menulis di surat kabar The Guardian mengatakan bahwa para analis percaya bahwa kekosongan kekuasaan sejak April lalu, inilah yang memberi peluang meningkatnya ketegangan politik oportunis untuk mewujudkan tujuan mereka sendiri.
Penulis mengajak untuk melihat sedikit kebelakang ketika lima dari bekas republik Soviet mendapatkan kemerdekaannya, dimana cita-cita yang menjadi impian rakyat Kirgistan adalah mendirikan sebuah bentuk pemerintahan yang baik.
Akan tetapi cita-cita mereka itu pudar dengan segera di bawah pemerintahan mantan Presiden Askar Akayev, yang oleh pihak oposisi dituduh telah melakukan nepotisme, korupsi dan tirani.
Kemudian setelah itu pemerintahan dikendalikan oleh Presiden Kurmanbek Bakiyev, yang menaruh kekuasaan di tangan keluarganya, serta menjarah dana negara dan memberikan kontrak yang menguntungkan hanya kepada teman-teman dan kerabatnya, hingga akhirnya pemerintahan tumbang oleh kemarahan rakyat pada bulan April lalu.
Namun, pemerintah interim yang mengambil alih kekuasaan telah menjadi begitu lemah dan gagal memberikan dirinya sebagai sebuah pemerintahan yang koheren atau konsisten, atau ketidakmampuannya dalam menjalankan berbagai persoalan hingga menyebabkan ketidakjelasan dan kecemasan yang parah, akibat tidak memiliki ideologi atau strategi secara umum, sehingga di dalamnya penuh dengan konflik.
Di sisi lain, majalah Time-yang terpengaruh dengan pusat penelitian dan pengambil keputusan di Amerika Serikat-mengkhususkan sebuah artikel panjang yang membahas analisis dan komentar tentang kekerasan di Kirgistan.
Artikel yang dinisbatkan pada beberapa ahli yang tidak disebutkan identitasnya mengatakan bahwa kekerasan itu bisa menyebar ke seluruh wilayah. “Dimana kebencian etnis menyebabkan kelangkaan sumber daya dan suasana yang mendukung terjadinya konflik di perbatasan.”
Majalah itu memperingatkan bahwa Rusia dan Amerika Serikat akan kehilangan lebih banyak jika Kirgistan jatuh ke dalam kekacauan yang lebih dalam.
Majalah ini memperingatkan bahwa orang-orang Uzbek yang melarikan diri dari neraka, yang sekarang melintasi perbatasan berada di dekat perumahan minoritas warga Kirgistan yang tinggal di utara Uzbekistan, yang menciptakan suasana untuk memulai aktivitas pembalasan dendam atas mereka.
Akhirnya Times menyimpulkan dengan mengatakan bahwa komunitas internasional harus memutuskan dalam beberapa hari mendatang. Apakah telah siap memenuhi permintaan pemerintah interim Kirgistan untuk mengirim bantuan militer.
Times menambahkan bahwa Rusia sedang mempertimbangkan permintaan tersebut. Namun dikatakan bahwa ia tidak akan melakukan ini sendirian. Khususnya bahwa ia tidak sendirian dalam memiliki pangkalan militer penting di utara negara itu.
Namun, baik Moskow maupun Washington tampaknya sangat ingin untuk terlibat dalam perang sipil yang mungkin terjadi, atau dalam bentrokan di perbatasan (aljazeera.net, 15/6/2010).