Menjaga NKRI Dengan Syariah

*(Pelajaran Dari ‘Tarian Liar’ RMS)

WASPADA Online
Oleh Sofian Arsyad Siregar

Bara api separatisme di Indonesia tampaknya belum padam. Aksi-aksi dari beberapa golongan yang ingin memerdekakan diri atau tak puas dengan pengelolaan negeri ini masih terus berlangsung. Kisruh yang terjadi di Maluku, pada saat peringatan Hari Keluarga Nasional dan dihadiri Presiden SBY merupakan salah satu contoh dari beberapa aksi separatisme di Nusantara. Kekisruhan tersebut diakibatkan adanya rencana pengibaran bendera organisasi Republik Maluku Selatan (RMS) yang diselingi dengan tarian tradisional bernama cakalele. Tarian liar beraroma separatisme ini tak urung membuat gerah para politisi, tokoh masyarakat serta aparat keamanan. Hal yang hampir sama terjadi di Papua, di mana bendera OPM dikibarkan oleh seorang penari wanita.

Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, pemerintah selama ini tidak bertindak tegas terhadap RMS. Sikap pemerintah masih setengah hati, masih lembek. Pemerintah membiarkan RMS tetap hidup dan mencari simpati rakyat Maluku dengan nama yang lain, katanya usai menghadiri wisuda di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (30/6). Pernyataan senada juga diungkap oleh Anggota Komisi III DPR Almuzzammil Yusuf dan tokoh politik lainnya, di mana mereka menyayangkan sikap pemerintah serta Polri yang dinilai telah menunjukkan sikap toleran untuk kasus upaya rencana pengibaran bendera separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan OPM. Tetapi sebaliknya, selalu bersikap represif untuk kasus orang atau tersangka yang dituduh teroris, sampai-sampai tidak memperdulikan adanya pelanggaran KUHAP dan HAM untuk kasus teroris.

Menilik Motif RMS

Rangkaian aksi separatisme (baca: terorisme) dari beragam golongan khususnya pada insiden tarian liar RMS dan di Papua ini patut mendapat perhatian serius dari segenap pihak. Keseriusan penanganan terhadap aksi separatisme ini dapat diawali dengan menganalisis motif dibalik munculnya gerakan separatisme ini. Menarik untuk disimak, pernyataan dari tokoh RMS Alexander H. Manuputty pada saat HUT ke-54 Proklamasi Kemerdekaan RMS. Beberapa poin penting dari pidato beliau menyebutkan bahwa cita-cita Republik Maluku Selatan dan Front Kedaulatan Maluku (FKM) untuk memerdekan diri adalah untuk mengakhiri pejajahan Indonesia (Jawa) atas Maluku (Spice Island). Menurut beliau, aktivitas pemerintahan penjajah dan tentara pendudukan Indonesia (Jawa) atas Maluku sejak kurun waktu 13 Juli 1950 sampai saat ini telah mengakibatkan:

  1. Sekitar 20.000 rakyat Maluku Selatan mati sebagai akibat aneksasi Indonesia (Jawa) atas Maluku (Negara RMS 25 April 1950) melalui agresi militer/kekerasan bersenjata. 2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Maluku di mana-mana.
  2. Perampokan habis-habisan atas sumber daya alam Maluku (kayu, minyak, hasil laut dan sumber lainnya).
  3. Perusakan sistem pertanian dan perkebunan Maluku oleh transmigran Jawa. Sekitar 40.000 rakyat Maluku akibat skenario Jawa dan Islam garis keras atas Maluku melalui tragedi kemanusiaan Maluku 19 Januari 1999 sampai kini. (Swaramuslim.net, 10/05/04). Motif FKM atau RMS tersebut tentu saja perlu ditelaah dan dianalisis dari sisi kesahihan fakta atau data yang disebutkan oleh tokoh RMS tersebut. Sayangnya, hingga kini kita belum mendapatkan gambaran yang jelas, langkah strategis maupun praktis dari aparat yang berwenang untuk mengakhiri tindak tanduk dari RMS. Atau mungkin ada intervensi dari pihak asing hingga membatasi gerak-gerik pihak berwenang?

Solusi Syariah

Tarian liar RMS dan upaya pengibaran bendera OPM beberapa hari terakhir ini kian membuktikan bahwa demokrasi sebagai sistem yang diagungkan saat ini memberikan peluang untuk gerakan separatisme. Kegagalan sistem demokrasi dengan induknya kapitalisme dalam membendung gerakan separatisme dibuktikan dengan lepasnya Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kegagalan atau kemandulan sistem demokrasi untuk menjaga kesatuan negeri sewajarnya menyadarkan segenap pihak untuk menoleh sistem alternatif dan solutif agar negeri mayoritas muslim ini tak mudah digoyahkan atau digoncang oleh riak-riak kecil separatisme yang didukung kekuatan kapitalisme global. Islam sebagai sistem yang bersumberkan dari wahyu Ilahi telah memiliki seperangkat konsepsi yang dapat menjaga kesatuan negeri, bahkan juga bertujuan untuk menyatukan seluruh wilayah dunia dalam naungan kedamaian dan kesejahteraan.

Menurut Syaikh Muhammad Husain Abdullah didalam kitab Dirasaat Fikri fil Islam, salah satu tujuan luhur syariah adalah adanya perlindungan atas negara. Negara dalam kacamata Islam merupakan penanggung jawab (mas’ul) bagi penerapan hukum syara terhadap rakyatnya dan bertugas mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Menilik betapa pentingnya peran negara (Khilafah Islamiyyah) tersebut, Islam telah menggariskan beberapa aturan yang berfungsi untuk memelihara negara dan kesatuannya. Misalnya adanya hadd ahl albaghyi (hukuman bagi pemberontak/bughat) yakni mereka yang merampas kekuasan kepala negara dengan kekuatan militer dengan memerangi mereka (para pelaku bughat).

Di sisi lain,konsepsi syariah juga menginstruksikan kepada umat Islam untuk senantiasa menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan metode dakwah dan jihad. Penyebaran ini bertujuan untuk membebaskan manusia dari gelapnya kekufuran dan kemusyrikan menuju cahaya Ilahi dan tak bermaksud mengeksploitasi (baca: merampok) SDA negeri seperti yang dilakukan para kolonialis dan imperialis dengan prinsip 3 G: gold, glory dan gospel.

Penyebaran cahaya Ilahi ini tentu saja membutuhkan dukungan finansial dan manajemen pemerintahan yang baik. Secara konseptual, metode (thariqah) penyebaran risalah luhur ini dapat menyatukan pemikiran, perasaan dan peraturan yang menomorsatukan kesejahteraan, keadilan, serta kemakmuran yang berlaku untuk seluruh warga. Di dalam kamus syariah ini tak dikenal diskriminasi minoritas atau tirani mayoritas yang seringkali berefek pada aksi separatisme. Secara historis, keberhasilan insan utama Rasul SAW membangun peradaban Islam di Madinah dan penyebaran Islam (futuhat) ke jazirah Arab merupakan bukti dan fakta sejarah yang diakui oleh kalangan muslim maupun non muslim. Peradaban Islam yang dibangun Rasul SAW dan dilanjutkan oleh para penguasa Islam membuahkan kemajuan di segala bidang kehidupan dalam hampir empat belas abad yang tercatat dalam tinta emas sejarah dunia. Ringkasnya, insiden tarian liar RMS dan aksi separatisme lainnya di Nusantara hanya dapat dieliminir dengan menjaga kesatuan negeri NKRI ini dengan panduan syariah. Di sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam sebagai solusi kehidupan manusia.

(Penulis adalah pemerhati masalah sosial kemasyarakatan) (wns)

Sumber : http://www.waspada.co.id

6 comments

  1. ternyata tarian RMS ama tarian trio macan sama2 mautnya!sama-sama merusak!naudzubillahi min dzalik!Allahuma innanas ‘aluka khilafatarrasyidah ala minhaji nubuwah…..

  2. he-eh, Islam tak memberangus pluralitas, tak kenal penjajahan mayoritas thd minoritas atau sebaliknya.jadi tak ada alasan bagi kaum minoritas untuk takut thd syariat.
    justru islam-lah satu-satunya sistem yang dibutuhkan oleh pluralitas.

  3. Saya kira rekan2 TNI dan POLRI mengetahui apa motif sesungguhnya sparatisme di negeri ini. Saatnya menumpas gerakan sparatisme dan menyatukan negeri-negeri Islam.

  4. Ada kekuatan jahat asing / invisible hand , yang tidak terlihat tapi nyata berbuat makar terhadap negeri muslim Indonesia, dan memecah Indonesia menjadi keping-keping kecil dimulai dari daerah yang paling pinggir (timor,aceh,papua,maluku). sadarlah wahai umat Islam di Indonesia musuh agama dan bangsa ini telah nyata-nyata berbuat makar.
    segera terapkan syariah untuk menjaga kesatuan negeri muslim, Allahuakbar

  5. Syariah akan lebih aman,sejuk,nyaman karena dgn syariah problematika umat akan terselesaikan dengan tuntas… inilah keistimewaannya Syariat Islam.krn ia berasal dari Allah SWT. percayalah dan yakinlah !!!!

  6. Separatisme menurut pemerintah RI kayaknya masih sangat “menggantung”…. Kalo separatisme itu menyangkut RMS dan OPM (dan juga yang sudah lepas Timtim) mungkin masih keder sama backing-nya…. Untuk Aceh saja dengan GAM masih kalah bargaining (lihat Perjanjian Helsinki antara RI-GAM, berarti secara tidak langsung mengakui bahwa GAM adalah negara..?!). Tapi kalo yang menyangkut Islam, maka Pasukan Anti Teror yang bergerak… Ini ambigu atau make up ketidakmampuan…?!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*