Makalah Konferensi Internasional Media HT : Persoalan Dunia Arab

Para hadirin yang mulia!

Kami akan mulai memaparkan sikap Hizb dalam isu-isu berikut:

Pertama, Permasalahan Kaum Muslim di Negeri Arab (Palestina, Irak, Sudan “Pemisahan Selatan”)

A. Palestina

♦  Palestina memiliki kedudukan tinggi bagi kaum Muslim karena hal-hal berikut ini:

  1. Posisinya di mana di sana terdapat kiblat pertama dan tempat suci ketiga kaum Muslim. Palestina telah dikaitkan dengan akidah kaum Muslim ketika Allah SWT berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya (QS al-Isra’ [17]: 1)

  1. Posisinya sebagai bumi Islam di mana kaum Muslim telah dimuliakan oleh Allah dengan pembebasannya pada masa Khalifah Rasyid kedua sayiduna Umar bin al-Khaththab ra. Dengan itu Palestina menjadi bumi Islam hingga Hari Kiamat dan hukumnya tidak akan berubah. Maka kaum muslim wajib membebaskannya. Begitulah yang dilakukan oleh kaum Muslim dahulu ketika kaum salibis mendudukinya.
  1. Posisinya sebagai salah satu tapal batas Islam yang berhadapan dengan musuh-musuh kaum imperialis yang datang dari barat.

Karena itu Palestina dahulu menjadi sasaran serangan salib mereka yang pertama. Dahulu Kaum muslim tidak mengakui entitas mereka (kaum salib) di Palestina. Bahkan, kaum Muslim berjihad memerangi entitas itu dalam jangka waktu yang panjang sekitar seabad lamanya hingga Allah memuliakan mereka dengan pembebasan Palestina di tangan Shalahuddin al-Ayyubi rahimahulLâh setelah peperangan Hitin. Dan berikutnya kurang dari empat bulan setelahnya diikuti dengan pembebasan Baitul Maqdis pada 27 Rajab 583 H. Setelah itu, kurang dari dua ratus tahun kemudian kaum Muslim pada masa mamalik di bawah pimpinan Baibars dan Quthus berhasil menghancurkan kekuatan Mogul di Ayn Jalut pada tanggal 24 Ramadhan 658 H. Palestina dan negeri Syam pun kembali ke pangkuan Islam. Kaum muslim menjaganya ketika Napoleon menginvasi Palestina pada tahun 1798 M dalam invasinya yang terkenal ke Mesir dan berikutnya ke Palestina. Kaum Muslim berhasil mengusir pasukan Napoleon secara telak. Bahkan pada kondisi paling lemah sekalipun pada masa akhir daulah Utsmaniyah, kaum Muslim tetap mampu mempertahankan dan melindungi Palestina. Maka khalifah mereka Abdul Hamid II rahimahulLâh menolak untuk melepaskan, meski hanya sejengkal bumi Palestina, demi imbalan beberapa juta Lira emas yang dijanjikan oleh Yahudi. Beliau mengucapkan perkataan yang terkenal: “… Sesungguhnya Palestina bukanlah milikku … akan tetapi milik umat Islam. Dan sungguh sayatan-sayatan pisau di badanku ini lebih ringan bagiku daripada aku melihat Palestina dikerat dari Daulah Khilafah. Itu adalah sesuatu yang tidak akan terjadi …”.

Begitulah, Palestina merupakan tanah milik seluruh kaum Muslim. Permasalahan Palestina adalah permasalahan Islami yang agung. Tanggungjawab pembebasannya berada di atas pundak seluruh kaum Muslim.

Konspirasi Terhadap Palestina Sejak Perang Dunia Pertama

Ketika Inggris menduduki Palestina pada Perang Dunia Pertama akhir tahun 1917, di bawah pimpinan salah seorang jenderalnya Lord Allenby, yang berhasil memasuki al-Quds, ia berkata: “Saat ini perang salib telah berakhir”. Seakan-akan dia ingin mengatakan bahwa kita telah menang dan kembali ke al-Quds setelah dahulu Shalahuddin mengusir kita dari al-Quds… Kemudian Inggris mulai manyiapkan situasi untuk merealisasikan janji Balfour untuk mewujudkan institusi Yahudi di Palestina. Melalui mandatnya sejak menduduki Palestina, Inggris berupaya menyiapkan situasi untuk membangun institusi Yahudi itu di Palestina, dengan bekerja sama dengan para penguasa arab saat itu yang menjadi pelayan Inggris dalam perkara besar maupun kecil. Inggris telah melakukan bebagai manuver politik dari mulai buku putih atau hitam sampai komite (1937) … untuk menyibukkan penduduk Palestina di komite-komite perundingan dan investigasi. Pada saat yang sama, Inggris melatih kelompok-kelompok Yahudi dan mempersenjatai mereka. Inggris menyerahkan tanah umum (Ameria) dan membangun organisasi resmi dan tidak resmi untuk mereka… Ini disamping upaya-upaya khianat yang dilakukan para penguasa Arab untuk menyesatkan penduduk Palestina dari bahaya yang mengancam mereka… Hingga pada tahun 1937 dikeluarkan Resolusi pembagian Palestina no 181 pada tanggal 29 Oktober 1937 dengan dukungan Inggris, Amerika dan Rusia… Kemudian Inggris mengumumkan menarik diri dari Palestina dan Yahudi mendeklarasikan berdirinya negara mereka di Palestina pada tanggal 15 Mei 1938. Negara-negara imperialis berlomba memberikan pengakuan terhadap negara mereka itu. Sementara para penguasa Arab lalai untuk membela Palestina secara serius. Bahkan mereka mengirim pasukan tanpa persiapan untuk perang dan secara riil dipimpin seorang Inggris hingga itu turut berkontribusi dalam mengokohkan Yahudi menduduki bagian yang lebih banyak dari yang menjadi bagian mereka menurut ketentuan resolusi pembagian!

Inggris dan para penguasa yang loyal kepadanya terus menyerukan dan berupaya untuk menggabungkan Yahudi di kawasan atas dasar rencana negara sekuler. Rencana itu terus dijalankan untuk menyelesaikan permasalahan Palestina hingga akhir dekade lima puluhan ketika Amerika memasuki kawasan dengan mengadopsi kepentingan-kepentingan Yahudi melalui rencana lain yaitu adanya dua negara di Palestina. Hal itu mulai dilakukan pada akhir masa pemerintahan Eisenhower tahun 1959. Sirkulasinya jauh lebih cepat dari sirkulasi rencana Inggris. Mulailah rencana negara sekuler masuk ke dalam kotak dan dilupakan kecuali dari catatan beberapa orangnya Inggris di kawasan secara malu-malu. Dan sebaliknya rencana Amerika dengan dua negara menjadi batasan pembahasan.

Langkah pertama implementasi rencana tersebut adalah pendirian Organisasi Pembebasan Palestina (PLO – Palestine Liberation Organisation) pada KTT Arab yang diselenggarakan pada tahun 1964. Akhirnya para penguasa Arab terbelah antara mengadopsi rencana satu negara sekuler di Palestina atau rencana dua negara. Keterbelahan itu sesuai dengan loyalitas para penguasa itu kepada Inggris atau kepada Amerika. Setelah itu, masalah Palestina akhirnya tidak dibahas berdasarkan asas pembebasannya secara keseluruhan dari pendudukan Yahudi dan penghancuran institusi Yahudi yang menduduki Palestina. Sebaliknya justru dibahas berdasarkan asas kelangsungan institusi Yahudi yang terus memiliki kontrol di Palestina baik dengan rencana satu negara sekuler di Palestina ataupun rencana dua negara!

Kemudian, meletus perang tahun 1967 M. Meski demikian, Inggris tidak mampu mengimplementasikan rencananya. Karena Amerika dengan mewujudkan negara Yahudi yang murni untuk orang Yahudi di sebagian besar Palestina mendapatkan penerimaan pada sebagian besar orang Yahudi.

Kemudian, terjadi perang tahun 1973 M di mana Amerikalah yang ada di belakang perang itu untuk menggerakkan aktivitas perdamaian sesuai dengan rencananya. Amerika berhasil dalam hal itu. Mereka membuat Anwar Sadat mengumumkan perundingan dengan Yahudi dan pengakuan terhadap entitasnya.

Setelah itu, tahapan rencana Inggris di kawasan pun hancur dan rencana Amerika lah yang berjalan. Maka Liga Arab dalam konferensinya di Rabat tahun 1974 memutuskan bahwa PLO adalah satu-satunya representasi legal bagi bangsa Palestina.

Organisasi PLO ini di bawah pimpinan Fatah yang pada saat berdirinya mengadopsi rencana negara sekuler, secara terbuka di dalam konferensi Ajazair pada tahun 1988 mengumumkan menerima dua negara. Kemudian kejadian-kejadian dan konsesi dipercepat sampai Amerika dapat mengumpulkan semua pihak yang memiliki hubungan termasuk di dalamnya negara Yahudi, dalam Konferensi Madrid, pasca Perang Teluk pada tahun 1990. Amerika berhasil menetapkan asas-asas proses rekonsiliasi untuk bisa merealisasi tujuannya dengan membentuk sebuah negara Palestina berdampingan dengan negara Yahudi … Kemudian prosesnya lebih dipercepat, maka Yasser Arafat menandatangani Perjanjian Oslo antara PLO dan Israel pada tahun 1993. Dengan penandatanganan itu PLO kehilangan efektivitasnya. Para pemimpin PLO akhirnya tiba di Palestina dan tunduk kepada pendudukan Yahudi dan mulai berunding dengan negara Yahudi atas perkara-perkara marjinal.

Akhirnya Amerika menjadi pemain utama yang dikontak, dikunjungi, didengar dan dipatuhi! Amerika menyibukkan PLO dengan dua rencana utama di antara rencana-rencana Amerika, yaitu:

Pertama, inisiatif arab. Intinya mengharuskan pendirian naturalisasi kolektif negara Arab dengan Israel dengan kompensasi diizinkannya pendirian negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza.

Kedua, rencana Road Map pada tahun 2003 yang ditetapkan oleh Amerika untuk menutupi invasinya ke Irak.

Pada tahun 2004, Ariel Sharon, Perdana Menteri negara Yahudi berkoordinasi dengan Amerika menetapkan rencana penarikan dari jalur Gaza secara sepihak untuk mengosongkan jalur Gaza agar menjadi sasaran rencana penghancuran dan blokade, kemudian ke pembagian Otoritas menjadi dua: satu di Tepi Barat dan yang lain di jalur Gaza. Hal itu agar pembahasan akhirnya terfokus pada perdamaian antara Fatah dan Hamas sehingga menjadi lebih panas dari permasalahan asasnya sendiri!

Dengan munculnya Barack Obama di tampuk kekuasaan, prioritas Amerika lebih pada penyelesaian permasalahannya sendiri: krisis finansial di dalam negeri dan krisis militer di luar negeri dengan tenggelamnya Amerika dalam kubangan lumpur di Irak dan Afganistan… Sedangkan desas-desus bahwa Amerika serius dalam mewujudkan solusi dan bahwa entitas Yahudi keluar dari kantong Amerika, maka itu hanya untuk mengelabuhi saja. Amerika tetaplah dengan sangat kuat memegang kendali atas kekuatan dan kehidupan Yahudi, baik melalui suplay senjata atau dukungan finansial. Yahudi sebenarnya tidak memiliki kekuatan sendiri.

Sesungguhnya masalah mendasar dalam permasalahan ini bermula sejak pemisahan Palestina dari lingkungan islami sekitarnya dan merubah posisinya dari masalah islami menjadi masalah Arab. Kemudian dirubah lagi menjadi masalah Palestina yang khusus bagi penduduknya saja; dan kemudian dirubah lagi menjadi masalah Gaza dan Tepi Barat… Seluruh kaum Muslim mengetahui bahwa permasalahan ini berkaitan erat dengan akidah islamiyah dan tidak boleh dilepaskan darinya sebagaimana juga tidak boleh membatasi solusinya dengan penduduk Palestina saja!

Sikap Hizbut Tahrir terhadap permasalahan ini adalah sikap yang diwajibkan oleh Islam, yaitu:

1.       Menolak semua rencana imperialisme yang berkonspirasi melawan Palestina, mulai dari rencana lama Inggris yang termaktub dalam buku putih dan mengharuskan berdirinya negara Palestina sekuler sepanjang perbatasan Lebanon di mana pemerintahan di dalamnya dibagi antara Yahudi, Nashrani dan kaum Muslim dan kekuasaan riil di dalamnya ada di tangan Yahudi dengan mengikutsertakan penduduk Palestina baik Muslim atau Nashrani dalam kementerian yang marjinal… Demikian pula menolak rencana Amerika yang menetapkan pendirian dua negara di Palestina, satu negara Yahudi yang kuat dan efektif di Palestina dan sesuatu dari negara bagi penduduk Palestina, negara yang tidak memiliki daya dan kekuatan pada wilayah Palestina yang tersisa!

2.       Kedua rencana itu merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.

3.       Mobilisasi tentara kaum Muslim dari yang paling dekat hingga yang lebih jauh, hingga seandainya mencakup seluruh tentara kaum Muslim dan menghimpun orang-orang yang mampu untuk menjadi tentara di dalamnya. Hal itu untuk memerangi negara Yahudi yang mencaplok Palestina, menghancurkannya dan mengembalikan Palestina secara keseluruhan ke pangkuan negeri Islam, meski hal itu akan menyebabkan syahidnya jutaan syuhada’. Palestina yang tanahnya dibasahi oleh darah para sahabat, tabiun, para mujahid dan pembebas tidak mau menerima dari kaum Muslim selain jalan itu. Allah SWT berfirman:

}فَمَنِ اعتَدىٰ عَلَيكُم فَاعتَدوا عَلَيهِ بِمِثلِ مَا اعتَدىٰ عَلَيكُم ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعلَموا أَنَّ اللَّهَ مَعَ المُتَّقينَ{

Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (QS al-Baqarah [2]: 194)

Dan firman-Nya:

}وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ{

Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS at-Tawbah [9]: 36)

}وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ{

Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (QS al-Baqarah [2]: 191)

}وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ{

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS al-Hajj [22]: 40)

4.       Perdamaian dengan Yahudi sesungguhnya tidak dibolehkan. Sebab, berdirinya negara Yahudi itu secara syar’i adalah batil. Perdamaian dengan Yahudi artinya memberi konsesi kepada Yahudi atas tanah islami dan konsesi itu adalah pasti sebagai keharusan perdamaian itu. Hal itu adalah haram dan merupakan kejahatan di dalam Islam. Akan tetapi, kondisi peperangan secara riil dengan Yahudi harus tetap berlangsung, baik di sana ada gencatan senjata yang ditandatangani oleh para penguasa ilegal di negeri kaum Muslim ataupun tidak.

5.       Hizbut Tahrir yang berjuang menegakkan Khilafah Islamiyah, pada waktu yang sama berjuang agar umat menekan penguasa mereka untuk memobilisasi tentara dan menghimpun orang-orang yang mampu untuk menjadi tentara di dalamnya guna menghancurkan benteng Yahudi di Palestina dan melenyapkan institusi mereka. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Rasul saw di Khaybar. Jika umat tidak melakukannya maka datangnya tentara Khilafah ke Palestina tidak akan tertunda. Itu adalah sesuatu yang pasti terjadi atas izin dari Allah SWT dan hidung musuh-musuh Islam pasti tersungkur.

}وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ * بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ{

Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5)

B. Irak

Irak dalah bumi para nabi dan tempat lahirnya peradaban. Kaum Muslim membebaskannya pada masa Umar bin al-Khaththab ra. dan menjadi negeri Islam terpenting. Bahkan Baghdad akhirnya menjadi ibukota Khilafah Abbasiyah selama beberapa abad.

Irak memiliki keistimewaan karena posisi geografinya yang bisa dianggap sebagai pintu masuk ke Iran, India, dan negara-negara Asia pada umumnya dari sisi timur. Irak juga membentang sepanjang teluk Persia yang merupakan jalur pelayaran paling penting di dunia. Irak paralel dengan Syam dan merupakan perluasan jazirah Arab. Irak dibelah oleh sungai Tigris dan Eufrat yang mayoritasnya merupakan dataran yang membentang sampai tanah-tanah yang paling subur dan produktif.

Irak tetap menjadi bagian dari Daulah Utsmaniyah hingga perang dunia pertama. Pada saat itu, militer Inggris berhasil menduduki Baghdad pada tahun 1917 M dan meletakkannya di bawah perwalian Inggris pada tahun 1920 M. Sejak saat itu, Inggris berupaya untuk mengokohkan pengaruhnya secara militer, politik, ekonomi dan kultural melalui pemerintahan kerajaan yang didirikannya di Irak. Meskipun perlawanan penduduk Irak terhadap imperialis Inggris terus berlangsung, namun pengaruh Inggris tetap mendominasi dalam jangka waktu panjang, dilindungi dengan tiga pangkalan militer.

Ketika Amerika keluar dari pengasingan internasionalnya pasca perang dunia kedua, Amerika mulai berupaya untuk mencabut pengaruh Inggris agar bisa mengendalikan Irak dan minyaknya. Seiring dengan makin besarnya pengaruh minyak terhadap industri dan perekonmian internasional, Amerika mulai menggerakkan serangkaian kudeta di Irak dan menghancurkan pengaruh Inggris. Pertarungan Inggris-Amerika pun makin bertambah sengit selama dua dekade lima puluhan dan enam puluhan. Amerika berhasil menjungkalkan pemerintahan kerajaan dan mendirikan republik Irak melalui kudeta militer di bawah pimpinan Abdul Karim Qasim dan Abdussalam Airf pada tahun 1958 M.

Kemudian Inggris dalam kudeta pada bulan Juli 1968 di bawah pimpinan Ahmad Hasan al-Bakar dan wakilnya Shadam Husein berhasil mengembalikan pengaruh mereka ke Irak.

Setelah Shadam Husein terjun dalam perang Iran mewakili Inggris yang kepentingannya mengalami bahaya oleh revolusi Komeini. Inggris paham bahwa Amerika ingin mengeluarkan Inggris dari kawasan teluk seperti sebelumnya telah dikeluarkan dari kawasan Suez. Peranan Amerika dalam melenyapkan Syah yang menjadi pilarnya Inggris tampak jelas dengan menghancurkan tentaranya dan menekan tentara Iran serta mendorongnya untuk bertindak represif terhadap pergerakan rakyat yang menentangnya…Perang Iran itu berlangsung selama delapan tahun. Darah kaum Muslim dan potensi mereka secara militer dan ekonomi pun mengalir dalam perang berdarah dan brutal serta pertarungan memperebutkan kepentingan dan pengaruh, mewakili Inggris dan Amerika. Pada tahun 1990 Shadam Husein membuka perang baru di Kuwait. Di belakang Shadam adalah Inggris yang melalui perang tersebut berupaya untuk menguatkan pengaruhnya di kawasan dan mengekspos Shadam Husein sebagai tokoh yang kuat untuk mengontrol kawasan teluk secara militer dan keamanan. Juga untuk memperkuat markas Inggris di sana dan menjamin keikutsertaan Inggris kepada Amerika dalam hal minyak dan pengaruh di Teluk.

Pada saat itulah, Amerika menggunakan invasi Shadam ke Kuwait sebagai alasan untuk melakukan intervensi militer secara kuat di teluk dan mengontrol minyak dan para penguasanya. Amerika sudah mempersiapkan diri untuk hal itu selama bertahun-tahun.

Setelah kaum neo konservatif sampai ke tampuk pemerintahan di Amerika dan terjadi tragedi 11 September, pemerintah Bush Jr bersegera menyiapkan opini umum bangsa Amerika dan internasional untuk perang melawan Irak dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal dan keterkaitan rezim Irak dengan teroris. Juga dengan alasan dalam upaya menyebarluaskan demokrasi dan nilai-nilai barat yang rusak di kawasan. Begitulah, sejumlah besar kebohongan dan klaim dipromosikan. Para penguasa komprador di kawasan dan alat-alat medianya dimobilisasi untuk membenarkan perang dan pendudukannya atas Irak. Amerika bisa menduduki Irak pada April 2003 dan menghancurkan rezim Irak secepat kilat dikarenakan kelamahan dan kekalahannya akibat jauh dari akidah Islam dan syariahnya.

Amerika berpkir bahwa pendudukannya akan stabil dengan melakukan gerak cepat. Akan tetapi Amerika terkejut dengan perlawanan kaum Muslim yang heroik terhadap pendudukan. Di mana perlawanan sengit muncul dan merontokkan kehebatan Amerika sebagai negara adidaya. Superioritas militernya dan persenjataan modernnya lumpuh menghadapi perlawanan grup dengan jumlah dan peralatan kecil akan tetapi memiliki keimanan yang agung dan keinginan besar. Hal itu seperti yang terlihat di Falujah, Najaf, dan kota-kota lainnya di Irak. Pada waktu itu Amerika membentur dinding dikarenakan besarnya keberanian, heroisme, dan kegigihan perang yang disaksikannya. Maka Amerika pun mulai berupaya keluar dari situasi kritis dan rawa-rawa yang dia ketahui kedalamannya seiring berjalannya bulan dan tahun. Amerika memanfaatkan PBB, anggota NATO, dan para penguasa yang menjadi anteknya di kawasan, baik secara politik maupun militer, untuk meringankan pendarahan di militernya dan hancurnya spirit mereka.

Begitu juga Amerika mulai berupaya mengalihkan kekuasaan secara formalistik kepada antek-anteknya di Irak, khususnya tugas keamanan dan militer. Hal itu dilakukan melalui undang-undang administrasi negara, konstitusi Irak, pemilu provinsi dan pemilu parlemen untuk memberikan label legal terhadap rezim agennya. Dengan begitu akan tertutuplah wajah pendudukan yang tercela seraya tetap menjadi eksistensi militer yang kontinyu menurut kesepakatan keamanan dan mulai menguras kekayaan minyaknya. Meski Amerika berhasil dalam beberapa hal dari semua itu namun perlawanan tidak berhenti bahkan makin membara… Maka Amerika sengaja melakukan berbagai kejahatan brutal berupa pembunuhan massal terhawap warga sipil dan menghancurkan rumah-rumah di hadapan pemiliknya. Juga menggunakan cara-cara keji di penjara Abu Ghraib yang serigala hutan pun enggan menggunakannya. Maka tampaklah wajah asli perdabannya yang terpuruk dan nilai-nilainya yang rusak.

Kemudian, pola aksi Amerika makin meningkat dengan mengadopsi politik (pertikaian sektarian) melalui berbagai peledakan berdarah yang menyasar warga sipil di pasar-pasar, masjid, dan tempat-tempat berkumpul, melalui kelompok bayaran Amerika seperti kontraktor Black Water dan lainnya. Juga melalui penculikan dan peledakan oleh antek-anteknya yang disebut “regu kematian”. Disamping itu, Amerika membuka saluran dialog dengan beberapa faksi peralwanan Irak. Amerika mengekspos peran Iran dan Suria secara terbuka untuk berkontribusi dalam merangkul tentara al-Mahdi, organisasi dari beberapa faksi perlawanan dan suku dalam organisasi yang dikenal dengan nama (kebangkitan)… Karena kelompok pendukung serangan Amerika untuk menduduki Irak berasal dari organisasi-organisasi Syiah dan Kurdi yang memusuhi rezim Shadam. Karena itu, ketika Amerika menduduki Irak, Amerika menghadirkan mereka dan menyerahkan kekuasaan kepada mereka… Hal itu membuat marah beberapa politisi Sunni yang menginginkan jabatan di pemerintahan. Atas dasar itu dimulailah politik yang baru, pilarnya adalah mengikutsertakan kelompok Sunni baik partai, jamaah, suku dan faksi perlawanan dalam aktivitas politik serta memberi mereka bagian di dalam kekuasaan. Amerika terus berjalan dengan rencana cepat dalam rangka mengokohkan kontrolnya atas Irak dan merealisasi tujuan-tujuan yang menjadi sandarannya untuk mendukung antek-antek mereka di dalam Irak dan di negara-negara tetangga.

Tujuan-tujuan Amerika menginvasi Irak adalah sebagai berikut:

1.       Kontrol atas minyak karena Irak menyimpan cadangan minyak amat besar. Sudah dipastikan cadangan minyak Irak mencapai 115 miliar barel atau sekitar 11 % dari cadangan minyak dunia. Jumlah itu setara dengan empat kali lipat jumlah cadangan yang dimiliki Amerika. Akan tetapi, cadangan Irak yang belum terungkap menurut perkiraan para ahli bisa mencapai 350 miliar barel. Dan minyaknya memiliki kualitas tinggi, mudah dieksploitasi dan biayanya amat murah karena biaya pengeluarkan satu barel minyak pada banyak kondisi hanya mencapai satu dolar.

2.       Menghancurkan kekuatan Irak. Karena Irak menjadi kekuatan yang tidak diinginkan. Amerika khawatir kekuatan itu akan dipergunakan demi kepentngan Islam dan kaum Muslim dengan tegaknya Daulah Khilafah. Apalagi aktivitas-aktivitas yang serius berlangsung di Irak untuk merubah rezim yang ada dan menegakkan Khilafah.

Inilah realita Irak. Dan inilah politik imperialisme di sana. Politik yang menimbulkan kehancuran, porak poranda, kerusakan dan fitnah bagi penduduknya, dan merubah Irak menjadi fragmen-fragmen yang saling bersaing, diperintah oleh kelas politik yang sibuk membuat kerusakan, dan mengusung semangat, pemikiran dan tujuan-tujuan Barat.

Sejak hari pertama, sikap Hizbut Tahrir terhadap invasi Amerika ke Irak adalah jelas. Hizbut Tahrir adalah yang pertama kali menyerukan mobilisasi tentara melawan para penyerang itu dan memperlakukan mereka sebagai negara muhariban fi’lan seperti negara Yahudi. Hizb dalam konferensi pers di Amman telah menyerukan jihad dan mobilisasi tentara serta menghimpun orang-orang yang mampu menjadi tentara di dalamnya: ke arah barat untuk memerangi yahudi dan membebaskan Palestina, dan ke arah timur untuk memerangi Amerika, Inggris dan sekutu mereka untuk membebaskan Irak. Hizb telah dan tetap mengadopsi solusi itu sejak hari pertama invasi hingga meski Shadam berada di tampuk pemerintahan. Meski sebenarnya rezim Shadam memerangi Hizb dengan sangat keras dan menangkapi para syababnya bahkan sejumlah syababnya telah menjemput syahid di bawah penyiksaan para begundal rezim Shadam. Akan tetapi kami waktu itu dan seterusnya akan tetap mengesampingkan urusan pribadi di hadapan hukum syara’. Bahkan kami menganggapnya remeh di hadapan kewajiban umat dalam memerangi musuh-musuhnya…

Begitu pula sikap Hizb terhadap rencana-rencana Amerika dan sekutunya di Irak adalah jelas. Hizb menentang kesepakatan keamanan yang ditandatangani oleh pemerintah Irak degan Amerika pada tahun 2008 M. Hizb menentang pembagian Irak. Hizb menolak pembagian Irak menjadi beberapa golongan, etnis, dan mazhab-mazhab yang ada, di mana kaum Muslim di Irak digolongkan dari golongan Sunni atau Syiah, dari suku Arab, Kurdi atau Turkmen … Mereka semua adalah bersaudara dan bagian dari umat Islam. Hizb memandang non Muslim yang hidup bersama mereka di Irak bahwa mereka adalah dzimmah kaum Muslim. Jadi mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum Muslim. Nyawa, kehormatan, harta dan hak milik mereka tidak boleh dilanggar, akan tetapi sebaliknya harus dilindungi sebagaimana kaum Muslim.

Daulah Khilafah Islamiyah yang Hizbut Tahrir berjuang bersama-sama umat Islam untuk menegakkannya niscaya mampu menghimpun kaum Muslim di Irak dan melebur mereka dalam wadah Islam politik dan ideologi. Sehingga di sana tidak akan ada kelompok-kelompok, mazhab-mazhab dan aliran-aliran politik sekuler ataupun nasionalis. Sebaliknya ikatan akidah Islam adalah satu-satunya penghimpun kaum Muslim. Sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang memelihara urusan-urusan rakyat baik Muslim maupun non Muslim secara adil sehingga tidak ada kezaliman terhadap seorang pun…

Apa yang ada hari ini di Irak berupa ribuan masalah politik keseharian yang terjadi di panggung politik dan membuatnya tersedia bagi Amerika untuk menjalankan peran Godfathernya di sana, bisa selesaikan dengan sangat sederhana jika kita menerapkan hukum Islam dalam interaksi masyarakat sehari-hari dan dalam menjamin kehidupan mereka secara adil. Hal itu mengharuskan adanya Daulah Khilafah Islamiyah yang aktivitas pertamanya di Irak adalah mengusir eksistensi Amerika dan asing secara total untuk kemudian mengembalikan Irak sebagai bagian yang mulia di dalam Daulah Khilafah Islamiyah Rasyidah, negara kemuliaan dan kehormatan.

}وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ{

Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. (QS al-Munafiqun[63]: 8)

3. Sudan “Selatan”

Sudan merupakan negeri Islam sejak lama. Islam masuk ke Sudan sejak awal tahun 31 Hijriyah melalui tangan Abdullah bin Abi as-Sarah amil Utsman di Mesir. Sudan dan Mesir yang sebelumnya telah dimasuki Islam menjadi satu wilayah.

Sudan adalah negeri yang penting dan menempati posisi strategis. Sudan berada di sepanjang laut Merah dan berbatasan dengan sembilan negara Afrika, kaya akan kekayaan pertanian, tanahnya subur, dan memiliki kekayaan air, barang tambah dan minyak. Pada masa modern, Inggris menginvasi Sudan pada tahun 1898 M, yang ketika itu masih menjadi bagian dari Mesir. Inggris meluaskan kekuasaannya di Sudan dan Mesir.

Inggris memisahkan Sudan dari Mesir di bawah sebutan kemerdekaan, sebelum Inggris menarik diri secara militer dari Sudan. Itu terjadi pada tahun 1956. Pemerintah Mesir di bawah pimpinan Abdul Nasher memberi pengakuan atas pemisahan itu. Itu adalah kejahatan pertama pemisahan sukarela di antara negeri kaum Muslim pada masa modern!

Adapun tanah selatan, maka itu adalah tanah perawan yang penuh dengan kekayaan diantaranya minyak yang jadi rebutan di antara perusahaan-perusahaan minyak besar. Tanahnya sangat subur. Luas wilayah selatan Sudan mendekati 700.000 kilometer persegi. Jumlah penduduknya tidak lebih dari delapan juta jiwa di mana 18 % nya adalah muslim dan sekitar 17 % nya Nashrani, dan mayoritas sisanya penganut paganisme.

Pada tahun 1922 Inggris mulai menyiapkan pemisahan selatan Sudan dari utara. Inggris pada tahun itu mengeluarkan undang-undang yang membuat daerah selatan sebagai kawasan tertutup, untuk memisahkan penduduk selatan dari penduduk utara. Inggris juga membentuk tentara lokal dari anak-anak selatan dengan pimpinan perwira Inggris. Sejak saat itu, Inggris berupaya dengan langkah-langkah yang sudah dikaji sebelumnya untuk memecah Sudan menjadi dua institusi terpisah. Intitusi Arab Muslim di utara dan institusi Nashrani-Paganis di selatan. Politik pembagian itu dikemudian hari diadopsi oleh Amerika. Sebelum kepergian penjajahan militer Inggris pada tahun 1956, Inggris menyalakan revolusi di selatan Sudan pada tahun 1955 dan mendudukkan anteknya di tampuk pemerintahan agar berjalan di garis yang sudah dirancang bagi pembagian Sudan.

Inggris meninggalkan masalah itu yang menyibukkan Sudan selama beberapa dekade. Inggris menetapkan benih pemisahan selatan. Negara-negara Barat lalu merawat dan menyirami benih itu… sejak Inggris ke Amerika sampai matang atau hampir matang, di mana pemisahan mungkin terjadi dalam referendum pada tahun depan.

Sudan seperti negeri kaum Muslim lainnya, menyaksikan pertarungan internasional yang sengit, antara Inggris dan Amerika. Hasilnya adalah stabilnya pengaruh Amerika di Sudan pada tahun 1969 dengan kudeta Ja’far an-Numairi. Sejak saat itu, Amerika menancapkan cengkeramannya terhadap militer dan berupaya melemahkan kekuatan politik tradisional yang loyal kepada Inggris. Amerika mendukung gerakan separatis di selatan di bawah piminan Jhon Garang. Amerika mulai berjalan di dalam rencananya untuk memisahkan selatan. Pasca tahun-tahun kekacauan politik dan buruknya kondisi dan rumitnya krisis selatan, Amerika mendukung kudeta Omar al-Bashier pada tahun 1989 M. Setelah itu jalannya rangkaian perundingan dan inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan selatan makin dipercepat, dalam bentuk yang menjamin pengaruh dan kontrol Amerika terhadap selatan dan utara Sudan. Juga menjamin dalam menghalangi kembalinya pengaruh Inggris atau penetrasi pengaruh Eropa di kawasan. Mulailah serangkaian perundingan antara wakil pemerintahan Sudan dan gerakan rakyat separatis. Rangkaian perundingan itu mengantarkan pada pengakuan pemerintah Sudan kepada gerakan separatis dan bersandar pada poros politik Amerika untuk menyelesaikan perselisihan.

Pada tanggal 20 Juli 2002 M, pemerintah Sudan menandatangani Protokol Machakos. Protokol tersebut termasuk capaian yang paling berbahaya untuk memisahkan bagian Selatan dari Sudan, setelah upaya internasional yang terus menerus selama beberapa dekade. Protokol itu meletakkan batu pijakan bagi perundingan-perundingan berikutnya, karena menyatakan peran internasional untuk menjamin implementasi point-point kesepakatan dan untuk merealisasi pemisahan melalui pelaksanaan referendum di selatan. Pada tanggal 27 Mei 2004 M, pemerintah Sudan dan separatis selatan menandatangani tiga kesepakatan berkaitan dengan pembagian kekuasaan legislatif dan eksekutif di antara kedua pihak. Yaitu pembagian kekuasaan di pusat dan di selatan, serta tiga kawasan sengketa yaitu Abyei, selatan Nil Biru, dan Gunung Noubah. Kesepakatan itu juga menyatakan pemberian pemerintahan otonom terhadap daerah Abyei dan diikuti referendum untuk memutuskan apakah manjadi bagian utara atau selatan.

Pada tahun 2005 M, pemerintah Sudan saat itu yang loyal kepada Amerika menandatangani kesepakatan Nivasha dengan pemeritahan popular yang dibentuk oleh Amerika. Kesepakatan itu mencakup pemisahan selatan Sudan dari asalnya. Hal itu ketika ditetapkan point pelaksanaan referendum seputar hak menentukan nasib sendiri yang direncanakan berlangsung pada awal tahun 2011. Setelah penandatanganan itu pada Juli 2005 lalu dibentuk pemerintahan selatan Sudan. Semua itu sempurna terjadi di bawah pengarahan dan saran Amerika.

Pelaksana pemerintahan di Sudan telah melakukan kejahatan besar dengan menerima kesepakatan yang mencakup pemisahan satu bagian dari negeri Islam dan menjadikan kaum kafir mengontrol bagian itu termasuk kaum Muslim di sana. Padahal Allah SWT berfirman:

}وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً{

dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 141)

Begitu pula mereka telah membuat persaingan dengan menerima pemisahan sukarela. Mereka telah memberikan contoh buruk. Mereka harus memikul dosanya dan semisal dosa orang yang melakukannya hingga Hari Kiamat karena akan mendorong daerah-daerah Sudan lainnya untuk memisahkan diri…

Supaya pemisahan itu legal, pemerintah telah memenuhi arahan Amerika yang memutuskan dilangsungkannya pemilu legislatif dan pemilu presiden pada April 2010 lalu, seperti yang ditetapkan pada perjanjian Nivasha. Tampak menyolok upaya utusan Amerika Scott Gration dan perhatiannya atas kesuksesan pemilu itu untuk menyempurnakan konspirasi pemecah-belahan Sudan. Utusan khusus Amerika untuk Sudan, Scott Gration, mengatakan dalam wawancaranya dengan kantor berita Reuters pada tanggal 26 Maret 2010: “Amerika Serikat berharap pemilu bulan depan di Sudan akan membuka jalan bagi perceraian sipil bukan perang sipil.”

Begitulah, pemilu itu berlangsung pada waktu yang direncanakan. Al-Bashier selama kampanye pemilunya pada tanggal 20 Januari 2010 mengatakan: “Kita akan menjadi yang pertama memberi pengakuan atas negara selatan jika mereka memilih pemisahan!” Dengan begitu, pemilu yang dilangsungkan pada jangka waktu 11-15 April 2010 bukanlah pemilu biasa saja. Akan tetapi, pemilu ini adalah pemilu yang paling berbahaya dalam sejarah Sudan. Karena yang diinginkan adalah pemisahan selatan Sudan, yang merupakan sepertiga wilayah kaya itu berlangsung segera dari utara”.

Hizb telah melakukan kampanye yang kuat untuk menolak pemilu tersebut. Sejumlah syabab Hizb ditangkap selama pendistribusian penjelasan Hizb. Akan tetapi pemilu itu berlangsung melalui tekanan, penindasan, dan menggunakan sarana-sarana tidak langsung. Dalam pelaksanaannya berbagai upaya internasional dan pemerintah dikerahkan. Hal itu mengungkap maksud dari pemilu itu di depan semua orang, bahwa pemilu itu adalah sebagai persiapan bagi referendum tahun depan agar bisa dikatakan bahwa pemisahan berlangsung atas persetujuan pemerintah yang dipilih oleh rakyat! Karena itu, pihak-pihak itu, khususnya Amerika, mengerahkan segenap daya upayanya dalam menjamin pelaksanaan pemilu dan memberikan restunya. Juga sungguh-sungguh dalam menampakkan kenetralannya. Hingga pernyataan yang disebutkan secara malu-malu bahwa pemilu itu tidak memenuhi kriteria-kriteria internasional secara penuh dan buru-buru ditambahkan: Akan tetapi cukup bagi pengimplementasian kesepakatan Nivasha!

Pernyataan itu sangat menyolok. Utusan khusus Amerika untuk Sudan, Scott Gration, pada tanggal 3 April 2010 pasca pertemuannya dengan komite nasional untuk pemilu, menyatakan: “Mereka memberikan informasi kepada saya yang membuat saya percaya bahwa pemilu akan dimulai pada waktu yang telah ditetapkan dan akan berlangsung bebas dan netral semaksimal mungkin”. Pernyataan itu persis pernyataan yang disampaikan oleh mantan presiden AS Jimmy Carter, Direktur Carter Center, pasca pertemuannya dengan Komisi Nasional untuk Pemilu pada tanggal 9 April 2010. Carter mengatakan bahwa ia yakin pelaksanaan pemilu di Sudan dengan metode yang disukai dan diterima. Bahkan Carter berpendapat lebih jauh lagi dalam meremehkan situasi politik dan penduduk Sudan. Ia menggambarkan Sudan seakan jajahan Amerika seperti halnya Irak ketika ia mengatakan: “Amerika mengatur pemilu di Sudan sebagaimana di Irak sebelumnya”.

Juru bicara kementerian luar negeri Amerika, Philif Crowley, telah mengeluarkan sertifikat bagi pelaksanaan pemilu tersebut. Ia mengatakan pada tanggal 13 April 2010: “Kami suka terhadap pelaksanaan pemilu itu”. Ia melangkah lebih jauh dalam mengancam orang yang tidak menerima hasil pemilu tersebut ketika ia mengatakan: “Pembicaraan seputar adanya kecurangan selama pemilu merupakan ucapan yang berisi bubuk mesiu saat ini”.

Ketua delegasi Eropa untuk memantau pemilu, Veronique de Keyser, dalam konferensi persnya pada tanggal 17 April 2010 mengatakan: “Pemilu ini diupayakan serius agar memenuhi standar internasional. Akan tetapi belum mencapai semuanya. Meski demikian langkah yang berhasil dicapai ini merupakan langkah penting bagi kelanjutan implementasi kesepakatan perdamaian menyeluruh”. Pernyataan tu persis sama dengan yang diungkapkan oleh Carter pada hari yang sama dalam konferensi pers yang berbeda: “Pemilu Sudan lebih rendah dari standar internasional. Akan tetapi mayoritas masyarakat internsional akan menerimanya sebagai langkah pertama untuk merealisasikan kesepakatan perdamaian”. Bahkan Jack Rudd, anggota Carter Center untuk memantau pemilu mengatakan dalam pembicaraannya kepada surat kabar al-Hurrah as-Sudaniyah tertanggal 17 April 2010: “Amerika sangat menginginkan kemenangan al-Bashier, karena Amerika memandang keberhasilan al-Bashier terkandung penerapan point-point kesepakatan khusus yang masih tersisa yaitu praktek referendum”.

Karena itu, ketika diumumkan hasil pemilu yang berlangsung pada tanggal 26 April 2010 dengan terpilihnya kembali al-Bashier sebagai presiden, hal itu mendapat dukungan kuat Amerika.

Dalam pembicaraan pasca pengumuman hasil pemilu, mantan presiden Amerika Jimmy Carter mengatakan “Pemilu di Sudan adalah penting bagi pelaksanaan hukum-hukum yang tersisa dalam kesepakatan perdamaian tahun 2005 meski pemilu itu gagal memenuhi standar-standar internasional. Juga meski mendapat penolakan dan kecaman keras dari sejumlah pemrotes. Pemilu tersebut akan memungkinkan bangsa ini yang telah dicabik-cabik oleh perang untuk bergerak ke arah perdamaian permanen dan mengokohkan demokrasi yang sebenarnya”. Carter mengatakan hal itu dalam tulisan yang dilansir oleh surat kabar Los Angeles Times tanggal 2 Mei 2010.

Jelas dari semua pernyataan itu bahwa pemilu tersebut merupakan pendahuluan untuk memberikan justifikasi bagi pemisahan bahwa pemisahan itu terjadi di bawah pemerintah yang dipilih secara bebas, hingga meski tidak memenuhi standar-standar internasional. Netralitasnya sudah cukup untuk melanjutkan implementasi kesepakatan Nivasha sebagaimana yang diklaim!

Sikap Hizbut Tahrir terhadap permasalahan ini adalah bahwa apa yang telah dan akan terjadi untuk memisahkan selatan tidak lain merupakan konspirasi salibis yang jelas ditetaskan oleh Amerika melawan kaum Muslim di Sudan dan leih tepatnya di selatan Sudan. Hal itu dibantu oleh rezim pemerintah di Sudan dan kelas politik yang mendukung kesepakatan Nivasha, yang secara syar’i adalah batil, baik kelas politik itu loyal kepada pemerintah ataupun pihak oposisi.

Sesungguhnya pandangan islami terhadap negeri Islam termasuk Sudan mendorong penyatuan institusi-institusi dan daerah-daerah yang ada, bukan memecah-belah dan mengeratnya dari negeri asalnya. Persatuan berbagai penjuru Islam adalah kewajiban syar’i yang telah ditetapkan oleh nas-nas syariah. Seorang muslim tidak boleh dengan justifikasi apapun untuk menerima pemisahan.

Hizbut Tahrir memandang bahwa selatan Sudan harus dijaga agar tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari bumi Islam. Hizbut Tahrir akan berjuang melalui pandangan syar’i yang sahih bersama kaum Muslim di Sudan dan di luar Sudan untuk menjaga Selatan, sekarang ataupun nanti; dan sama sekali tidak akan menyerahkannya kepada Amerika dan antek-anteknya kaum separatis yang akan mengerat Selatan dari bumi Islam. Daulah Khilafah yang akan segera tegak di kawasan tersebut, atas izin dari Allah SWT, akan berupaya bukan hanya untuk menyatukan Sudan dalam satu negara saja, akan tetapi akan berupaya mengembalikan pesatuan Mesir dan Sudan serta seluruh negara di kawasan Islam di dalam negara Khilafah Islamiyah. Dengan begitu, umat Islam akan kembali menjadi sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk umat manusia. Daulah Islamiyah yaitu Daulah Khilafah akan kembali menjadi negara adidaya di dunia. Negara-negara penjajah akan mundur ke negerinya sendiri jika memang masih tersisa negerinya itu!

} وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ{

Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS Yusuf [12]: 21)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*