AS memelopori perkembangan sistem persenjataan nuklir dunia dengan menjatuhkan bom atomnya di dua kota utama di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, pada penghujung Perang Dunia Kedua. Bencana nuklir tersebut tidak saja menyebabkan puluhan ribu nyawa melayang dan ratusan ribu korban luka-luka dari kalangan masyarakat sipil, tetapi juga memakan korban puluhan ribu bayi bernasib malang yang sama sekali tidak tahu menahu urusan perang tersebut. Kemunculan persenjataan baru itu segera saja mengubah perimbangan kekuatan di antara negara-negara utama dunia. Pihak yang memiliki sistem persenjataan nuklir dengan mudah dapat memaksakan kehendaknya kepada musuh-musuh mereka. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, ketika Rusia mampu mengejar teknologi nuklir Amerika dengan membuat Bom A dan Bom H. Tidak lama kemudian, Inggris, Prancis, dan Cina menyusul menjadi negara-negara pemilik senjata nuklir.
Rusia dan AS dari waktu ke waktu terus berlomba memproduksi senjata pemusnah massal ini hingga mencapai jumlah yang mampu menghancurkan seluruh dunia. Keadaan ini tentu saja menjadi ancaman nyata bagi terwujudnya perdamaian dan keamanan dunia. Bencana kemanusiaan di Hiroshima dan Nagasaki menjadi bukti bahwa pertimbangan “rasional” manusia ternyata mampu menjustifikasi penggunaan suatu jenis persenjataan yang sepatutnya hanya akan digunakan oleh orang-orang yang berdarah dingin.
Selama masa Perang Dingin, masyarakat dunia hidup di tengah teror tak berkesudahan yang dikenal dengan sebutan MAD (Mutual Assured Destruction) yang membolehkan pihak yang diserang untuk melancarkan serangan balasan yang mematikan (dengan senjata nuklir – pen) kepada musuhnya. Pada masa itu, masyarakat dunia menyaksikan bagaimana sumberdaya manusia terbaik, potensi ilmu pengetahuan, kekuatan ekonomi dan finansial, serta sumberdaya militer difokuskan untuk pengembangan ilmu dan teknologi, bukan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia, tetapi untuk menciptakan sistem persenjataan yang mematikan, sarana penghancur dan pembunuh yang sangat efektif dan efisien di luar jangkauan angan-angan.
Dalam pemikiran strategi geopolitik, kepemilikan senjata nuklir menjadi simbol bagi suatu negara untuk mendapatkan kedudukannya sebagai salah satu poros kekuatan dunia. Karena itu, mudah dipahami bahwa maksud sesungguhnya dari NPT (Non-Proliferation Treaty) adalah untuk memastikan agar pemilik senjata nuklir dibatasi hanya untuk kelima poros kekuatan dunia, yang kebetulan juga menjadi pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB. Sementara AS dan Rusia berlomba menduduki puncak konstelasi politik dunia, ketiga poros kekuatan dunia – Inggris, Prancis, dan Cina – terus berupaya meningkatkan kemampuan pertahanan nuklirnya dalam rangka memperebutkan bagian “kue” global; “kue” global yang dimaksud tak lain adalah pasar dunia, bahan mentah dan kekayaan alam, serta hak-hak istimewa dalam permainan catur kolonialisme yang tak pernah usai.
Perlombaan senjata nuklir itu tak pelak menghasilkan persediaan ribuan hulu ledak nuklir, berikut alat dan sistem transportasinya, baik di daratan, lautan, maupun di luar angkasa. Akibat persaingan yang gila-gilaan itu, tidak ada satu pun tempat di bumi maupun di angkasa yang lepas dari penyelidikan manusia. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan, yakni mengejutkan musuh dengan senjata nuklirnya.
Pada Januari 2005, Wakil Presiden AS Dick Cheney secara terbuka pernah menyerukan upaya pengembangan dan penyediaan senjata nuklir taktis yang diberi nama samaran “Bunker Buster”. Dengan dalih untuk menghancurkan musuh yang bersembunyi di dalam bunker, nama “Bunker Buster” cukup berhasil menyesatkan publik yang berpikir bahwa itu hanyalah bom-bom konvensional yang digunakan untuk menghancurkan bunker-bunker di bawah tanah; padahal, yang dimaksud dengan “bunker buster” tidak lain adalah hulu ledak nuklir taktis.
Untuk menyembunyikan kebusukannya, AS dan Rusia berpura-pura mengupayakan perdamaian dan keamanan dunia. Sepanjang tahun 70-an, 80-an, dan 90-an, mereka mengadakan negosiasi panjang yang bertujuan untuk mengurangi (bukan dimaksudkan untuk mengeliminasi) pertumbuhan senjata nuklir. Sejumlah perjanjian ditandatangani dan direvisi, meski realitas di lapangan menunjukkan adanya berbagai perbedaan dengan apa yang tertulis di atas kertas. Tak mengherankan jika jumlah arsenal nuklir yang ada di bumi ini tidak semakin berkurang, namun justru semakin banyak.
Sejarah berbagai perjanjian nuklir itu menunjukkan dengan sangat jelas bahwa masalah kunci terletak pada implementasi yang jujur, dan fakta bahwa perjanjian-perjanjian tersebut mencerminkan perimbangan kekuatan dunia. Pada saat George Bush berpikir bahwa ia dapat memanfaatkan kelemahan Rusia untuk segera menjalankan rencana kaum neo-konservatif, pada tanggal 13 Desember 2001 ia sama sekali tidak merasa ragu-ragu untuk menarik diri dari perjanjian SALT 1. Pada saat itulah, untuk pertama kalinya AS menarik diri dari perjanjian internasional tanpa merasa malu sedikit pun. Pada sisi yang lain, hal ini menunjukkan bahwa AS sama sekali tidak pernah menghormati komitmen internasional yang mereka sepakati, apabila kepentingannya mengarahkan mereka ke tujuan yang lain.
Adapun negara-negara nuklir di luar kelima kekuatan yang disebut di atas yaitu: Afrika Utara, Ukraina, Kazakhstan, dan Belarusia, semuanya sudah mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Selain itu ada pula Israel, India, Pakistan, dan Korea Utara. Sementara itu, Barat terus melancarkan tuduhan kepada Iran yang dianggap berusaha mengembangkan sistem persenjataan nuklir, meski Iran konsisten berargumentasi bahwa mereka mengembangkan program nuklir semata untuk tujuan damai.
Adapun India dan Israel sama sekali tidak berpikir untuk mengembangkan kemampuan nuklirnya sesuai NPT. Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, secara terbuka pernah menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk memaksa Israel menyepakati perjanjian NPT. Namun demikian, Barat dan AS khususnya seolah menutup mata terhadap program persenjataan nuklir Israel. Sebaliknya, mereka terus memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Israel, dan tidak pernah meminta – apalagi menekan – Israel untuk bergabung dalam perjanjian NPT. Sebaliknya, AS pernah menyesalkan keputusan konferensi peninjau NPT PBB tanggal 28 Mei 2010 yang meminta Israel menyepakati NPT.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa AS menghendaki Israel tetap menjadi salah satu poros kekuatan dunia dan menjadi mata pedang beracun yang menghunjam di jantung kaum Muslim; berperan sebagai lini pertahanan pertama bagi berbagai kepentingan Barat di dunia Islam dan penghalang persatuan seluruh kaum Muslim. Dengan demikian, merupakan suatu hal yang logis bila negara-negara Barat bersikap tutup mata terhadap program senjata nuklir Israel. Nampaknya mustahil – paling tidak dalam waktu dekat ini – AS akan melakukan aksi-aksi serius untuk menghentikan program persenjataan nuklir Iran.
Akan halnya dengan India, AS telah menandatangani sebuah perjanjian kerjasama nuklir meskipun India menolak kesepakatan NPT. AS juga terus mengembangkan kemampuan nuklir dan peluru kendali India.
Hal ini tidak selalu berarti bahwa AS dan India telah menjadi sekutu dekat. Partai Kongres yang berkuasa masih sangat pro-Inggris. Namun demikian, AS terus menjalankan politik “stick and carrot” untuk memikat partai yang berkuasa di India. Langkah ini diambil agar AS dapat memanfaatkan posisi India sebagai saingan utama melawan Cina, meski hubungannya dengan Pakistan terpaksa harus dipertaruhkan. AS berharap mampu merangkul partai berkuasa di India melalui perjanjian kerjasama nuklir, dan menghadapkan India dengan Pakistan.
Di lain pihak, AS sangat berkepentingan membangun sistem persenjataan nuklir India yang berbatasan dengan Cina. Pengembangan sistem persenjataan India ini diyakini akan mampu membuat Cina sibuk menghadapi risiko potensial sehingga mengurangi kemampuan Cina dalam menghalangi kepentingan AS.
Demikianlah, ketika membahas program pengembangan nuklir di Israel dan India, maka yang menjadi pertimbangan strategis adalah kepentingan AS, bukan kepentingan kemanusiaan atau keadilan. Inilah penjelasan mengenai sikap Barat, khususnya AS, yang memberikan dukungan kepada Israel dan India, meski mereka tahu persis bahwa kedua negara tersebut tidak menghentikan program persenjataan nuklirnya dan menolak menandatangani perjanjian NPT.
Korea Utara
Besar kemungkinan rezim Korea Utara – yang didukung oleh Cina – akan menerima sebuah penyelesaian sebagai ganti sejumlah jaminan keamanan dan bantuan ekonomi. Pemimpin Korea Utara, Kim Yong Il, menyatakan dalam kunjungannya ke Cina pada 6 Mei 2010, bahwa Korea Utara berkeinginan melanjutkan pembicaraan dengan negara-negara G 6. Kantor berita resmi Korea Utara melaporkan bahwa pemimpin Korea Utara – dalam pertemuannya dengan Presiden Cina Hun Jintao – mengatakan bahwa Korea Utara ingin menciptakan keadaan yang positif bagi kelanjutan pembicaraan. Cina tidak menghendaki adanya sebuah rezim bersenjata nuklir di perbatasannya, dan hal ini mendorong Korea Utara untuk membuat sebuah penyelesaian damai bagi program pengembangan nuklirnya. Insiden tenggelamnya kapal Korea Selatan baru-baru ini memang sempat menghalangi kelanjutan pembicaraan, tetapi kondisi di Semenanjung Korea tidak akan memburuk sampai terjadi konfrontasi militer.
Pakistan
Negara-negara Barat mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang program nuklir Pakistan. Media massa Barat telah lama menjuluki program senjata nuklir Pakistan dengan istilah “Islamic Atomic Bomb”. Pada saat AS menyewa perusahaan keamanan partikelir seperti Black Water, yang melancarkan teror peperangan di berbagai kota di Pakistan, mereka melancarkan pemboman di mana-mana untuk menciptakan kesan bahwa Pakistan adalah negara gagal yang dikerumuni kelompok-kelompok teroris dari kalangan Islam fundamentalis. Sejak peristiwa 9-11-2001, AS telah menggambarkan Islam dan politik Islam sebagai ancaman utama bagi kemanusiaan. Maka, dalam rangka mewujudkan agenda geostrateginya di mana pun mereka berada, AS selalu melancarkan tuduhan mengenai adanya sel-sel teroris Islam, yang menjadi alasan untuk melancarkan serangan, mengenakan sanksi, atau memberikan tekanan-tekanan kepada rezim di berbagai negeri Muslim.
Terkait dengan program nuklirnya, AS telah menggambarkan India sebagai negara yang bertanggung jawab; yaitu negara yang melakukan langkah-langkah pengamanan yang memadai untuk melindungi instalasi-instalasi nuklir dan mencegah berkembangnya nuklir di tangan kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab. Perjanjian nuklir Amerika India (2008) telah membuka jalan bagi pembangunan 16 reaktor nuklir di India.
Sebaliknya, Pakistan, yang telah lama disebut-sebut sebagai sekutu AS di wilayah tersebut, dipandang pemerintah AS sebagai negara yang tidak bertanggung jawab dalam program nuklirnya. Penilaian ini muncul karena banyaknya pejabat Pakistan yang dituduh terlibat dalam praktik jual-beli nuklir illegal dengan kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab. Kasus-kasus tersebut cukup menjadi alasan bagi pemerintah AS untuk mengakhiri kerjasama pengembangan nuklir dengan Pakistan. Bocoran berbagai laporan menunjukkan adanya peringatan tentang adanya ancaman potensial jika bom-bom nuklir Pakistan jatuh ke pihak-pihak yang salah, atau jika ekstremis-ekstremis Islam berhasil mengambil alih kekuasaan yang rapuh di Pakistan, dengan dukungan dari sejumlah tokoh kunci di kalangan militer Pakistan. Dalam konferensi tingkat tinggi nuklir yang terakhir di Washington, 8 April 2010, The New York Times mengutip pernyataan salah seorang pejabat AS, bahwa dalam pertemuan antara Obama dan Perdana Menteri Pakistan Gilani, Obama telah menekan Gilani agar menandatangani perjanjian tentang produksi bahan bakar nuklir.
Berbeda sekali dengan kebijakan AS dalam pengembangan dan percepatan industri nuklir India, ketika Cina dan Pakistan mengumumkan kerjasama mereka untuk membangun dua reaktor nuklir di Pakistan pada akhir April 2010 lalu, AS menyatakan protes kerasnya, dan menuduh Cina telah melanggar kewajibannya dalam perjanjian NPT.
Demikianlah, secara efektif AS menggunakan segala cara untuk melucuti kemampuan nuklir Pakistan.
Iran
Aktivitas nuklir Iran dimulai sejak masa Shah Iran, ketika pemerintah Iran bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Prancis dan Jerman. Iran telah menandatangani NPT pada tahun 1970. Setelah revolusi 1979, rezim Iran menghentikan program nuklirnya hingga Presiden Rafsanjani memulainya lagi pada pertengahan 1990-an. Pada tahun 1995, pemerintah Iran menjalin kerjasama dengan Rusia yang menyelesaikan pembangunan instalasi nuklir yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan Eropa.
Krisis nuklir antara Iran dan Eropa bermula pada tahun 2003, ketika tokoh-tokoh oposisi Iran melancarkan tuduhan bahwa Iran tidak melaporkan aktivitas dan instalasi nuklir rahasia kepada IAEA. Setelah pembicaraan yang panjang, IAEA memutuskan untuk membawa persoalan nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB. Pada 23 Desember 2006, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi 1737. Selama itu, AS tidak ikut campur dalam pembicaraan dengan Iran, hingga ia terjun dalam persoalan tersebut setelah resolusi ini keluar. AS bersama negara-negara Eropa (5 anggota tetap DK PBB) dan Jerman bertugas mencari penyelesaian dalam kasus tersebut.
Negara-negara Eropa, plus Israel, terus berusaha melibatkan AS dalam persoalan nuklir Iran ini, karena mereka merasa tidak mampu menyelesaikannya sendiri. AS selama ini segan ikut campur dalam persoalan ini, dan terus berusaha menjaga jarak. Ketika tekanan negara-negara Eropa semakin memuncak, mereka meminta AS untuk mengambil langkah-langkah yang efektif untuk menekan Iran. AS memberikan tekanan dengan mengenakan sejumlah sanksi yang samar-samar setelah berlangsung pembicaraan yang panjang. AS memberikan peringatan langsung maupun tak langsung kepada rezim Iran untuk melepas ketegangan dengan negara-negara Eropa.
Dengan alasan bahwa serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran hanya akan menyalakan api yang lebih besar di Timur Tengah, di mana AS mempunyai banyak kepentingan di wilayah tersebut. Kecenderungan sanksi yang dialamatkan kepada Iran mempunyai sebuah pola: Inggris dan Prancis, didukung oleh Israel, menghendaki adanya upaya membuka serangan terhadap Iran. AS merasa segan ikut campur, dan berupaya menyelesaikan krisis ini dengan mengenakan sejumlah sanksi, hingga kemudian negara-negara Eropa kembali memanas. Inilah yang terjadi sejak sanksi yang pertama pada bulan desember 2006 hingga sanksi keempat pada bulan Juni 2010, termasuk kesepakatan Geneva dan Teheran di antara sanksi-sanksi tersebut.
Setelah sanksi yang ketiga pada bulan Maret 2008, persoalan sempat mendingin sebentar, hingga Inggris, Prancis, dan Israel mulai kembali menekan Iran pada musim panas 2009 untuk menghentikan proses pengayaan uranium, lengkap dengan ancaman implisit dari Israel yang hendak menyerang fasilitas nuklir Iran. Campur tangan AS meyakinkan rezim Iran untuk menandatangani kesepakatan Geneva pada tanggal 1 Oktober 2009 yang mampu mendinginkan suasana tegang selama hampir 7 bulan. Ketika Eropa dan Israel mendapati bahwa kesepakatan Geneva tidak lebih merupakan konsesi taktis bagi Iran, mereka kembali menyusun tekanan dan memperbaharui ancamannya terhadap Iran. Sebagai salah satu upayanya mendinginkan suasana, AS meminta Turki dan Brazil sebagai perantara untuk mendapatkan kompromi.
Presiden Brazil dan PM Turki menyatakan bahwa keikutsertaan mereka berada dalam koordinasi AS. Pada saat-saat akhir, Iran setuju dengan inisiatif Turki dan Brazil yang didukung AS untuk melaksanakan proses pengayaan lanjutan di luar Iran, yaitu di Turki, dan menandatangani perjanjian di Teheran pada tanggal 7 Mei 2010. Ketika negara-negara Eropa dan Israel menganggap bahwa kesepakatan tersebut hanyalah pura-pura saja, AS segera mengenakan serangkaian sanksi baru yang akhirnya disetujui oleh DK PBB dengan resolusi no 1929 pada tanggal 9 Juni 2010.
Demikianlah, pola itu berlangsung berulang-ulang: tiap kali Eropa dan Israel memanaskan suasana, AS akan terjun untuk mendinginkan krisis tersebut untuk menghindari penggunaan serangan militer sebagai bentuk sanksi terhadap Iran. Menteri Luar Negeri Inggris, pada satu hari setelah resolusi 1929 itu ditandatangani, dalam kunjungannya ke Jerman pada 10 Juni 2010, menyatakan bahwa Uni Eropa tengah mempertimbangkan akan mengenakan sanksi tambahan kepada Iran. Dan inilah yang terjadi.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Eropa dan Israel ingin menyelesaikan kasus nuklir Iran secara langsung dengan serangan militer atas fasilitas nuklir Iran, atau paling tidak mengenakan sanksi yang mampu melumpuhkan kekuatannya. Di pihak lain, AS, tidak ingin menyelesaikan kasus dengan sanksi berupa serangan militer atau sanksi keras yang akan mengakhiri perselisihan. AS ingin menyelesaikan krisis dengan tingkat intensitas yang rendah, yang diselesaikan dengan sanksi-sanksi yang bersifat umum, yang dikenakan setelah melewati pembicaraan yang panjang.
AS ingin memperpanjang krisis nuklir Iran karena sejumlah alasan, yaitu:
1. Ingin menggunakan ancaman nuklir Iran sebagai alasan untuk menebarkan misil-misil AS yang berbasis di Eropa (Polandia, Cekoslovakia), untuk mengepung Rusia dengan sistem rudal mutakhir yang mampu mencapai pedalaman Rusia. Hal ini juga membuat Eropa tetap berada di bawah payung perlindungan AS dari ancaman potensial yang berasal dari Iran dan Korea Utara.
2. Agar dapat menggunakan Iran sebagai ancaman yang menakutkan negara-negara Teluk, sehingga negara-negara tersebut berada dalam kondisi tidak stabil. Hal ini akan menyebabkan AS mempunyai argumentasi untuk memperluas jaringan pangkalan-pangkalan militernya di wilayah tersebut semata-mata karena menghadapi ancaman dari Iran. Sebagaimana diketahui, di wilayah tersebut terdapat tiga negara penghasil minyak terbesar di dunia: Arab Saudi, Kuwait, dan Iran. Langkah politik tersebut akan memberikan jaminan bagi AS agar dapat mengontrol wilayah kaya minyak tersebut, sehingga membuat AS dapat mengontrol kondisi perekonomian global.
3. Sebagai pihak yang berperan sebagai penentu sanksi atas Iran, AS dapat menunjukkan citranya sebagai pemimpin yang “bijaksana”, meski sesungguhnya AS hanya mengelola / memperpanjang krisis tanpa sedikit pun niat bersikap “lemah-lembut”. Demikianlah cara AS “melipat karpet” dari bawah Eropa maupun Israel.
Perbedaan sikap antara Eropa dan Israel di satu pihak, dan AS di pihak lain, mengenai Iran mencerminkan perbedaan kebijakan antara kedua pihak tersebut terhadap rezim yang berkuasa di Iran. Eropa dan Israel berusaha menjatuhkan rezim yang berkuasa dengan serangan militer atau serangkaian sanksi keras yang melumpuhkan meski harus dilakukan secara unilateral. Sementara itu, AS tidak ingin menjatuhkan rezim yang berkuasa, tetapi menentukan arah kebijakan yang diambil. Amerika melihat rezim yang berkuasa di Iran sebagai faktor positif untuk menstabilkan Afghanistan dan Irak. Rafsanjani telah menyatakan hal ini secara terbuka dalam pidatonya di Universitas Teheran tanggal 7 Februari 2002. Realitasnya, program nuklir Iran adalah untuk kepentingan damai yang diperbolehkan menurut NPT. Eropa, Israel, dan AS telah mengangkat isu demi tujuan-tujuan geostrategisnya masing-masing, bukan untuk menghentikan program persenjataan nuklir karena pada hakikatnya program itu tidak ada.
Demikianlah realitas negara-negara pemilik senjata nuklir dengan Iran yang tidak memiliki senjata nuklir, tetapi ingin menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Negara-negara utama tersebut memanipulasi krisis nuklir Iran demi kepentingan geostrategic masing-masing.
Telah nampak jelas bahwa negara-negara pemilik senjata nuklir berusaha memonopoli senjata nuklir, berikut teknologi yang terkait dengannya, dan membatasi penggunaannya hanya untuk mereka.
Amerika, melalui berbagai strategi penyesatannya, mengadakan sejumlah pertemuan dan konvensi, seperti pertemuan tingkat tinggi tentang keamanan nuklir yang diadakan di Washington pada tanggal 13 April 2010, di mana 47 negara berkumpul bersama mendiskusikan apa yang disebut sebagai keamanan nuklir internasional di balik upaya organisasi-organisasi teroris untuk mendapatkan material nuklir. AS juga berusaha memperlihatkan upaya serius untuk menciptakan dunia yang bebas senjata nuklir. Obama, misalnya, menandatangani Perjanjian START II di Praha pada tanggal 8 April 2010 bersama Presiden Rusia Medvedev, dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada dunia bahwa kedua bangsa itu berkomitmen untuk mengurangi secara drastis hulu ledak nuklir yang mereka miliki, diperkuat dengan opini media yang menyebarluaskan informasi tentang bahaya senjata nuklir.
Tujuan diadakannya pertemuan tingkat tinggi itu bukanlah untuk menghapuskan senjata nuklir, tetapi untuk mencegah pengembangannya. Meski demikian, kita melihat kemudian pertunjukan standar ganda AS ketika berurusan dengan India dan Israel. Tujuan sebenarnya dari penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi itu adalah:
1. Melayani agenda domestik Obama dan Partai Demokrat untuk menghadapi pemilihan umum pada bulan November 2010 yang akan datang, dan untuk memulihkan kredibilitas AS di dunia internasional, setelah terpuruk di masa pemerintahan sebelumnya. Pertemuan tersebut juga dimaksudkan untuk mengembalikan kedudukan AS setelah tergoncang oleh badai krisis finansial dan kekalahan militer AS di Iraq dan Afghanistan. Tujuan pencitraan ini kiranya dapat menjelaskan kemegahan pertemuan yang diselenggarakan, di mana 47 negara diundang dalam pertemuan ini. Pertemuan itu sendiri merupakan pertemuan pertama sejak 1945 ketika warga New York menyaksikan sebuah pertemuan global.
2. Membatasi dan mengendalikan aktivitas nuklir internasional, dengan jalan melacak dan mengawasi seluruh laboratorium dan para staf yang bekerja di dalamnya, serta melakukan tindakan pencegahan andaikata ada kebocoran dari kelompok-kelompok yang tak bertanggungjawab. Pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah deklarasi, di antaranya: “Kontribusi positif terhadap berbagai mekanisme seperti inisiatif internasional untuk memerangi terorisme nuklir serta peningkatan kemampuan bagi pihak-pihak yang berwenang menegakkan hukum dalam bidang industri maupun staf-staf teknis.”
3. Berusaha mengumpulkan persediaan uranium dan plutonium yang telah diperkaya sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi: “Mengumpulkan uranium dan plutonium yang telah diperkaya dan mengurangi penggunaannya.” Tujuan ini senada dengan pertemuan tinggi tinggi Mexico yang merekomendasikan pemindahan uranium yang diperkaya ke AS. Rekomendasi pertemuan Mexico menyatakan bahwa pertemuan telah berhasil dan mendorong negara-negara lain untuk mengikuti rekomendasi tersebut. Presiden Chile menyatakan bahwa Chile akan menyerahkan persediaan uranium yang telah diperkaya ke AS; demikian pula Ukraina yang mengumumkan bahwa mereka akan mengirimkan persediaan uraniumnya yang cukup untuk membuat sejumlah bom nuklir, sebelum pelaksanaan pertemuan tingkat tinggi berikutnya pada tahun 2012.
4. AS mengharapkan negara-negara pemilik senjata nuklir lain, seperti Prancis dan Cina, turut dalam perjanjian pelucutan senjata nuklir. Prancis memberikan tanggapan negatif terhadap pertemuan tingkat tinggi ini. Presiden Prancis Nicholas Sarkozy menyatakan, “Saya tidak akan menyerahkan senjata nuklir yang memberikan jaminan keamanan bagi bangsa ini di masa yang sangat genting sebagaimana saat ini.” Sarkozy paham bahwa kedudukan AS tidak berada di atas Prancis, demikian pula negara-negara pemilik senjata nuklir lainnya. Maka, demikianlah jawaban yang ia berikan. AS paham sepenuhnya bahwa ia tidak dapat memaksa negara pemilik senjata nuklir lainnya untuk mengikuti apa yang dikehendaki. Tiap negara pemilik senjata nuklir mempunyai kedudukan politik tertentu; mereka dapat berdiri tegak di hadapan AS, menolak keinginannya, menentang rencana dan manuvernya, atau bahkan berdiri melawannya. Hillary Clinton dalam pidatonya di Praha pernah menyiratkan hal seperti ini. Ia berkata, “Pengembangan nuklir dan terorisme menimbulkan dua tantangan global, dan oleh karena itu keduanya membutuhkan respon global. Inilah alasan mengapa Presiden Obama mengundang para pemimpin negara untuk hadir dalam pertemuan tingkat tinggi di Washington.” Cina memberikan respon cepat pada hari yang sama, sebagaimana dinyatakan dalam Chinese Global Times, “Obama telah bicara banyak tentang tujuannya menciptakan dunia yang bebas nuklir. Well, yang pertama kali dia lakukan mestinya adalah menjadi teladan bagi negara-negara lain, yaitu dengan menyerahkan hulu ledak nuklir yang dia miliki, bukan sekadar retorika belaka. Bila dia tidak melakukan hal itu, maka ia akan mendapati kesulitan dalam meyakinkan negara-negara lain ketika dia meminta negara-negara tersebut untuk menyerahkan senjata nuklirnya. Amerika tidak akan mampu meyakinkan siapa pun agar menyerahkan senjata nuklirnya, sementara AS tetap menyimpan senjata nuklir miliknya.”
5. Mencegah penyebaran dan perbanyakan (proliferasi) uranium yang diperkaya berikut teknologinya ke negara-negara yang tidak diizinkan untuk memilikinya. Untuk mendapatkan senjata nuklir bukanlah perkara sulit, dan AS khawatir perkembangan teknologi nuklir ke berbagai pihak di dunia ini akan membahayakan kedudukannya di dunia dan mengancam hegemoninya. Dalam pertemuan tingkat tinggi itu dihasilkan deklarasi yang menyatakan, “terdapat lebih dari 2000 ton plutonium dan uranium yang diperkaya di puluhan negara di dunia yang dimanfaatkan untuk kepentingan damai dan militer.” Juga dikatakan, “terdapat 18 kasus pencurian atau hilangnya uranium dan plutonium yang diperkaya, dan boleh jadi ada kasus-kasus lain yang belum ditemukan atau belum dilaporkan.”
Semua tujuan di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa pertemuan tingkat tinggi itu tidak lebih merupakan sebuah upaya konsolidasi monopoli senjata nuklir untuk mengokohkan kolonialisme poros-poros kekuatan dunia terhadap negara-negara lain.
Pandangan Hizbut Tahrir
Pandangan Hizbut Tahrir adalah pandangan Islami yang digali dari nash-nash syara’. Di antara pandangan itu adalah:
1. Tujuan jihad dalam Islam adalah untuk membangkitkan manusia dengan menyebarluaskan Islam kepada umat manusia, dan bukan dimaksudkan untuk membasmi atau menghancurkan manusia.
a. Islam adalah risalah dari Allah swt yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
وَما أَرسَلنٰكَ إِلّا رَحمَةً لِلعٰلَمينَ
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Anbiya: 107)
b. Islam membangkitkan kehidupan manusia.
أَوَمَن كانَ مَيتًا فَأَحيَينٰهُ وَجَعَلنا لَهُ نورًا يَمشى بِهِ فِى النّاسِ كَمَن مَثَلُهُ فِى الظُّلُمٰتِ لَيسَ بِخارِجٍ مِنها ۚ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلكٰفِرينَ ما كانوا يَعمَلونَ
Dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (Al An’am: 122)
c. Dalam Islam diharamkan melukai warga sipil, merusak pepohonan, dan menghancurkan bangunan. Rasulullah SAW bersabda:
«انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلَا طِفْلًا وَلَا صَغِيرًا وَلَا امْرَأَةً وَلَا تَغُلُّوا وَضُمُّوا غَنَائِمَكُمْ وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ».
Berangkatlah (berperang) dengan nama Allah dan demi Agama Rasulullah. Janganlah membunuh orang tua, anak-anak, bayi, dan perempuan… (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik)
d. Imam Malik meriwayatkan dalam Al Muwatta bahwa ketika Khalifah Abu Bakar ra memberangkatkan sebuah pasukan ke Suriah, beliau berpesan kepada komandan pasukan, “… Saya menasihati engkau dengan sepuluh perintah: jangan membunuh wanita, anak, atau orang tua, jangan memotong pohon berbuah, jangan menghancurkan rumah, jangan membunuh hewan (domba atau unta), kecuali untuk (tujuan) makan, jangan membakar pohon palem dan menebangnya, jangan mencuri, jangan pengecut”
e. Semua dalil di atas bertolak belakang dengan politik perang dengan cara pemusnahan umat manusia dan menghasilkan kehancuran yang bersifat massal sebagaimana halnya senjata nuklir. Karena itu, membuat senjata nuklir pada asalnya merupakan perkara yang haram.
2. Akan tetapi, ketika sebuah – atau lebih dari satu – negara memiliki sistem persenjataan yang sangat mematikan, seperti senjata nuklir, sedangkan kemungkinan penggunaannya semakin meningkat, maka wajib bagi negara Islam untuk berupaya memiliki sistem persenjataan yang sama.
وَالحُرُمٰتُ قِصاصٌ ۚ فَمَنِ اعتَدىٰ عَلَيكُم فَاعتَدوا عَلَيهِ بِمِثلِ مَا اعتَدىٰ عَلَيكُم ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعلَموا أَنَّ اللَّهَ مَعَ المُتَّقينَ
Pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (Al Baqarah: 194)
وَإِن عاقَبتُم فَعاقِبوا بِمِثلِ ما عوقِبتُم بِهِ ۖ وَلَئِن صَبَرتُم لَهُوَ خَيرٌ لِلصّٰبِرينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu (An Nahl: 126)
Karena itu, Negara Islam diwajibkan memiliki senjata nuklir, jika musuh-musuhnya juga memiliki senjata nuklir.
3. Allah swt memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan maksimal yang kita miliki untuk menggentarkan orang-orang yang memusuhi kita; jadi, apabila musuh memiliki senjata nuklir, maka mereka tidak akan merasa gentar berhadapan dengan Negara Islam, kecuali bila Negara Islam memiliki senjata nuklir pula.
وَأَعِدّوا لَهُم مَا استَطَعتُم مِن قُوَّةٍ وَمِن رِباطِ الخَيلِ تُرهِبونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُم وَءاخَرينَ مِن دونِهِم لا تَعلَمونَهُمُ اللَّهُ يَعلَمُهُم ۚ وَما تُنفِقوا مِن شَيءٍ فى سَبيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيكُم وَأَنتُم لا تُظلَمونَ
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Anfaal: 60)
Menggentarkan musuh berarti membuat mereka takut hingga tidak berani menyerang Negara Islam, atau dalam istilah sekarang dikenal sebagai “mutual deterrence”. Musuh tidak akan takut menyerang kaum Muslim, kecuali jika kaum Muslim memiliki senjata yang lebih kuat, atau paling tidak sama, dengan senjata yang mereka miliki. Bila musuh memiliki senjata nuklir, maka kaum Muslim juga harus memilikinya.
4. Islam melarang Negara Islam menandatangani perjanjian NPT yang memperbolehkan negara lain memiliki senjata nuklir. Akan tetapi, Islam memperbolehkan penandatanganan perjanjian-perjanjian yang diarahkan untuk menghapuskan senjata nuklir. Membiarkan sejumlah negara memiliki senjata nuklir sehingga menimbulkan bahaya bagi negara-negara lain yang tidak memiliki, maka hal itu merupakan suatu perkara yang dilarang oleh Islam. Rasulullah saw bersabda,
«لا ضرر ولا ضرار»
Janganlah berbuat mudlarat dan hal yang menimbulkan mudlarat
Kami berpendapat itulah tugas yang diemban oleh sebuah negara yang seharusnya menaungi kaum Muslim; negara yang berani berdiri tegak di hadapan negara-negara yang memiliki senjata nuklir; negara yang mampu memaksakan pemboikotan terhadap negara-negara tersebut, hingga mereka menghancurkan dan menghapuskan senjata-senjata pemusnah massal semacam itu.
Inilah pendapat Hizbut Tahrir mengenai persoalan Krisis Nuklir Internasional; dan inilah pandangan Negara Islam, Khilafah Rasyidah yang akan tegak dengan izin Allah swt.
إِنَّ اللَّهَ بٰلِغُ أَمرِهِ ۚ قَد جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيءٍ قَدرًا
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At Talaq: 3)