Hukum Menghadap Kibat
Para ulama sepakat bahwasanya musholliy wajib menghadap kiblat ketika tidak ada udzur yang menghalangi dirinya. Imam Syaukani di dalam Kitab Nail al-Authar berkata:
….وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الاسْتِقْبَالِ وَهُوَ إجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ إلا فِي حَالَةِ الْعَجْزِ أَوْ فِي الْخَوْفِ عِنْدَ الْتِحَامِ الْقِتَالِ أَوْ فِي صَلاةِ التَّطَوُّعِ كَمَا سَيَأْتِي . وَقَدْ دَلَّ عَلَى الْوُجُوبِ الْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ الْمُتَوَاتِرَةُ..
“Hadits ini menunjukkan kewajiban menghadap kiblat, dan hal tersebut merupakan kesepakatan kaum Muslim, kecuali dalam keadaan lemah atau dalam keadaan takut saat terjadi peperangan, atau dalam sholat tathawwu’ (sunnah), sebagaimana akan dijelaskan berikutnya. Al-Quran dan Sunnah mutawatir telah menunjukkan kewajiban ini “. (Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/164)
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat apakah menghadap kiblat (istiqbaal al-qiblah) termasuk syarat sah sholat, atau hanya kewajiban saja. Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghadap kiblat termasuk syarat sahnya sholat. Imam Nawawiy dalam Kitab Raudlat al-Thaalibin wa ‘Umdat al-Muftiin menyatakan:
الباب الثالث في استقبال القبلة. وهو شرط لصحة الفريضة إلا في شدة خوف القتال المباح وسائر وجوه الخوف وشرط لصحة النافلة إلا في شدة الخوف والسفر المباح والعاجز كالمريض
“Bab Ketiga Mengenai Menghadap Kiblat. Menghadap kiblat adalah syarat sah sholat fardlu kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat dalam peperangan yang dibolehkan, dan semua hal yang menyebabkan ketakutan. Menghadap kiblat juga menjadi syarat sah untuk sholat nafilah (sunnah) kecuali dalam keadaan ketakutan yang teramat sangat, perjalanan yang mubah, dan tidak mampu, semacam sakit…” (Imam An Nawawiy, ‘Raudlat al-Thaalibiin wa Umdat al-Muftiin, juz 1/76). Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Ibn Qudamah dalam Kitab al-Mughniy:
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْفَرِيضَةِ وَالنَّافِلَةِ ؛ لأَنَّهُ شَرْطٌ لِلصَّلَاةِ ، فَاسْتَوَى فِيهِ الْفَرْضُ وَالنَّفَلُ ، كَالطَّهَارَةِ وَالسِّتَارَةِ ، وَلِأَنَّ قَوْله تَعَالَى : ﴿وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ﴾ عَامٌّ فِيهِمَا جَمِيعًا .
“Kami telah menjelaskan bahwa menghadap kiblat adalah syarat sah sholat. Tidak ada perbedaan antara sholat fardlu dengan sholat nafilah. Sebab, menghadap kiblat itu adalah syarat sholat, dan dalam masalah ini sama antara fardlu dan nafilah; seperti halnya thaharah (suci) dan menutup aurat. Pasalnya, firman Allah swt, “Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”.[TQS Al Baqarah (2):144] berlaku umum baik untuk sholat fardlu maupun nafilah.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/272)
Sedangkan Imam Syaukaniy berpendapat bahwa menghadap kiblat adalah kewajiban, namun bukan syarat sah sholat. Artinya, jika seseorang sholat tidak menghadap kiblat, maka ia berdosa, namun tidak ada kewajiban untuk mengulangi sholatnya[1]. Di dalam Kitab Nail al-Authar beliau berkata:
وَقَالَتْ الْهَادَوِيَّةُ : إنَّ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ الصَّلاةِ ، وَقَدْ عَرَّفْنَاك فِيمَا سَبَقَ أَنَّ الأَوَامِرَ بِمُجَرَّدِهَا لا تَصْلُحُ لِلاسْتِدْلالِ بِهَا عَلَى الشَّرْطِيَّةِ إلا عَلَى الْقَوْلِ بِأَنَّ الأَمْرَ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ وَلَكِنْ هَهُنَا مَا يَمْنَعُ مِنْ الشَّرْطِيَّةِ وَهُوَ خَبَرُ السَّرِيَّةِ الَّذِي أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَأَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ
“Al-Hadawiyyah berkata: Sesungguhnya menghadap kiblat termasuk syarat sahnya sholat. Sebelumnya kami telah menjelaskan kepada anda bahwasanya sekedar “awaamir” (perintah-perintah) tidak sah digunakan dalil untuk menunjukkan “syarthiyyah” (persyaratan), kecuali ada ucapan yang menunjukkan bahwa perintah untuk mengerjakan sesuatu tersebut merupakan an-nahy (larangan) untuk kebalikannya. Tetapi, dalam kasus ini ada dalil yang mencegah dijadikannya sebagai syarthiyyah, yakni khabarnya As Sariyyah yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidziy, Imam Ahmad, dan Imam Ath Thabaraniy dari haditsnya ‘Amir bin Rabi’ah ra…” (Imam Asy Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/164; lihat juga Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidlah, al-Jaami’ li Ahkaam al-Sholah, juz 2/149)
Menentukan Arah Kiblat: Berdasarkan ‘Ain Ka’bah Atau Arahnya (Jihah al-Ka’bah)?
Berkaitan dengan penentuan arah kiblat, Imam Ibn Qudamah di dalam Kitab Al-Mughniy menyatakan:
ثُمَّ إنْ كَانَ مُعَايِنًا لِلْكَعْبَةِ ، فَفَرْضُهُ الصَّلاةُ إلَى عَيْنِهَا لا نَعْلَمُ فِيهِ خِلافًا. قَالَ ابْنُ عَقِيلٍ؛ إنْ خَرَجَ بَعْضُهُ عَنْ مُسَامَتَةِ الْكَعْبَةِ لَمْ تَصِحَّ صَلاتُهُ. وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: النَّاسُ فِي اسْتِقْبَالِهَا عَلَى أَرْبَعَةِ أَضْرُبٍ: مِنْهُمْ مَنْ يَلْزَمُهُ الْيَقِينُ، وَهُوَ مَنْ كَانَ مُعَايِنًا لِلْكَعْبَةِ، أَوْ كَانَ بِمَكَّةَ مِنْ أَهْلِهَا، أَوْ نَاشِئًا بِهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ مُحْدَثٍ كَالْحِيطَانِ، فَفَرْضُهُ التَّوَجُّهُ إلَى عَيْنِ الْكَعْبَةِ يَقِينًا. وَهَكَذَا إنْ كَانَ بِمَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَنَّهُ مُتَيَقِّنٌ صِحَّةَ قِبْلَتِهِ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يُقِرُّ عَلَى الْخَطَأِ، وَقَدْ رَوَى أُسَامَةُ «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، قِبَلَ الْقِبْلَةِ، وَقَالَ : هَذِهِ الْقِبْلَةُ». الثَّانِي: مَنْ فَرْضُهُ الْخَبَرُ، وَهُوَ مَنْ كَانَ بِمَكَّةَ غَائِبًا عَنْ الْكَعْبَةِ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهَا ، وَوَجَدَ مُخْبِرًا يُخْبِرُهُ عَنْ يَقِينٍ أَوْ مُشَاهَدَةٍ ، مِثْلُ أَنْ يَكُونَ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ ، وَعَلَى الْحَائِلِ مَنْ يُخْبِرُهُ ، أَوْ كَانَ غَرِيبًا نَزَلَ بِمَكَّةَ ، فَأَخْبَرَهُ أَهْلُ الدَّارِ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ فِي مِصْرٍ أَوْ قَرْيَةٍ ، فَفَرْضُهُ التَّوَجُّهُ إلَى مَحَارِيبِهِمْ وَقِبْلَتِهِمْ الْمَنْصُوبَةِ ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْقِبَلَ يَنْصِبُهَا أَهْلُ الْخِبْرَةِ وَالْمَعْرِفَةِ ، فَجَرَى ذَلِكَ مَجْرَى الْخَبَرِ ، فَأَغْنَى عَنْ الاجْتِهَادِ ، وَإِنْ أَخْبَرَهُ مُخْبِرٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالْقِبْلَةِ ؛ أَمَّا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ ، أَوْ مِنْ غَيْرِهِ ، صَارَ إلَى خَبَرِهِ ، وَلَيْسَ لَهُ الِاجْتِهَادُ ، كَمَا يَقْبَلُ الْحَاكِمُ النَّصَّ مِنْ الثِّقَةِ ، وَلَا يَجْتَهِدُ. الثَّالِثُ : مَنْ فَرْضُهُ الِاجْتِهَادُ ، وَهُوَ مَنْ عَدِمَ هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ ، وَهُوَ عَالِمٌ بِالأَدِلَّةِ . الرَّابِعُ : مَنْ فَرْضُهُ التَّقْلِيدُ ، وَهُوَ الْأَعْمَى وَمَنْ لَا اجْتِهَادَ لَهُ ، وَعَدِمَ الْحَالَتَيْنِ ، فَفَرْضُهُ تَقْلِيدُ الْمُجْتَهِدِينَ . وَالْوَاجِبُ عَلَى هَذَيْنِ وَسَائِرِ مَنْ بَعُدَ مِنْ مَكَّةَ طَلَبُ جِهَةِ الْكَعْبَةِ ، دُونَ إصَابَةِ الْعَيْنِ . َالَ أَحْمَدُ : مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ ، فَإِنْ انْحَرَفَ عَنْ الْقِبْلَةِ قَلِيلًا لَمْ يُعِدْ ، وَلَكِنْ يَتَحَرَّى الْوَسَطَ . وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ .
“Bila seseorang melihat Ka’bah, ia wajib sholat menghadap ‘ainnya Ka’bah. Kami tidak mengetahui ada khilaf dalam masalah ini. Ibnu ‘Aqil berkata, “Jika orang yang melihat Ka’bah tidak sholat menghadap Ka’bah, maka sholatnya tidak sah. Sebagian ulama madzhab kami berpendapat, “Dalam konteks menghadap kiblat, masyarakat itu terbagi menjadi empat kelompok: Pertama, orang yang yaqin (melihat Ka’bah), yakni orang yang melihat ‘ainnya Ka’bah, atau penduduk kota Mekah, atau berada di balik pagar kota Mekah, maka secara menyakinkan ia wajib menghadap ke ‘ainnya Ka’bah. Demikian juga orang yang sholat di dalam Masjid Nabi Muhammad saw. Ia pasti yakin akan keshahihan kiblatnya. Sebab, Nabi saw tidak akan menyetujui kesalahan. Usamah meriwayatkan bahwasanya Nabi saw sholat dua raka’at, menghadap kiblat, dan berkata, “Ini adalah kiblat”. Kedua, orang yang diwajibkan menghadap kiblat karena adanya informasi. Dia adalah orang yang berada di Mekah, namun bukan penduduk Mekah, dan tidak bisa melihat Ka’bah. Lalu ia mendapati seseorang yang menginformasikan secara menyakinkan atau memberikan kesaksiannya. Seperti orang yang berada di balik pagar kota Mekah, kemudian ada orang yang memberikan informasi (tentang kiblat) kepadanya; atau orang asing yang sedang berada di Mekah, lalu penduduknya memberikan informasi kepadanya. Begitu juga jika seseorang berada di negara Mesir atau suatu negeri, maka ia wajib menghadap kepada mihrab-mihrab atau kiblat-kiblat yang dtelah ditetapkan oleh penduduk negeri tersebut. Sebab, kiblat-kiblat tersebut telah ditetapkan oleh orang yang ahli dan mengetahui kiblat. Hal ini seperti orang yang memberikan suatu informasi, dan tidak membutuhkan ijtihad. Jika orang yang ahli dalam penetapan kiblat memberikan informasi kiblat kepada seseorang, sama saja apakah orang yang ahli kiblat itu adalah penduduk negeri tersebut atau bukan; maka orang tersebut harus merujuk kepada informasi orang yang ahli tersebut. Dia tidak boleh berijtihad. Hal ini sama persis dengan seorang hakim yang wajib mengambil informasi dari orang yang tsiqqah, dan ia tidak perlu berijtihad. Ketiga: orang yang wajib menghadap kiblat karena ijtihadnya. Dia adalah orang yang tidak berada dalam dua keadaan di atas, namun paham terhadap dalil (petunjuk). Keempat: orang yang taqlid (mengikuti orang lain). Dia adalah orang buta dan orang yang tidak mampu berijtihad, atau tidak berada dalam dua keadaan tersebut; maka kewajiban orang tersebut adalah taqlid kepada para mujtahid. Kewajiban orang yang berada dalam dua keadaan tersebut dan semua orang yang jauh dari kota Mekah adalah mencari arah Ka’bah (jihah al-ka’bah), bukan pada ‘ainnya Ka’bah. Imam Ahmad menafsirkan, “Maa baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah (arah antara timur dan barat adalah kiblat), maka jika bergeser dari kiblat sedikit, tidak terlalu jauh, maka tidak diperhitungkan. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari pertengahannya”. Dengan hadits ini pula, Abu Hanifah berpendapat”. (Imam Ibn Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/273)
Syaikh Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidlah , di dalam Kitab Al-Jaami’ li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52, menyatakan:
لا يجب على المسلم أن يتَّجه إلى عين الكعبة أو مكانها بالذات إلا على المسلم الموجود في المسجد الحرام، أو في بقعة من مكة المكرمة يرى منها بناء الكعبة، ففي هذه الحالة يتوجب عليه أن يتجه إلىعين الكعبة، ولا يجْزئ التوجُّه إلى الجهة الموجودة فيها، لأن الكعبة هي القِبلة وليست جهتها ولا ناحيتها، وأما مَن كان في مكة ولا يرى الكعبة ولكنه يرى المسجد الحرام أو جانباً منه، فإنه يتوجَّه نحو المسجد الحرام ويكفيه ذلك، وأما مَن كان خارج مكة قريباً منها فإنه يتحرى استقبال مكة، وهكذا كلما بعدت المسافة قلَّ التَّشدُّد في تحرِّي العين ليُصبح تحرِّياً للجهة والناحية فحسب
“Tidak wajib atas seorang Muslim menghadap kearah ‘ain-nya (bendanya) Ka’bah atau tempat keberadaan Ka’bah, kecuali atas Muslim yang berada di Masjidil Haram atau berada di sekitar kota Mekah Mukarramah yang dari tempat itu ia bisa melihat bangunan Ka’bah. Dalam kondisi semacam ini, diwajibkan atas dirinya menghadap kepada ‘ainnya Ka’bah; dan dia tidak boleh menghadap ke arah sisi (jihhah) Ka’bah. Sebab, Ka’bah adalah kiblat, bukan arah Ka’bah maupun sisinya. Adapun orang yang berada di Mekah namun tidak bisa melihat Ka’bah, tetapi bisa melihat Masjid al-Haram atau berada di sisi Masjid al-Haram, maka dia menghadap ke arah Masjid al-Haram, dan ini sudah cukup bagi dirinya. Adapun orang yang berada di luar Mekah tetapi dekat dari Mekah, maka ia mesti berusaha menghadap ke arah Ka’bah. Begitulah seterusnya, ketika jaraknya semakin jauh, semakin kecil pula penekanan untuk mencari ‘ain Ka’bah, sehingga ia cukup mencari arah atau sisi Ka’bah saja”. (Syaikh Mahmud ‘Abdul Lathif al-‘Uwaidlah, Kitab Al-Jaami’ li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52)
Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, orang yang bisa melihat bangunan Ka’bah, maka ia wajib sholat menghadap ke ‘ain (bangunan) Ka’bah.
Kedua, bagi orang yang tidak bisa melihat bangunan Ka’bah, karena tempat tinggalnya berjauhan dari kota Mekah, maka cukup bagi dirinya menghadap kepada arah Ka’bah (jihah al-Ka’bah), dan tidak harus menghadap kepada ‘ainnya Ka’bah.
Dalil Bagi Orang Yang Jauh Cukup Menghadap Arah Ka’bah (Jihah al-Ka’bah)
Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa orang yang jauh dari Ka’bah berkewajiban menghadap ke arah Ka’bah (jihah al-ka’bah), bukan pada bangunan Ka’bah adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Ibnu Majah dan Imam Tirmidziy:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ﴿مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ﴾. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
“Dari Abu Hurairah ra dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda, “Antara timur dan barat adalah kiblat”. (HR. Imam Ibnu Majah dan Tirmidziy, dan beliau menshahihkan hadits ini).
Imam Syaukani menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:
وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْفَرْضَ عَلَى مَنْ بَعُدَ عَنْ الْكَعْبَةِ الْجِهَةُ لَا الْعَيْنُ ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ مَالِكٌ وَأَبُوحَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا نَقَلَهُ الْمُزَنِيّ عَنْ الشَّافِعِيِّ . وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أَيْضًا : إنَّ شَطْرَ الْبَيْتِ وَتِلْقَاءَهُ وَجِهَتَهُ وَاحِدٌ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ
“Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban (fardlu) bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah menghadap arah (al-jihah), bukan pada bangunan Ka’bah (al-‘ain). Imam Malik, Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat seperti ini”. (Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/168)
Di dalam Kitab Al-Jaami’ li Ahkaam al-Sholah, Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidlah menyatakan:
لا يجب على المسلم أن يتَّجه إلى عين الكعبة أو مكانها بالذات إلا على المسلم الموجود في المسجد الحرام، أو في بقعة من مكة المكرمة يرى منها بناء الكعبة، ففي هذه الحالة يتوجب عليه أن يتجه إلى عين الكعبة، ولا يجْزيء التوجُّه إلى الجهة الموجودة فيها…
“Seorang Muslim tidak wajib menghadap bangunan Ka’bah (‘ain al-ka’bah), atau tempat berdirinya Ka’bah, kecuali atas seorang Muslim yang berada di Masjidil Haram, atau berada di sekitar kota Makkah Mukarramah dan bisa melihat bangunan Ka’bah. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi dirinya menghadap bangunan Ka’bah dan tidak boleh menghadap ke sisi (jihah) yang ada pada Ka’bah….” (Syakh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidlah, Al-Jaami’ li Ahkaam al-Sholah, juz 2/52)
Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughniy berkata:
وَالْوَاجِبُ عَلَى هَذَيْنِ وَسَائِرِ مَنْ بَعُدَ مِنْ مَكَّةَ طَلَبُ جِهَةِ الْكَعْبَةِ ، دُونَ إصَابَةِ الْعَيْنِ . َالَ أَحْمَدُ : مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ ، فَإِنْ انْحَرَفَ عَنْ الْقِبْلَةِ قَلِيلًا لَمْ يُعِدْ ، وَلَكِنْ يَتَحَرَّى الْوَسَطَ . وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ .
“Yang wajib atas orang yang berada dalam dua keadaan ini, dan semua orang yang jauh dari kota Mekah adalah mencari arah Ka’bah (jihah al-ka’bah), bukan pada ‘ainnya Ka’bah. Imam Ahmad menafsirkan , ” Maa baina al-masyriq wa al-maghrib qiblah (arah antara timur dan barat adalah kiblat), maka jika bergeser dari kiblat sedikit, tidak terlalu jauh, maka ia tidak perlu diperhitungkan. Akan tetapi, ia harus berusaha mencari pertengahannya”. Dengan hadits ini pula, Abu Hanifah berpendapat”. (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 2/273)
Kesimpulan dan Peringatan
Pertama, orang yang jauh dari kota Mekah tidak diwajibkan menghadap ke ‘ain (bangunan) Ka’bah, akan tetapi cukup menghadap ke arah sisi Ka’bah.
Kedua, pergeseran sedikit dari arah kiblat tidaklah perlu dipersoalkan. Pasalnya, yang dituntut bukanlah menghadap ke arah bangunan Ka’bah secara persis, akan tetapi menghadap ke arah sisi Ka’bah (jihah al-ka’bah). Adanya pergeseran sedikit tidaklah menjadi masalah, dan sama sekali tidak membatalkan sholat.
Ketiga, fatwa pergeseran kiblat yang dilansir sebagian orang di negeri ini tidak perlu direspon secara berlebihan. Pasalnya, selain pergeserannya masih kecil, ranah ini termasuk ranah khilafiyyah, di mana para ulama mu’tabar di masa lalu juga telah mendiskusikannya secara panjang lebar, dan mereka berbeda pendapat dalam masalah tersebut. Jika fatwa seperti ini direspon secara berlebihan, dikhawatirkan malah menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan permusuhan di tengah-tengah kaum Muslim; serta digunakan dan dimanfaatkan oleh penguasa-penguasa Kafir penjajah dan antek-anteknya yang dzalim untuk mengalihkan perhatian kaum Muslim dari problem-problem masyarakat yang lebih penting, seperti tidak diterapkannya syariat Islam, serta kebijakan-kebijakan dzalim yang semakin menyusahkan rakyat, semacam kebijakan kenaikan TDL yang berakibat pada naiknya harga barang-barang lain.
Semestinya, ulama’ lebih layak mengeluarkan fatwa dalam perkara yang mempunyai dampak terbesar dalam kehidupan umat, seperti wajibnya menegakkan Khilafah dan berjuang secara berjamaah untuk mewujudkannya. Karena inilah masalah utama yang menyebabkan kaum Muslim selalu menjadi sasaran kezaliman, sementara tidak ada satupun institusi yang bisa membela mereka. Wallahu al-Musta’an wa Huwa Waliyu at-Taufiq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Anggota Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir]
[1] Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan oleh Imam Thabraniy dari Mu’adz bin Jabal ra, bahwasanya berkata, “Kami sholat ke arah selain kiblat bersama Rasulullah saw pada hari yang sangat mendung dalam sebuah perjalanan. Tatkala, beliau selesai mengerjakan sholat dan mengucapkan salam, matahari kembali terang. Kami berkata, “Ya Rasulullah , kita sholat ke arah selain kiblat”. Beliau menjawab, “Sholat kalian telah diangkat dengan hak nya kepada Allah swt”.[HR. Imam Thabaraniy] Inilah dalil yang menunjukkan bahwa menghadap kiblat bukanlah syarat sah sholat, akan tetapi hanya kewajiban dalam sholat. Seandainya menghadap kiblat adalah syarat sah sholat, niscaya Nabi saw akan memerintahkan shahabat untuk mengulangi sholatnya.