Meneropong Normalisasi Kerjasama Militer AS – Indonesia

Amerika Serikat mengumumkan normalisasi kerjasama militer dengan Kopasus.  Hal itu diumumkan oleh menteri pertahanan AS Robert Gates dalam kunjungannya ke Indonesia pada 22 Juli lalu.  Normalisasi itu dilakukan setelah 12 tahun diterapkan larangan kerjasama dengan Kopasus.  Kerjasama militer AS-Indonesia secara umum telah dinormalisasi pada tahun 2005 lalu.  Apa yang bisa dibaca dari normalisasi kerjasama AS dengan Kopasus ini?

Perlu dicatat bahwa normalisasi ini dilakukan setelah serangkaian pembicaraan dengan AS.  Begitu pula Kopasus telah melakukan banyak hal sesuai apa yang diminta oleh AS.  Dan secara umum Indonesia telah melakukan proses dan sangat banyak aktivitas yang menyenangkan AS.

Satu hal yang selama ini terus menjadi alasan larangan kerjasama dan digunakan oleh LSM selama ini yaitu masalah pelanggaran HAM oleh Kopasus.  Ini pula yang disinggung oleh Gates.

Menhan AS Robert Gates, mengatakan bahwa AS akan mencabut larangan kontak dan pelatihan ke Kopasus setelah pemerintahan Obama menyimpulkan bahwa Kopasus telah dibersihkan dari dan memiliki komitmen kepada HAM.

Gates mengatakan: “langkah awal ini akan berlangsung dalam batas-batas hukum AS dan tidak mengindikasikan makin kurang pentingnya HAM dan akuntabilitas”.  Gates juga mengatakan “perluasan langkah awal ini akan bergantung pada implementasi reformasi” (Craig Whitlock, Washington Post, Selasa,22/07).

Keputusan normalisasi itu sendiri dilakukan setelah dilakukan negosiasi berbulan-bulan.  Pejabat Dephan AS menyatakan bahwa Gedung Putih dan Dephan menyetujui kontak dengan Kopasus dilanjutkan kembali hanya beberapa saat sebelum Gates tiba di Jakarta pada hari Rabu.  AS melanjutkan kembali hubungan dengan militer Indonesia sejak 2005.

Pejabat Dephan AS mengatakan bahwa Indonesia telah membersihkan Kopasus dari orang-orang yang terlihat dalam pelanggaran HAM.  Pejabat Dephan AS juga mengatakan bahwa Kopasus telah memprofesionalkan para pejabatnya dalam satu dekade ini dan saat ini yang memgang komando adalah orang-orang yang memiliki reputasi bersih.

Keputusan itu tak ayal mendapat protes dari senator Patrick Leahy, yang dahulu memprakarsai lahirnya UU yang melarang kerjasama militer dengan militer manapun yang terindikasi melanggar HAM.  Begitu juga keputusan itu juga mendapat protes dari organisasi da aktivis HAM.

Hanya saja, Editorial Washington Post mengomentari para pengkritik itu.  “Kami berpikir bahwa mereka yang mengkritik itu melupakan point kuncu.  Indonesia saat ini adalah demokrasi -salah satu kisah sukses besar politik pada dekade terakhir ini. Berbeda dengan Vietnam, yang tetap menjadi negara satu partai dengan sedikit toleransi untuk perbedaan pendapat. Sedangkan Burma (Myanmar) adalah salah satu negara yang paling represif di dunia. Jadi Menurut Washington Post, pemerintah Obama telah tepat membuat perbedaan yang sesuai.

Menhan Gates juga mengomentari kritik organisasi dan aktivis HAM.  Menurutnya, “akuntabilitas (pertanggungjawaban) atas kejahatan masa lalu sangat penting, dan Amerika Serikat akan terus menekan untuk itu. Tapi para kritikus melupakan perubahan besar di Indonesia sejak jatuhnya diktator Soeharto pada tahun 1998. Indonesia telah mengadakan pemilu multipartai dan menyaksikan transfer kekuasaan secara damai. Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia itu, jumlah penduduk sekitar 240 juta orang, sebagian besar tetap ramah kepada para Hindu, Kristen dan minoritas lainnya. Indonesia telah memerangi ektremisme islam dan intoleransi.  Dan militernya berada di bawah kendali sipil.  Prospek bagi HAM dalam situasi seperti ini cemerlang selama proses demokrasi tetap berlangsung -dan Amerika Serikat memiliki alasan untuk memperkuat aliansi dan bantuannya, sebanyak mungkin, agar demokrasi menjadi lebih tertanam.”

Gates juga mengatakan bahwa baginya pertanyaan yang harus diajukan terkait kerjasama dengan Kopasus adalah bagaimana cara terbaik untuk memajukan HAM.  “Pandangan saya adalah, terutama jika orang itu telah membuat upaya untuk membuat kemajuan, maka mengaku upaya itu dan bekerja lebih lanjut dengan mereka, akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dalam hal HAM daripada berkacak pinggang dan terus meneriaki mereka”, katanya.

Dalam persiapan pencabutan larangan itu, pejabat Dephan AS mengatakan bahwa mereka telah meminta pemerintah Indonesia dalam bulan-bulan lalu untuk memindahkan “hampir selusin” anggota Kopasus yang terlihat pelanggaran HAM.  Yang paling akhir adalah pencopotan Letkol Tri Hartomo yang divonis penjara oleh pengadilan militer akibat pelanggaan yang menyebabkan terbunuhnya aktivis Papua Theys Eluay (Elisabteh Bumiller dan Norimitsu Onishi, New York Times, 22/07).

Karena itu, Gates mengatakan bahwa ia dan Menlu AS Hillary Clinton sama-sama yakin bahwa pemulihan hubungan adalah “hal yang benar untuk dilakukan saat ini.” (NINIEK KARMINI, The Associated Press, Selasa, 22/07)

Philip Bowring dalam tulisannya di New York Times (22/7) menyatakan, “Orang Indonesia merasa mereka hanya menerima hadiah kecil (tidak sebanding) atas upaya memulihkan demokrasi dan harga diri.  Indonesia juga merupakan tempat yang paling terbuka, demokratis dan masyarakat yang pluralistik di kawasan ini.  Indonesia juga menjadi salah satu tempat dimana kelompok masyarakat sipil dapat bekerja secara bebas, tidak seperti tetangganya yang menikmati kedekatan hubungan militer dengan AS.

Ia menyatakan bahwa pengumuman ini bukanlah akhir dari sejarah (dalam masalah ini).  Kongress AS masih tetap melarang training bagi Kopasus di AS.  Akan tetapi menurutnya, pengumuman itu akan menyadarkan Washington terhadap fakta bahwa AS memiliki kepentingan yan lebih besar di Asia daripada terus menghukumnya atas tindakan satu dekade lalu atau lebih.

Salah satu faktor penting yang dibalik normalisasi kerjasama AS dengan Kopasus itu adalah dalam kerangka menyikapi tantangan yang muncul dari China.  Kurt Campbell, asisten menteri untuk Asia Timur dan Pasifik baru-baru ini berkomentar, “terdapat kebijakan ang baik dari China dalam melibatkan pihak lain di kawasan”.  Pada skor ini, tidak ada negeri yang menyerap lebih banyak perhatian AS dari bangsa kepulauan ini, yang menguasai jalur penting yang mengubungkan lautan India dengan laut China Selatan dan Pasifik dan denga terbuka, memiliki kekayaan ekonomi dan potensi pasar yang besar dari 250 juta penduduknya.

Bowring menulis, “Pengaruh AS menghadapi tantangan dair China yang mengunakan kekuatan barunya yaitu perdagangan untuk menyebarkan pengaruhnya di Asia Tenggara dan untuk memperluas jangkauan angkatan laut melewati laut China Selatan.  PM Wen Jiabao dalam kunjungan di Jakarta, ia akan datang dengan membawa banyak hadiah untuk bangsa yang secara tradisional menyikapi China dengan kecurigaan”.

Kepentingan dalam rangka menyikapi tantangan China ini juga disinggung dalam tulisan Di Balik Normalisasi Kerja Sama RI-AS (Kompas, Minggu, 25/7).  Dalam tulisan itu dinyatakan, “Ada yang luput dari perhatian saat Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro menggelar konferensi pers seusai bertemu Menteri Pertahanan AS Robert Gates, Kamis (22/7/2010). Perhatian terpusat pada normalisasi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan elite TNI AD, dengan AS. Padahal, Purnomo mengeksplorasi beberapa hal yang menjadi pusat perhatian Gates, yaitu pengamanan Laut China Selatan.”

“Soal ini, AS meminta Indonesia menjaga terusan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) agar bebas ancaman. Kepentingan AS soal Laut China Selatan meningkat. Ini akibat semakin intensifnya Angkatan Laut China yang mengubah strategi dari pertahanan lepas pantai menjadi pertahanan laut jauh.”

“Pada 18 Maret lalu, enam kapal perang China pertama kali melakukan latihan perang di Fiery Cross Reef, kepulauan di antara Vietnam-Malaysia-Filipina. Lalu, menurut New York Times, seorang pejabat militer China menyebut Laut China Selatan sebagai core national interest yang sejajar dengan Tibet. Tindakan China makin menjadi-jadi di Laut China Selatan.”

Ernie Bower, seorang ahli di the Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, “dan ada pengakuan bahwa Anda perlu memiliki fondasi yang kuat di ASEAN untuk menangani China dari waktu ke waktu”  (U.S. continues effort to counter China’s influence in Asia, oleh John Pomfret, penulis di Washington Post, Jumat,23/7).  Dalam hal ini, Indonesia adalah jangkar di ASEAN mengingat Indonesia adalah salah satu pendiri ASEAN dan dari waktu ke waktu terlihat tetap memiliki peran dan pengaruh di ASEAN.  Untuk itulah, AS penting untuk meningkatkan hubungan dengan Indonesia termasuk militernya.  Dan dalam hal ini simbol puncak dari hal itu adalah normalisasi kerjasama dengan Kopasus yang telah dibekukan selam 12 tahun.

Menurut Bowring, saat ini AS terlihat tengah berupaya mengepung China dengan memperkuat hubungan dengan India, kemudian secara bertahap membangun hubungan dengan Vietnam dan melalui Jepang, Australia dan Korea Selatan, AS  berupaya mengokohkan posisinya dalam menghadapi pengaruh China.  Disisi lain Indonesia seperti tetangganya, menginginkan investasi China, tapi juga ingin mengkonter China.  Meskipun kalim teritorial oleh China tidak akan menyentuh wilayah perairan Indonesa, tetapi jelas akan memiliki implikasi strategis yang besar terhadap bangsa kepulauan ini”.

Washington juga memperhatikan pentingnya Indonesia bagi bisnis AS, peluang perdagangan dan investasi di pasar yang secara historis sangat menguntungkan bagi bisnis asing.  Penurunan porsi perdagangan dan investasi AS mungkin akan sulit membangkitkan pertumbuhan ekonomi kawasan ini.  Akan tetapi hampir tidak ada penolakan terhadap pengaruh kultur AS, meski Indonesia menolak politik AS di Timur Tengah.

Karena Washington Post dalam editorialnya (Jadi banyak faktor yang bermain dalam keputusan AS tentang bagaimana terlibat dengan negara-negara di wilayah yang dinamis ini, termasuk keuntungan ekonomi dan pentingnya meredam pengaruh China yang mulai meningkat. Bangsa yang tetap pada jalur demokrasi, seperti Indonesia dan Filipina, sangat berpotensi untuk menjadi sekutu yang jauh lebih bermanfaat -dan lebih menghormati HAM- dari diktator manapun. Pembela HAM harus mengakui itu.

Semua paparan diatas, menunjukkan bahwa normalisasi kerjasama AS dengan Kopasus ini adalah sesuatu yang penting.  Karena itu untuk mengumumkannya dirasa perlu Menhan AS sendiri datang ke Indonesia dan mengumumkannya di Jakarta, bukan pejabat Indonesia yang datang ke AS dan diumuman di sana.  Dengan demikian normalisasi kerjasama AS dengan Kopasus ini adalah simbol yang bisa jadi sama pentingnya dengan sebagian isi kunjungan Obama yang sudah tertunda dua kali dan akan dijadwalkan pada November mendatang.  Bowring menulis, “Semua itu membuat lebih penting sehingga AS menghilangkan hambatan dalam dirinya untuk memperkokoh pengaruh di Asia Tenggara dengan fokus kepada Indonesia dalam mencari dan mendefinisikan kepentingan dan partner strategisnya.  Keputusan tentang Kopasus ini haruslah baru sekedar permulaan”.  (Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

8 comments

  1. Tidak selayaknya seorang muslim masuk 2 kali kedalam lubang perangkap yang sama

  2. no free lunch sir SBY

  3. Knp orang indonesia ga pernah bs mandiri sejajar dg bangsa lain, malah semakin memper erat dg penjajah umat isalam USA

  4. Satu alasan paling kuat AS kembali mendekati TNI adalah kekawatiran kalau RI akan masuk makin dalam ke dalam pengaruh China, seandainya tidak ada kekawatiran itu besar kemungkinan AS tidak secepat ini merangkul TNI sesudah sekian lama mencekik suku cadang militer kita dimana hal ini amat merugikan, sudah sepatutnya Indonesia berhati2 dalam menyikapi sikap AS ini karena sudah kasat mata bagaimana sikap AS pada suatu negara, kalau dirasa bermanfaat akan tetap dirangkul dan kalau tidak maka akan ditelantarkan bahkan dimusuhi oleh AS, contohnya Irak, Iran, Afganistan ketiga negara ini sebelumnya adalah “sahabat” AS dan kini malah dijadikan musuh utama AS, dan banyak lagi negara di afrika, amerika latin dan eropa timur. Dan sebetulnya tolok ukur AS menganggap suatu negara jadi sahabat bukanlah faktor demokrasi seperti yang selalu mereka dengungkan dimana2, tapi lebih pada kepentingan nasional AS sendiri, Arab Saudi dan bbrpa negara Timteng jelas2 bukan negara demokrasi tapi dianggap sahabat setia oleh AS sepanjang mereka bermanfaat bagi AS. Sebaiknya Indonesia dapat bersikap netral dalam menyikapi persaingan sengit dua negara gajah ini dan bahkan memanfaatkannya untuk kepentingan nasional Indonesia.

  5. saya ikut prihatin, indonesia tak bisa mandiri.

  6. normalisasi kerja sama militer AS-RI merupakan strategi AS untuk menancapkan pengaruh militernya di Indonesia setelah pengaruhnya di ASIA pada saat ini terancam diambil alih oleh kekuatan baru yaitu China. Indonesia hanya akan dijadikan alat untuk menghadang kekuatan China. Layakkah hal itu dilakukan oleh pemerintah kita?

  7. kapan negaraku akan mandiri,,,negara ku adalah negara yang kuat,,negara yang besar,,negara yang kaya,,,tapi pejabat2nya hanya mementingkan dirinya sendiri tidak mementingkan negara kita ini..

  8. ya allah,,,lindungilah negaraku ini dari segala tipu muslihat setan yang terkutuk,,,,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*