NEW YORK-Kolumnis yang cukup punya nama di Amerika Serikat, Richard Reeves (http://www.richardreeves.com/) menyoroti soal tajamnya pro-kontra antara kubu yang mendukung dan menolak rencana pembangunan masjid di dekat Ground Zero, New York, lokasi bekas reruntuhan dua menara kembar dalam Tragedi 11 September. Ia menyebut, polemik itu seolah membelah Amerika. Bahkan, di kubu Partai Republik pun, katanya, kini ada istilah Republik Muslim dan Republik Kristen. Namun terlepas dari semua itu, ia menyatakan, penolakan atas masjid itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap kosntitusi Amerika — dan itu tak seharusnya terjadi.
Menurutnya, seperti halnya Kristen yang bebas membangun gereja atau Yahudi yang bebas mendirikan Sinagog, maka Muslim pun berhak membangun masjid di manapun, di atas tanah yang telah mereka miliki.
Berikut ini ulasan pria yang sedikitnya telah menerbitkan 16 judul buku dan tulisan kolomnya tersebar di berbagai media Amerika Serikat ini:
Berpidato panjang lebar bukanlah bakat Walikota New York, Michael Bloomberg. Tapi pada Selasa lalu, dia melakukannya dengan sempurna ketika dia memilih untuk membela hak-hak umat Islam untuk membangun sebuah pusat masyarakat dan masjid beberapa blok dari situs World Trade Center sebelum 11 September 2001.
“Pintu kami terbuka untuk semua orang – orang dengan mimpi dan kemauan untuk bekerja keras dan bermain sesuai aturan,” katanya. “New York City dibangun oleh imigran, dan oleh orang-orang dari lebih dari seratus negara yang berbeda cara berbicara, dengan lebih dari dua ratus bahasa yang berbeda dan mengaku memiliki kepercayaan yang beragam.
“Kita mungkin tidak selalu setuju dengan setiap pendapat salah satu tetangga kita. Tapi itulah kehidupan. Dan itu bagian dari hidup di kota yang beragam dan padat. Tapi kita juga menyadari bahwa bagian dari menjadi New Yorker adalah hidup dengan tetangga Anda dalam rasa saling menghormati dan toleransi Itu.”
Bloomberg juga mengingatkan warga pada sejarah intoleransi di kota terbesar di dunia, yaitu pada tahun 1650-an ketika Gubernur Belanda di New Amsterdam, Peter Stuyvesant, menolak orang-orang Yahudi untuk membangun rumah ibadat di kota itu dan menolak Quaker untuk membangun rumah pertemuan di tempat yang sekarang di Queens. Lebih dari satu abad kemudian seorang imam Katolik Roma ditangkap pada tahun 1790 karena membangun gereja pertama mereka, Santo Petrus, yang masih berdiri hingga saat ini, satu blok dari World Trade Center.
“Pemerintah,” lanjut Bloomberg, “Tidak berhak apapun untuk menyangkal warga negara … untuk membangun rumah ibadah di atas tanah milik pribadi berdasarkan agama tertentu mereka. Itu mungkin terjadi di negara-negara lain. Tapi kita tidak akan membiarkan itu terjadi di sini. ”
Ketua Dewan Kota, Christine Quinn, juga berbicara tentang sejarah keluarganya saya sendiri. Semua empat bersaudara kakek saya datang dari Irlandia ke sini karena mereka ragu dengan masa depan keturunannya di tanah kelahirannya, karena tak bisa leluasa mempraktikkan keyakinannya. New York City dipilih karena merupakan tempat yang bisa menerima, paling bebas dan paling toleran di seluruh dunia.
Dan kini, sekelompok orang berusaha mengoyak ketoleranan kota ini. Politisi nativist- dipimpin oleh Newt Gingrich dan Sarah Palin – telah mengambil isu ini dan berjuang untuk menyatakan perang terhadap Muslim. Nah, bukankah itu justru yang diinginkan para penghancur WTC? Itulah ide di balik 9 / 11 (membenturkan Islam dengan non-Islam).
Sungguh ironis, mereka yang mengaku mencintai negeri ini justru kini giat melobi untuk menghilangkan Amandemen Pertama dengan Konstitusi, amandemen yang dirancang untuk melindungi kebebasan berbicara dan memisahkan agama dan negara. Mengoyak keutuhan negeri ini!
Jika Anda mengikuti hasutan para politisi tersebut, maka Anda berdebat untuk Republik Kristen atau Yahudi-Kristen, dimana mereka membuat gereja dan negara menjadi hal yang sama. Mereka mengingkari konstitusi Amerika. (republika.co.id, 11/8/2010)