JAKARTA – Pidato rutin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait Nota Keuangan dan RAPBN 2011 di depan DPR pada Senin (16/8) mendapat beragam tanggapan. Ada yang menilai isi pidato itu cukup baik. Namun, ada pula yang menilai pidato itu belum bisa membangkitkan harapan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik.
“Itu pidato rutin sehingga banyak cerita keberhasilan. Sayangnya, tidak terlihat adanya terobosan menangani masalah-masalah riil di masyarakat,” kata Guru Besar Komunikasi UI, Ibnu Hamad, Selasa (17/8).
Ia menjelaskan, pidato Presiden memiliki beragam isu yang dikemas menjadi satu. Seleksi isu ke dalam pidato menjadi penting. Ibnu menilai, dalam membungkus aneka isu itu, Presiden tampak kesulitan menempatkan isu kepemimpinan mengelola harapan masyarakat.
“Pernyataan-pernyataan seperti apa masalah bangsa, mau dibawa ke mana bangsa ini, dan kepemimpinan untuk menyelesaikan masalah tidak terlihat. Justru, jadinya pidato biasa,” katanya.
Pengamat ekonomi IPB, Iman Sugema, menambahkan, pidato ekonomi Presiden selama lebih dari 60 menit itu terkesan datar. “Tidak terlihat fokusnya,” kata Iman. Hal ini ia sayangkan karena pidato Presiden harusnya bisa menciptakan optimisme di masyarakat. Minimal ada harapan berkembang di masyarakat kalau satu tahun ke depan hidup mereka akan lebih baik.
Memang, Presiden SBY sempat menyinggung sejumlah prioritas pembangunan seperti infrastruktur, menggerakkan sektor riil dan keuangan, reformasi birokrasi, dan menurunkan tingkat kemiskinan serta pengangguran. Masalahnya, kata dia, tidak terlihat kesinambungan antarprioritas.
“Jadinya, terasa pidato itu ‘gunting tempel’ dari sana-sini. Tidak nyambung,” katanya.
Presiden SBY pada Senin (16/8) di depan DPR dan DPD menjabarkan keterangan pemerintah atas RAPBN 2011 dan Nota Keuangan. Presiden membuka pidato dengan menggarisbawahi masalah harga-harga bahan pokok dan nilai tukar rupiah. Menurut Presiden, perkembangan inflasi di dalam negeri harus diwaspadai. Pemerintah akan melakukan operasi pasar, menjaga kecu kupan pasokan dan ke ter sediaan barang, meng amankan stok di daerah, menjaga kelancaran distribusi barang.
Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri, mengkritik pidato Presiden dengan mengatakan, “Banyak permasalahan yang justru tidak diucapkan.” Seperti insiden terkini Indonesia-Malaysia, maraknya ledakan elpiji, dan reformasi politik.
Politikus Fraksi PPP, Romahurmuziy, memberi nilai tujuh bagi pidato SBY. Anggota DPR dari FPKS Andi Rahmat berpendapat, target pertumbuhan adalah angka aman. Ada rally di pasar modal dan investasi. Kalau bisa mengendalikan, ekonomi bisa mencapai 7,7 persen, katanya. Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie menilai, kemiskinan di Papua, Papua Barat, Maluku, Gorontalo, NTT, dan NTT sudah turun-temurun. Ia meminta pemerintah tidak menangani masalah kemiskinan ini dengan program dan kegiatan yang tidak menyeluruh. indira rezkisari/yasmina hasni/m ikhsan shiddieqy/teguh firmansyah ed: stevy maradona
Pidato presiden tidak menjelaskan:
– Ekonomi biaya tinggi masih terjadi
– Intermediasi perbankan ke sektor riil belum juga mulus
– Maraknya ledakan elpiji tiga kg – 12 kg
– Harga bahan pokok naik terus menerus
– Biaya pendidikan masih mahal dan pungutan masih terjadi
– Solusi mengurangi kemiskinan dan pengangguran
– Solusi subsidi BBM dan gas
– Solusi mengatasi kemacetan di DKI Jakarta
– Solusi mengatasi krisis listrik PLN
– Tarif Dasar Listrik 2011 kembali naik
– Proyek listrik 10 ribu MW tersendat-sendat
– Insiden RI-Malaysia
Beberapa inti pidato presiden :
– Nilai tukar rupiah Rp 9.300 per dolar AS
– Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,3 persen
– Menargetkan penerimaan perpajakan Rp 839,5 triliun,
– Anggaran belanja modal Rp 121,7 triliun
– Jumlah penduduk miskin diturunkan menjadi 11,5-12,5 persen
– Menaikkan gaji pokok PNS/TNI/Polri rata-rata 10 persen
– Menaikkan pendapatan guru
– Anggaran subsidi menjadi Rp 184,8 triliun
– Anggaran reformasi birokrasi Rp 1,4 triliun
– Membayar bunga utang dalam negeri Rp 80,4 triliun dan bunga utang luar negeri Rp 36 triliun
– Menurunkan rasio utang menjadi sekitar 26 persen
– Memberikan Dana Otonomi Khusus untuk Papua Rp 3,1 triliun,
– Papua Barat Rp 1,3 triliun, dan Aceh Rp 4,4 triliun.
Sumber: republika (18/8/2010)