Otoritas Thailand pada hari Rabu (18/8) mengumumkan bahwa Otoritas memutuskan untuk memblokir situs Wikileaks dengan alasan keamanan berdasarkan undang-undang darurat. Pemblokiran ini dilakukan di tengah kritik bahwa Otoritas sedang memperluas larangan website, menyusul kerusuhan berdarah di Bangkok awal tahun ini.
Seorang juru bicara Departemen Informasi, Komunikasi dan Teknologi mengatakan bahwa keputusan diambil oleh unit yang bertugas memonitor situasi setelah kerusuhan politik, yang didominasi oleh pengunjuk rasa dari pihak oposisi (kaos merah) di beberapa wilayah di ibukota.
Larangan mengakses sementara ke situs Wikileaks-yang terkenal dengan penginfiltrasian berita-berita penting-berdasarkan bab khusus undang-undang darurat pada tahun 2005, namun para pengguna internet di berbagai lokasi yang berbeda di Thailand mengatakan mereka masih dapat mengakses situs ini.
Sebelumnya Thailand sudah memblokir situs YouTube pada tahun 2007 setelah mempublikasikan ptongan video yang mengejek raja. Thailand juga telah menghapus puluhan ribu halaman web yang mengarah pada “penghinaan kepada kerajaan”.
Thailand menghukum penjara sampai 15 tahun kepada siapa saja yang mengejek raja, atau mengarah pada penghinaan terhadap kerajaan. Thailand juga mendirikan kekuatan untuk kejahatan elektronik guna mengontrol setiap kritik terhadap keluarga kerajaan.
Thailand juga telah menghapus beberapa halaman situs Facebook situs setelah kerusuhan yang disebabkan oleh para pemilik “kaos merah”, dan mereka menduduki beberapa wilayah penting di ibukota. Thailand juga telah melakukan pengawasan dengan ketat terhadap internet.
Menurut jaringan pengguna internet di Thailand bahwa pemblokiran situs yang mengejek raja “dapat diterima”, tetapi penerapan larangan dengan bab undang-undang darurat merupakan “hal yang membingungkan”. Jaringan tersebut menuntut pemerintah untuk lebih transparan tentang alasan pemblokiran.
Sementara ini, Otoritas belum menyebutkan alasan pemblokiran Wikileaks, yang telah memiliki reputasi luas dengan mempublikasikan ribuan dokumen perang AS di Afghanistan, tanpa menjelaskan apakah Thailand merupakan subjek dokumen atau informasi apapun yang dipublikasikan di situs.
Situs Wikileaks telah membangkitkan kemarahan Otoritas Amerika, khususnya, setelah mempublikasikan sekitar 76.000 dokumen terkait invasi Amerika ke Afghanistan, dan berjanji untuk mempublikasikan sebanyak 15.000 dokumen yang tersisa meskipun ada ancaman dari pemerintah AS.
Juru bicara Pentagon, Geoff Morrell mengatakan bahwa dokumen-dokumen ini berisi materi yang paling bahaya dan sensitif” dari yang dipublikasikan oleh situs yang sama di internet pada bulan lalu, yang jumlahnya mencapai 77.000 dokumen dalam upaya untuk menjelaskan perang Amerika di Afghanistan.
Namun, pendiri situs Wikileaks, Julian Assange mengatakan: “Organisasi (Wikileaks) tidak akan tunduk pada ancaman (Departemen Pertahanan AS) Pentagon, atau kelompok manapun”. Ia menambahkan bahwa “Situs bekerja dengan sangat hati-hati terkait artikel ini.” (mediaumat.com, 19/8/2010).