Setelah dihebohkan oleh sebuah foto di Facebook yang menggambarkan seorang tentara perempuan Israel membelakangi beberapa pria Palestina yang ditahan dengan mata terikat, kini dua perempuan yang pernah menjalani wajib militer di angkatan bersenjata Israel berbicara tentang pengalaman serupa.
Adalah Inbar Michelzon, seorang wanita Israel yang membuka tekanan dari dalam batinnya, setelah menjalani dua tahun wajib militer di Angkatan Pertahanan Israel (Israeli Defence Force atau IDF).
Satu kata yang tercoret di dinding Hebrew University of Jerusalem telah menggerakan hati Michelzon. Kata itu adalah ‘occupation’ (pendudukan).
“Saya merasa seperti seseorang yang telah membicarakan sesuatu yang tabu,” kata Michelzon di sebuah kafe di Tel Aviv, seperti yang dikutip The Guardian, Minggu (22/8).
“Itu benar-benar mengejutkan saya. Ada sebuah grafiti yang berbunyi, ‘akhiri pendudukan’, dan saya merasa, OK, sekarang saya bisa berbicara tentang apa yang saya telah saya saksikan,” sambung Michelzon.
Michelzon menjadi satu dari beberapa mantan tentara perempuan Israel yang telah berbicara blak-blakan tentang pengalaman militer mereka, sebuah gerakan yang kemudian membuat mereka dituduh pengkhianat dan tidak loyal.
Sulit dibayangkan betapa besar pengaruh dari pengakuan mereka, tetapi mereka telah memberikan gambaran alternatif dari apa yang sering digembar-gemborkan oleh IDF sebagai ‘tentara yang paling bermoral di muka bumi’.
Keprihatinan terhadap budaya tentara Israel mulai meningkat sejak minggu lalu setelah sebuah foto di Facebook menggambarkan seorang tentara perempuan Israel berpose membelakangi tahanan Palestina yang duduk dengan tangan terikat dan mata ditutup.
Foto itu mengingatkan pada skandal Abu Ghraib di Irak. Tetapi, Eden Abergil, tentara perempuan di foto itu yang kini tidak aktif di militer, justru mengatakan tidak mengerti apa yang salah dari foto yang digambarkan sebagai ‘buruk dan tidak berperasaan’ oleh IDF.
Israel memang mengharuskan perempuan yang berusia 18 tahun untuk selama dua tahun mengikuti wajib militer. Pengalaman itu bisa menjadi sangat tidak manusiawi bagi sepuluh persen dari mereka yang bertugas di wilayah pendudukan Israel. Contohnya Michelzon.
“Saya meninggalkan militer sambil membawa bom yang terus berdetak di perut saya. Saya merasa telah melihat halaman belakang Israel. Saya melihat sesuatu yang tidak pernah dibicarakan orang, Itu hampir seperti saya telah mengetahui rahasia yang kotor dari sebuah negara dan saya harus membukanya,” tegas Michelzon.
Michelzon yang kini berusia 29 tahun mulai menjalani wajin militer pada September 2000, tepat ketika intifada kedua pecah. “Saya bergabung dengan militer dengan pandangan yang idealis, saya sangat ingin berbakti untuk negara saya,” Michelzon berkisah.
Ia ditempatkan di Erez, daerah perlintasan Israel dengan Jalur Gaza, di dalam ruangan kendali radio. “Sangat banyak ketegangan, banyak tembakan, dan bom bunuh diri. Sedikit demi sedikit saya memahami aturan main, Anda harus membuat orang Arab susah, itu adalah tugas utama, karena mereka adalah musuh,” Michelzon meneruskan kisahnya.
Michelzon lalu bercerita tentang contoh kegiatan rutin di pos tempatnya berjaga, tentang seorang perempuan Palestina yang ingin menyebrang. Michelzon lalu melapor pada atasannya, meminta izin untuk membiarkan perempuan itu melintas.
Alih-alih memberi izin, atasannya malah menyuruhnya membuat perempuan itu menunggu selama berjam-jam. “Saya merasa kesepian dalam angkatan bersenjata. Saya tidak bisa berbicara tentang hal-hal yang saya pikir salah. Saya tidak memiliki pandangan yang kuat tetapi saya tidak merasa nyaman tentang pembicaraan itu, tentang tentara yang memukul orang Arab dan tertawa,” Michelzon berbicara getir. “Saya kira semua orang normal dan hanya saya yang tidak. Saya merasa asing,” tukas Michelzon.
Memasuki Juni 2002, di akhir masa tugasnya, Michelzon mengatakan ia merasa ingin lari dan kabur ke India. “Saya mengatasi masa-masa berat sedikit demi sedikit,” ia kembali bertutur.
Ketika kembali melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, ia harus menjalani terapi selama dua tahun, masa ketika ia mulai berpikir untuk membuka semuanya.
Ia juga bergabung ke ‘Breaking the Silence’, sebuah organisasi beranggotakan mantan tentara yang mempublikasikan berbagai pengakuan dari mantan tentara tentang kehidupan di wilayah pendudukan untuk mendorong perdebatan tentang ‘harga moral’ dari pendudukan itu.
Michelzon memberikan bukti kepada kelompok itu dan dua tahun lalu bukti itu muncul dalam sebuah tayangan dokumenter berjudul, ‘To See If I’m Smiling’.Film itu menceritakan pengalaman seorang perempuan muda yang bertugas di militer.
Film itu kemudian dikritik oleh banyak pihak. Kelompok ‘kiri’ fokus pada “hal-hal buruk yang kita lakukan dan bukan pada fakta bahwa kita ingin sebuah diskusi. Kami ingin menempatkan sebuah cermin dan mengatakan kepada publik Israel untuk menatap mata mereka sendiri.”
“Mereka dari kelompok ‘kanan’ malah mengatakan, ‘mengapa Anda melakukan ini pada rakyat Anda sendiri? Apakah Anda membenci Negara Anda sendiri? Tetapi saya melakukannya karena saya mencintai negara saya. Kami harus berjuang untuk mengatakan kami ingin berbicara tentang situasi politik,” ucap Michelzon.
Sementara itu dampaknya psikologis pada para perempuan yang mengikuti wajib militer tidak terelakkan terutama mereka yang bertugas di kawasan pendudukan.
“Jika Anda ingin bertahan sebagai perempuan di angkatan bersenjata, Anda harus menjadi ‘kelaki-lakian’. Tidak ada ruang untuk perasaan. Itu seperti persaingan untuk melihat siapa yang paling tangguh. Pada banyak kesempatan perempuan sering berusaha lebih agresif dari laki-laki,” ungkap Michelzon.
Tidak hanya Michelzon, seorang perempuan mantan tentara yang bertugas di Hebron, sebuah kota di Tepi Barat, pada 2001 sampai 2002 juga punya kisah yang sama.
Dana Golan, bertugas di Hebron bersama 25 perempuan lainnya, menjadi bagian kecil dari 300 prajurit laki-laki. “Jika saya menunjukan kecemasan, itu akan dianggap sebagai kelemahan,” aku Golan.
Perempuan berusia 27 tahun itu mengatakan masa paling menggoncangkan ketika berdinas di militer adalah ketika mereka melakukan razia senjata di perumahan Palestina.
Sebuah keluarga dibangunkan pada pukul dua dini hari oleh para tentara yang terus menggeledah rumah mereka. Tidak ada senjata yang ditemukan. Anak-anak yang masih kecil sangat ketakutan. “Saya pikir, apa yang akan saya rasakan jika saya menjadi anak berusia empat tahun itu? Bagaimana saya akan bertumbuh? Pada saat itu yang tampak bagi saya bahwa terkadang yang kami kerjakan hanya menimbulkan korban. Untuk jadi penjajah yang baik, kami harus menciptakan konflik,” Golan mengenang kejadian itu.
Dalam peristiwa berbeda ia menyaksikan para tentara Israel mencuri dari toko elektronik Palestina. Ia mencoba melaporkannya tetapi ia mendapat jawaban menyakitkan. “Ada hal-hal yang tidak boleh saya campuri,” keluh Golan.
Tentara Israel juga pernah mempermalukan orang-orang tua Palestina di jalanan. “Saya berandai-berandai bagaimana jika mereka adalah orang tua atau kakek nenek saya,” Golan mengingat-ingat.
“Kami bertumbuh di tengah kepercayaan bahwa IDF adalah tentara yang paling bermoral di dunia. Siapa pun tahu setiap orang berdinas di angkatan bersenjata. Kini ketika saya berbicara tentang tindakan tidak bermoral, saya mungkin berbicara tentang saudari atau anak perempuan Anda. Mereka tidak mau mendengar,” papar Golan.
IDF sendiri bangga bahwa 90 persen dari anggotanya terbuka untuk perempuan dan laki-laki. “Melayani sebuah unit angkatan bersenjata tempat Anda selalu berhubungan dengan orang yang mungkin saja mencelakai Anda sungguh tidak mudah, Anda harus tangguh,” kata Kapten Arye Shalicar, juru bicara militer. “Itu bukan saja hal yang terjadi pada perempuan, berlaku untuk semua orang. Akhirnya, sebuah unit tempur adalah sebuah unit tempur. Kadang sesuatu terjadi dan tidak semua tindakan benar 100 persen,” Shalicar melanjutkan.
Angkatan bersenjata menurutnya punya prosedur untuk melaporkan tindakan yang salah dan setiap tentara wajib mengikutinya.
Baik Michelzon dan Golan sama sekali tidak menyesal karena telah berbicara terbuka. “Selama dua tahun saya melihat orang menderita dan saya tidak melakukan apa-apa, itu sungguh menakutkan,” kata Michelzon.
“Pada akhirnya, rasanya seperti angkatan bersenjata telah mengkhianati saya, mereka memanfaatkan saya. Saya tidak bisa mengenali diri saya sendiri,” kesah Michelzon.
“Apa yang kami sebut melindungi negara kami ternyata adalah menghancurkan kehidupan,” pungkas Michelzon. (kompas.com, 24/8/2010)
Itulah bukti bahwa yg benar itu menentramkan jiwa manusia.
Tegakkan kebenaran…!!!
Songsong Khilafah…!!
Allahu Akbar!!
,, semanagat,,,,,,,,,, tyuzzzz,,
lakh,,, kebenaran lah yang truz tegak slamanxa,,
.. allahuakbar,, !!!!,, maha suci allah…
ya rahhimm,,,