Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi siap-siap memukulkan palu vonis kepada Anggodo Widjojo. Jaksa menuntut enam tahun hukuman penjara dan tersangka penghalangan penyidikan korupsi dan upaya penyuapan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu pun telah menyampaikan pembelaannya. Namun, perkara ini masih menyisakan tanda tanya tanpa jawaban.
Selasa (24/8/2010) siang, Anggodo dan kuasa hukumnya baru saja selesai membaca pembelaan secara bergantian. Pada saat itulah jaksa I Kadek Wiradana menyampaikan bahwa mereka baru menerima berkas daftar telepon (call data record/CDR) dalam amplop tersegel. Tak ada kejelasan CDR itu kontak antara siapa dan siapa.
Namun, ketua majelis hakim Tjokorda Rae Suamba menolak memutar CDR itu. Alasannya, CDR terlambat disampaikan. Jaksa sudah membacakan tuntutan dan terdakwa menyampaikan pembelaan. Membuka kembali CDR berarti memutar ulang jalannya sidang ke proses sebelumnya.
Mengapa CDR itu baru diserahkan?
Dengan menyerahkan CDR, bukan rekaman sebagaimana diputuskan sidang sebelumnya, Polri berarti telah menunaikan tugasnya, walaupun terlambat, dan terhindar dari tudingan melecehkan pengadilan.
Namun, mereka seperti sengaja memilih momen menyerahkannya sehingga CDR itu tak bisa dibuka lagi. Mereka mungkin takut malu karena CDR itu bukanlah antara Deputi Penindakan KPK Ade Raharja dan Ary Muladi, sebagaimana diakui Wakil Kepala Divisi Humas Polri Komisaris Besar Untung Yoga Ana bahwa mereka tak punya rekaman ataupun CDR antara Ade dan Ary. Mereka hanya punya CDR antara Ary dan Edy Soemarsono.
Oleh karena itu, jika hal tersebut dibuka di persidangan, ini artinya membuka kebohongan besar Kapolri dan Kejagung karena keduanya pernah menyatakan memiliki bukti rekaman pembicaraan telepon antara Ary dan Ade hingga 64 kali. Dengan alat bukti dan beberapa bukti lain, seperti rekaman CCTV yang juga belum jelas kesahihannya, ini, Polri meyakinkan publik bahwa Bibit-Chandra memang layak jadi tersangka.
Menguntungkan Anggodo
Di satu sisi, penundaan penyerahan rekaman atau CDR itu juga memberikan keuntungan besar bagi Anggodo. Sebab, dengan tidak diputarnya rekaman dan atau CDR yang diminta kuasa hukum Anggodo, bukti percakapan antara Anggodo dan sejumlah pihak yang diajukan jaksa pun ikut tak diputar dengan alasan keadilan.
Padahal, rekaman yang pernah diputar di Mahkamah Konstitusi pada 3 November 2009 itu banyak membuka tabir persekongkolan. Rekaman itu juga menjadi salah satu dasar bagi Tim Delapan untuk meminta penghentian kasus unsur pimpinan KPK, Bibit dan Chandra.
Tak heran jika kuasa hukum Anggodo buru-buru mendukung keputusan hakim untuk tidak membuka CDR itu. ”Kami setuju keputusan hakim (tidak membuka CDR). Terima kasih,” kata Teguh Samudera, kuasa hukum Anggodo. Padahal, dalam sidang-sidang sebelumnya mereka ngotot agar rekaman dan atau CDR itu dihadirkan ke pengadilan.
Bagi kuasa hukum Bibit- Chandra, Taufik Basari, tiadanya rekaman dan CDR antara Ary Muladi dan Ade Raharja membuktikan adanya rekayasa dalam perkara Bibit-Chandra dan Kapolri serta Jaksa Agung dituding berada di pusaran ini.
”Fakta ini menunjukkan perkara Bibit-Chandra adalah rekayasa. Sejak awal penyidikan memang prosesnya terbalik, yakni Bibit-Chandra ditarget terlebih dulu baru dicari-cari alasan dan bukti yang bisa dikaitkan untuk menjerat keduanya,” kata Taufik Basari.
Benarkah Kapolri atau Kejagung terlibat dengan rekayasa itu? Atau mereka hanya melakukan kecerobohan dengan mengklaim alat bukti rekaman yang sebenarnya tak ada? Atau jangan-jangan rekaman atau CDR itu sebenarnya ada, tetapi sengaja dihilangkan, sebagaimana disebut-sebut kuasa hukum Anggodo? (kompas.com, 27/8/2010)
rakyat mah sudah tidak ada kepercayan lagi kepada rezim skuler dan pejabatnya!!!