Jakarta – Indonesia era SBY-Boed terus didominasi kekuatan asing yang memberlakukan Neoliberalisme ugal-ugalan. Lewat komprador atau antek asing di dalam negeri ini, kekuatan asing itu makin mencengkeram.
Kalangan aktivis, tokoh masyarakat dan DPR mengungkapkan, tiga lembaga yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tercatat paling banyak menjadi konsultan pemerintah dalam merancang 72 undang-undang (UU) yang disinyalir Badan Intelijen Nasional (BIN) disusupi kepentingan asing.
Ketiga lembaga tersebut adalah World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for International Development (USAID). Ketiga lembaga ini merupakan ‘Bos Besar’ para teknokrat Mafia Berkeley, yang berkuasa di Indonesia puluhan tahun lamanya.
Bangsa ini terbukti tak pernah bebas menentukan keputusan soal nasib dirinya sendiri. Setelah Bank Dunia, Asian Development Bank dan Japan Bank For International Cooperation, giliran Inggris mengintervensi penyusunan Rancangan Undang undang Penanaman Modal (RUU PM).
Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU) dan AEPI mendesak pemerintah segera menyelesaikan RUU PM. Peraturan yang banyak mendapat protes dan penolakan masyarakat tersebut, diharapkan menjadi jalan keluar segala ‘ganjalan’ investasi di tingkat pusat dan daerah.
“Penanaman modal asing yang diagung-agungkan sebagai penggerak utama ekonomi, malah semakin menjauhkan bangsa ini dari kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Negeri ini makin bergantung pada kekuatan asing. Saat ini, dominasi modal asing mencapai 70%,” ujar Dani.
Sementara Anggota DPR dari FPDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai, ketiga lembaga itu terlibat sebagai konsultan, karena memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat.
“Makanya, mereka bisa menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan UU di bidang-bidang tersebut,” kata Eva Kusuma Sundari, Jumat (27/8). Menurut dia, Bank Dunia antara lain terlibat sebagai konsultan sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berbasis masyarakat.
Keterlibatan Bank Dunia membuat pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional (No 20 Tahun 2003), UU Kesehatan (No 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan No 20 Tahun 2002, dan UU Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004).
Konsultasi Bank Dunia yang menyusup ke UU Pendidikan melahirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) yang dibiayai utang luar negeri, begitu juga dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
IMF ikut berperan dalam UU BUMN (No 19 Tahun 2003) dan UU Penanaman Modal Asing (No 25 Tahun 2007). Sedangkan, keterlibatan USAID antara lain, pada UU Migas (No 22 Tahun 2001), UU Pemilu (No 10 Tahun 2008), dan UU Perbankan yang kini tengah digodok pemerintah untuk direvisi.
Mantan Ketua Umum DPP PAN M Amien Rais belum lama ini menyatakan, Indonesia makin kehilangan kemandirian ekonomi karena tida ada kenegarawanan dan kepemimpinan yang kredibel.
Masyarakat cukup kaget dengan kian cepatnya pihak asing ini ke sejumlah sektor strategis di Indonesia. Di sektor perbankan saja misalnya, sudah dikuasai asing di antaranya, Danamon (Temasek Holding, Singapura), dan Bank Buana (UOB Singapura).
Juga Bank NISP (OCBC Singapura), Bank Swadesi dan Indomonex (State Bank of India), Bank Nusantara (Tokyo Mitsubishi Jepang), CIMB Niaga (CIMB group Malaysia), Bumiputera (Che Abdul Daim Malaysia), BII (Maybank Malaysia), Bank Haga (Rabobank Belanda), Panin (ANZ Bank Australia), Bank Permata (Standard Chartered Bank Inggris) serta BTPN (Texas Pacific Amerika Serikat).
Anggota Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri (Fosko), Letjen (Pur) Kiki Syahnakri pernah mengungkapkan, sekitar 72 undang-undang (UU) yang kita pakai ditengarai disusupi pengaruh asing.
Pertanyaan dan persoalannya adalah bagaimana bisa kepentingan asing itu masuk ke dalam unsur-unsur yang ada pada UU tersebut? Kiki Syahnakri mengatakan, kepentingan politik itu tercermin pada klausul-klausul yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Juga menjauhkan rakyat dari ideologi Pancasila dan lebih mengutamakan pasar bebas (liberal) daripada ekonomi rakyat. Masuknya unsur-unsur asing ke dalam perundangan yang berlaku di Indonesia, karena banyaknya penggunaan konsultan asing.
Apa yang disampaikan mantan Panglima Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Timor-Timur 1999 tersebut boleh jadi benar, namun tentunya harus dibuktikan lebih lanjut. Namun kewaspadaan tetap harus terjaga. (inilah.com, 29/8/2010)