(M. Anwar Iman, Direktur Agricultural Policy Watch dan Ketua DPP HTI)
Seiring bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula kebutuhan pangan yang harus disediakan. Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia bisa mencapai 300 juta jiwa. Saat ini jumlah penduduk Indonesia tercatat 220 jiwa. Itu artinya selama tujuh tahun bisa terjadi peningkatan sebesar 80 juta jiwa. Dengan peningkatan sebesar itu, kebutuhan beras pun akan melonjak sebesar satu setengah kali lipat. Begitulah yang diungkapkan Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimoeso (Media Indonesia, 04/08/08).
Untuk mencapai peningkatan produksi beras sebesar itu, diperlukan lahan pertanian seluas 15 juta hektar. Sementara saat ini, Indonesia hanya memiliki lahan pertanian sekitar 7 juta hektar. Karena itu, tegas Sutarto, “Konversi lahan pertanian harus distop. Kita harus pertahankan sekitar 7 juta hektar lahan yang ada sekarang ini.”
Kekhawatiran Dirjen Tanaman Pangan Deptan ini tentu juga menjadi kekhawatiran semua pihak. Pasalnya, laju alih fungsi lahan pertanian di Indonesia angkanya memang sangat mencengangkan. Selama tahun 2000-2002, luas konversi lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan non-pertanian, seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata sebesar 110,16 ribu hektar per tahun (Sutomo, 2004). Ini berarti terdapat sekitar 3000 hektar sawah per hari yang beralih fungsi ke non-pertanian.
Di daerah Jawa Barat, misalnya, yang sejak dulu dikenal sebagai lumbung padi nasional, laju konversi sawah irigasi rata-rata 5.000-7.000 ha per tahun. Sawah-sawah yang berubah fungsi itu terdapat di Karawang, Bandung, Garut, dan Cianjur. Sementara itu, di Bekasi, sekitar 8.000 hektar sawah beririgasi berubah jadi areal industri dan perumahan. Di Sumatera Selatan, yang memiliki lahan persawahan seluas 727.441 hektar, kecepatan lenyapnya sawah subur rata-rata 8% per tahun.
Padahal sudah ada upaya pemda setempat mencetak sawah baru –dengan pertumbuhan 4-5 % per tahun,– namun sia-sia saja; karena sawah yang berubah fungsi jauh lebih luas. Di Bali lebih memprihatinkan lagi. Meskipun alih fungsi sawah beririgasi “hanya” sekitar 700-1000 hektar per tahun, tapi sawah-sawah yang lenyap itu adalah bagian dari sistem irigasi subak yang dibangun sejak abad ke-8.
Pada 1997 masih terdapat 3000 unit subak, mencakup 87.850 hektar sawah. Namun saat ini tinggal 1.612 unit subak, dengan areal sawah seluas 82.095. Kebanyakan sawah beririgasi di Bali dialihfungsikan menjadi areal pemukiman, perdagangan, dan pariwisata. Di kawasan wisata Kuta, konversi lahan besar-besaran terjadi pada 1999, “melahap” 487 hektar sawah yang disulap jadi areal hotel, pemukiman, usaha pariwisata dan jalan raya.
Membangun Tanpa Arah
Alih fungsi lahan yang terjadi saat ini pada dasarnya terjadi akibat politik pembangunan yang tidak jelas arahnya dan tidak terintegrasi, sehingga kebijakan pembangunannya cenderung pragmatis. Sering kali pembangunan di satu sektor harus mengorbankan sektor lain. Prinsipnya, apa yang menguntungkan saat ini, itulah yang dilakukan, tanpa pertimbangan jangka panjang. Karena itu wajar jika lahan-lahan subur kelas-I, bahkan beririgasi, seperti di Karawang, Bekasi, dan Bali, misalnya, dengan cepat beralih fungsi menjadi komplek industri, perumahan, atau hotel. Sebab, dalam perhitungan jangka pendek, bisa jadi hal itu memang jauh menguntungkan secara ekonomis dari pada untuk usaha pertanian.
Inilah salah satu penyebab mengapa Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai negara agraris, namun kemajuan sektor pertaniannya masih jauh dari harapan. Sektor pertanian Indonesia masih tertinggal dengan nagara-negara lain. Alih-alih mampu mengekspor berbagai produk pertanian yang ada, yang terjadi malah sebaliknya, pasar dalam negeri Indonesia justru dibanjiri produk-produk pertanian dari luar. Mayoritas rakyat yang berprofesi sebagai petani pun tidak tampak tanda-tanda perbaikan nasibnya. Kondisinya bahkan sebaliknya, lahan usaha petani semakin sempit dan posisi mereka semakin terjepit.
Memang benar, setiap sektor pembangunan, sudah tentu membutuhkan lahan. Membangun pabrik, rumah, jalan, pasar, dan fasilitas-fasilitas lainnya, sudah pasti membutuhkan lahan. Di sinilah pentingnya kebijakan politik pembangunan yang terarah, terpadu, dan konsisten. Saat ini ilmu perencanaan pengembangan wilayah sudah mencapai kemajuan yang pesat. Seluruh wilayah yang ada, bisa dipetakan potensinya masing-masing. Juga bisa dibuat prediksi dalam jangka panjang, seiring dengan pertambahan penduduk, berapa kebutuhan lahan untuk perumahan, perindustrian, perkantoran, pertanian, konservasi, dan sebagainya. Dengan teknologi yang ada, tidak sulit untuk dibuat peta pengguaan lahan yang sesuai dengan potensi dan daya dukungnya, yang selanjutnya bisa dijadikan dasar dalam pembuatan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).
Dengan acuan RUTR inilah seharusnya alokasi pengguaan lahan dikendalikan dan dikontrol. Hanya saja, masalah yang sering terjadi adalah, mesikpun RUTR sudah ditetapkan, dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis, hal itu dilanggar. Di sinilah diperlukan adanya political will untuk mengawal kebijakan politik pembangunan yang sudah dirumuskan secara terarah dan terpadu. Jadi, adanya rumusan politik pembangunan yang terarah dan terpadu merupakan suatu keharusan. Selanjutnya rumusan tersebut diimplementasikan dengan political will yang kuat dan konsisten. Dengan cara inilah alokasi pengguaan lahan dapat dikendalikan dan dikontrol sesuai daya dukung lahan dan peruntukannya secara tepat.
Lahan Pertanian Abadi
Setiap jenis penggunaan lahan sudah tentu membutukan persyaratan-persyaratan kondisi lahan tertentu. Untuk pertanian pangan, misalnya, dibutuhkan lahan yang subur, iklim yang sesuai, tersedia sumber air, lereng yang relatif datar, dan sebagainya. Persyaratan tersebut tentu berbeda dengan jenis penggunaan untuk industri atau perumahan. Untuk bangunan pabrik atau rumah, tidak membutuhkan lahan yang subur, bahkan lahan yang berbatu atau berpasir bisa digunakan. Masalah semacam ini seringkali diabaikan atau setidaknya diremehkan. Seolah ada anggapan bahwa pertanian bisa dikembangkan di sembarang tempat. Sehingga bila ada sebidang lahan pertanian yang dialihfungsikan untuk non-pertanian, dianggap dengan mudah dapat dicarikan lahan penggantinya. Tentu anggapan ini salah dan bisa berakibat fatal.
Perlu diketahui bahwa persyaratan-persyaratan kondisi tanah yang diperlukan untuk pengembangan pertanian, khususnya tanaman pangan, jauh lebih “rigid” dari pada untuk non-pertanian. Artinya, untuk keperluan pertanian tanaman pangan, alternatif lahan yang tersedia lebih sedikit dibandingkan untuk non-pertanian. Kalau ada lahan yang cocok untuk pertanian, hampir dipastikan cocok pula untuk perumahan dan yang lainnya. Tapi belum tentu sebaliknya. Masalah lain adalah, konversi lahan pertanian untuk keperluan non pertanian, dapat dikatakan bersifat irreversible (tidak dapat balik). Artinya, jika ada lahan yang awalnya digunakan untuk pertananian, lalu dialihfungsikan untuk komplek industri atau perumahan, maka lahan tersebut tidak dapat dialihfungsikan kembali untuk pertanian seperti pada awalnya. Kalaulah hal itu bisa dilakukan, maka diperlukan perlakukan dan penanganan yang sulit dan memakan waktu.
Di sinilah perlunya upaya-upaya serius untuk menjaga lahan yang cocok untuk pengembangan pertanian agar tetap berfungsi sebahgai lahan pertanian. Jangan sampai lahan-lahan yang cocok (sesuai) untuk pertanian pangan terus digusur untuk penggunaan non-pertanian; sementara usaha pertaniannya justru dialihkan ke tempat lain yang tandus. Terkait hal ini, gagasan untuk menetapkan adanya lahan pertanian abadi atau lahan pertanian pangan berkelanjutan sangatlah tepat.
Dalam pandangan Islam, sah-sah saja bagi negara membuat kebijakan menetapkan lahan-lahan tertentu dengan jumlah luasan tertentu untuk dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan; baik lahan tersebut statusnya milik umum, milik negara, atau bahkan milik individu. Lahan tersebut, siapa pun pemiliknya, harus tetap difungsikan sebagai lahan pertanian dengan segala sarana penunjangnya. Dengan kata lain, lahan ini tidak boleh dialihfungsikan untuk keperluan non-pertanian.
Sebab, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjamin kebutuhan pangan bagi seluruh rakyatnya. Karena itu, politik pertanian harus diarahkan untuk mencapai produksi bahan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Hal ini hanya mungkin terwujud bila tersedia lahan pertanian dalam jumlah (luasan) yang memadai. Untuk menjamin tersedianya lahan dalam jumlah yang memadai inilah, negara bisa menetapkan adanya lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Memang benar, jika produksi pangan tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, bisa saja negara mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Hanya saja, kebijakan ini bisa dilakukan jika kondisinya memang memaksa; misalnya karena musim paceklik, atau terjadi bencana alam yang menyebabkan kegagalan panen, dan sebagainya.
Adapun dalam kondisi normal, maka negara harus mampu mewujudkan kemandirian pangan. Negara tidak boleh membuka peluang sedikit pun terciptanya ketergantungan dengan pihak luar, apalagi ketergantungan terhadap bahan pangan yang merupakan kebutuhan pokok bagi rakyat. Sebab, jika hal ini terjadi, negara akan mudah dilemahkan oleh pihak asing. Selain itu, mengimpor produk pertanian dari luar, berarti mengeluarkan devisa; dan ini merupakan pemborosan devisa.
Padahal, negara sangat membutuhkan devisa itu untuk membangun sektor industri, yang merupakan strategi pokok pembangunan, yaitu menjadikan negara menjadi negara industri yang kuat dan maju.
Apabila ada individu rakyat yang memiliki lahan pertanian di wilayah yang ditetapkan negara sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan, lalu dia ingin mengalihfungsikan untuk perumahan, misalnya, maka negara bisa mengambil alih lahan tersebut dengan memberikan penggantian yang memuaskan dan tidak merugikan. Jadi, dalam hal ini, negara betul-betul konsisten dalam mengawal kebijakan politik pertaniannya, dengan tanpa merugikan rakyat.
Aswrwb. Problem Pangan Nasional banyak sekali selain konversi lahan juga, ada upaya para kapitalis untuk menguasai benih dan obat-oabatn sehingga benih hanya dikembangkan sebagian gelintir pengusaha benih. Hal ini menyebabkan mahalnya harga benih dan petani tidak punya hak membuat dan memperdagangkan benih. Demikian juga kehalalan pangan. Wswrwb. Sucipto (Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya) http://www.halalsehat.com
Ass. Saya sangat prihatin dengan kondisi pertanian Indonesia. Bagaimana dengan manajemennya? Kata kakek saya yang petani, dulu malah sering ada penyuluhan pertanian, sekarang malah tidak ada, padahal petani masih butuh pembinaan dan informasi tentang inovasi teknologi dan pemasaran hasil pertanian. Generasi muda tidak tertarik lagi untuk berkecimpung di dunia pertanian, padahal jika Daulah tegak, kemungkinan besar terjadi embargo. Rakyat butuh bahan pangan yang murah dan sehat. Demi kelangsungan hidup umat manusia juga. Solusi manjur adalah Khilafah Islam. Wassalam. Denni Noviandari (Lulusan Fak Pertanian UGM)
Sitem pertanian tidak terlepas dari sistem politik yang diterapkan. Liberalisasi yang diusung negeri ini, menjadikan para penguasanya tidak memperhitungkan masa depan anak cucunya, yang penting segera dapat fresh money untuk maju kampanye periode berikutnya.
Salah satu andalan kita dalam upaya memperkuat ketahanan pangan (dari sisi ketersediaan) adalah harus menetapkan lahan abadi untuk lahan pangan. Oleh karena itu Pemerintah harus bertindak tegas terhadap para pengkonversi lahan fungsional untuk komoditas pangan tersebut. Karena saya menganggap para pengkonversi lahan pangan adalah pembunuh anak-cucu kita.
sungguh memprihatinkan melihat kegiatan alih fungsi lahan yang seakan tak dapat dibendung..
ini tanggungjawab semua pihak! pikirkanlah kesejahteraan bersama, jangan hanya kepentingan pribadi!
berharap agar pemerintah lebih tegas dalam mengatasi masalah alih fungsi lahan yang jelas2 banyak memberi dampak negatif bagi negara ini, khususnya bagi rakyat kecil..