Amerika Lindungi Arsitek Penyiksaan “Waterboarding” Dengan Uang Pajak

Baru-baru ini diberitakan bahwa Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) membayar 5 juta dolar dari kantong para pembayar pajak Amerika, sebagai biaya hukum untuk melindungi dua karyawannya yang oleh Pemerintah Federal dituduh melakukan penyiksaan terhadap tersangka.

Psikolog Jim Mitchell dan Bruce Jessen dikenal telah menciptakan sebuah program interogasi brutal yang menggunakan air, yang disebut dengan “waterboarding”. Dan di Amerika hal itu diklasifikasikan sebagai penyiksaan.

Selain itu, Mitchell dan Jessen secara pribadi telah melakukan penyiksaan berupa penyemprotan air pada tersangka di dalam penjara rahasia yang dijalankan oleh Badan Pusat Intelijen (CIA). Dan ini adalah pertama kalinya yang diumumkan bahwa mereka telah melakukan teknik penyiksaan mengerikan di depan umum.

Amerika Serikat mendukung larangan internasional tentang penyiksaan. Bahkan Amerika merupakan salah satu negara yang menandatangani “Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan Keji, Sanksi yang Kejam, atau Tidak Manusiawi”, yang ditandatangani oleh Presiden Ronald Reagan pada 18 April 1988 dan disahkan oleh Senat pada tanggal 27 Oktober 1990.

Dalam Konvensi tersebut terdapat larangan berikut ini:

1.        Sengaja menimbulkan rasa sakit secara fisik, melakukan penyiksaan yang keras, atau mengancamnya.

2.        Merusak kesehatan mental dan panca indra, atau mengancam untuk melakukannya.

3.        Mengancam akan membunuh dalam waktu dekat.

4.        Mengancam akan membunuh orang lain, menyakiti fisiknya dengan keras, atau membuatnya menderita.

Dengan demikian, sangat jelas sekalipun bagi masyarakat awam bahwa “waterboarding” merupakan penyiksaan. Sehingga diyakini bahwa pada tahun 1947, Amerika Serikat sendiri telah mengadili warga sipil Jepang yang bertugas di Perang Dunia II, sebagai penerjemah untuk tentara Jepang, bahkan Amerika berpartisipasi dalam penyiksaan dengan air (waterboarding).

Akan tetapi, meskipun Amerika telah membuat komitmen publik ini dan menolak “waterboarding”, namun Amerika tidak mempermasalahkan penggunaan bentuk penyiksaan “waterboarding” ini terhadap para tersangka di antara para anggota Al-Qaeda, yaitu setelah peristiwa 11 September 2001. Misalnya, pada tahun 2002, Jensen dan Mitchell pergi ke Thailand dan menggunakan “waterboarding” terhadap Abu Zubaydah sebanyak 83 kali.

Selain itu, pemerintahan Bush telah mendukung teknik ini untuk menggagalkan serangan teroris, meskipun pandangan seperti ini ilegalitas. Sungguh telah terdapat dalam memoar Bush, di mana ia mengatakan: “Kami telah menggunakan “waterboarding” dalam rangka melindungi kehidupan banyak orang Amerika.”

Pelanggaran yang begitu mencolok terhadap hukum internasional dan Konstitusi AS seperti ini, dianggap sebagai sebuah kaidah (aturan) ketika terkait dengan persoalan perang terbuka Amerika terhadap Islam, dan juga perang melawan terorisme.

Penjara, perlakuan buruk, dan penyiksaan terhadap para tahanan di penjara “Abu Ghraib”, Bagram dan Guantanamo, semuanya terdokumentasikan dengan baik. Dan itu dilakukan di luar koridor hukum, seperti penyiksaan dan pembunuhan warga sipil tidak bersenjata di Irak dan Afghanistan.

Sesungguhnya meluasnya penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap umat Islam di tangan tentara Salibis Amerika menyingkap kebohongan klaim Amerika dalam hal perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia.

Sekarang bandingkan dengan nash (ketentuan) Islam yang mewajibkan perlakuan baik terhadap tawanan perang, dan mengharamkan penyiksaan terhadap mereka. Bahkan Islam memerintahkan bersikap lemah lembut dengan tujuan mereka masuk Islam.

Allah SWT berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (TQS. Al-Insan [76] : 8-9).

Dalam hal ini, tidak sedikit di antara kalangan non-Muslim sendiri yang memuji perundang-undangan Islam dalam perang, setelah kekalahan kaum Frank selama Perang Salib, di mana kaum Muslim menyediakan makanan untuk para tentara Frank yang kalah itu. Menanggapi sikap kaum Muslim yang ramah dan lemah lembut ini mereka berkata: “Apakah masih ada keraguan tentang kebaikan, persahabatan, dan cinta dari Allah ini? Padahal orang tua mereka, anak-anak mereka, dan saudara mereka telah kami bunuh dengan tangan kita; kita juga merampas tanah dan rumah mereka. Namun mereka menghidupkan kami dengan makanan mereka ketika kami hampir mati karena kelaparan. Bahkan mereka menyelimuti kami dengan kasih sayang ketika kami berada dalam genggaman mereka.”

Insya Allah, ketika Khilafah telah kembali, dunia akan melihat perbedaan yang mencengangkan terkait perlakuan terhadap para tawanan perang, dan mekanisme pelaksanaan perang secara umum.

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 26/12/2010.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*