Memahami Krisis Sudan “Selatan”

Sudan merupakan negeri Islam sejak lama. Islam masuk ke Sudan sejak awal tahun 31 Hijriyah melalui tangan Abdullah bin Abi as-Sarah amil Utsman di Mesir. Sudan dan Mesir yang sebelumnya telah dimasuki Islam menjadi satu wilayah.

Sudan adalah negeri yang penting dan menempati posisi strategis. Sudan berada di sepanjang laut Merah dan berbatasan dengan sembilan negara Afrika, kaya akan kekayaan pertanian, tanahnya subur, dan memiliki kekayaan air, barang tambah dan minyak. Pada masa modern, Inggris menginvasi Sudan pada tahun 1898 M, yang ketika itu masih menjadi bagian dari Mesir. Inggris meluaskan kekuasaannya di Sudan dan Mesir.

Inggris memisahkan Sudan dari Mesir di bawah sebutan kemerdekaan, sebelum Inggris menarik diri secara militer dari Sudan. Itu terjadi pada tahun 1956. Pemerintah Mesir di bawah pimpinan Abdul Nasher memberi pengakuan atas pemisahan itu. Itu adalah kejahatan pertama pemisahan sukarela di antara negeri kaum Muslim pada masa modern!

Adapun tanah selatan, maka itu adalah tanah perawan yang penuh dengan kekayaan diantaranya minyak yang jadi rebutan di antara perusahaan-perusahaan minyak besar. Tanahnya sangat subur. Luas wilayah selatan Sudan mendekati 700.000 kilometer persegi. Jumlah penduduknya tidak lebih dari delapan juta jiwa di mana 18 % nya adalah muslim dan sekitar 17 % nya Nashrani, dan mayoritas sisanya penganut paganisme.

Pada tahun 1922 Inggris mulai menyiapkan pemisahan selatan Sudan dari utara. Inggris pada tahun itu mengeluarkan undang-undang yang membuat daerah selatan sebagai kawasan tertutup, untuk memisahkan penduduk selatan dari penduduk utara. Inggris juga membentuk tentara lokal dari anak-anak selatan dengan pimpinan perwira Inggris. Sejak saat itu, Inggris berupaya dengan langkah-langkah yang sudah dikaji sebelumnya untuk memecah Sudan menjadi dua institusi terpisah. Intitusi Arab Muslim di utara dan institusi Nashrani-Paganis di selatan. Politik pembagian itu dikemudian hari diadopsi oleh Amerika. Sebelum kepergian penjajahan militer Inggris pada tahun 1956, Inggris menyalakan revolusi di selatan Sudan pada tahun 1955 dan mendudukkan anteknya di tampuk pemerintahan agar berjalan di garis yang sudah dirancang bagi pembagian Sudan.

Inggris meninggalkan masalah itu yang menyibukkan Sudan selama beberapa dekade. Inggris menetapkan benih pemisahan selatan. Negara-negara Barat lalu merawat dan menyirami benih itu… sejak Inggris ke Amerika sampai matang atau hampir matang, di mana pemisahan mungkin terjadi dalam referendum pada tahun depan.

Sudan seperti negeri kaum Muslim lainnya, menyaksikan pertarungan internasional yang sengit, antara Inggris dan Amerika. Hasilnya adalah stabilnya pengaruh Amerika di Sudan pada tahun 1969 dengan kudeta Ja’far an-Numairi. Sejak saat itu, Amerika menancapkan cengkeramannya terhadap militer dan berupaya melemahkan kekuatan politik tradisional yang loyal kepada Inggris. Amerika mendukung gerakan separatis di selatan di bawah piminan Jhon Garang. Amerika mulai berjalan di dalam rencananya untuk memisahkan selatan. Pasca tahun-tahun kekacauan politik dan buruknya kondisi dan rumitnya krisis selatan, Amerika mendukung kudeta Omar al-Bashier pada tahun 1989 M. Setelah itu jalannya rangkaian perundingan dan inisiatif untuk menyelesaikan permasalahan selatan makin dipercepat, dalam bentuk yang menjamin pengaruh dan kontrol Amerika terhadap selatan dan utara Sudan. Juga menjamin dalam menghalangi kembalinya pengaruh Inggris atau penetrasi pengaruh Eropa di kawasan. Mulailah serangkaian perundingan antara wakil pemerintahan Sudan dan gerakan rakyat separatis. Rangkaian perundingan itu mengantarkan pada pengakuan pemerintah Sudan kepada gerakan separatis dan bersandar pada poros politik Amerika untuk menyelesaikan perselisihan.

Pada tanggal 20 Juli 2002 M, pemerintah Sudan menandatangani Protokol Machakos. Protokol tersebut termasuk capaian yang paling berbahaya untuk memisahkan bagian Selatan dari Sudan, setelah upaya internasional yang terus menerus selama beberapa dekade. Protokol itu meletakkan batu pijakan bagi perundingan-perundingan berikutnya, karena menyatakan peran internasional untuk menjamin implementasi point-point kesepakatan dan untuk merealisasi pemisahan melalui pelaksanaan referendum di selatan. Pada tanggal 27 Mei 2004 M, pemerintah Sudan dan separatis selatan menandatangani tiga kesepakatan berkaitan dengan pembagian kekuasaan legislatif dan eksekutif di antara kedua pihak. Yaitu pembagian kekuasaan di pusat dan di selatan, serta tiga kawasan sengketa yaitu Abyei, selatan Nil Biru, dan Gunung Noubah. Kesepakatan itu juga menyatakan pemberian pemerintahan otonom terhadap daerah Abyei dan diikuti referendum untuk memutuskan apakah manjadi bagian utara atau selatan.

Pada tahun 2005 M, pemerintah Sudan saat itu yang loyal kepada Amerika menandatangani kesepakatan Nivasha dengan pemeritahan popular yang dibentuk oleh Amerika. Kesepakatan itu mencakup pemisahan selatan Sudan dari asalnya. Hal itu ketika ditetapkan point pelaksanaan referendum seputar hak menentukan nasib sendiri yang direncanakan berlangsung pada awal tahun 2011. Setelah penandatanganan itu pada Juli 2005 lalu dibentuk pemerintahan selatan Sudan. Semua itu sempurna terjadi di bawah pengarahan dan saran Amerika.

Pelaksana pemerintahan di Sudan telah melakukan kejahatan besar dengan menerima kesepakatan yang mencakup pemisahan satu bagian dari negeri Islam dan menjadikan kaum kafir mengontrol bagian itu termasuk kaum Muslim di sana. Padahal Allah SWT berfirman:

}وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً{

dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS an-Nisa’ [4]: 141)

Begitu pula mereka telah membuat persaingan dengan menerima pemisahan sukarela. Mereka telah memberikan contoh buruk. Mereka harus memikul dosanya dan semisal dosa orang yang melakukannya hingga Hari Kiamat karena akan mendorong daerah-daerah Sudan lainnya untuk memisahkan diri…

Supaya pemisahan itu legal, pemerintah telah memenuhi arahan Amerika yang memutuskan dilangsungkannya pemilu legislatif dan pemilu presiden pada April 2010 lalu, seperti yang ditetapkan pada perjanjian Nivasha. Tampak menyolok upaya utusan Amerika Scott Gration dan perhatiannya atas kesuksesan pemilu itu untuk menyempurnakan konspirasi pemecah-belahan Sudan. Utusan khusus Amerika untuk Sudan, Scott Gration, mengatakan dalam wawancaranya dengan kantor berita Reuters pada tanggal 26 Maret 2010: “Amerika Serikat berharap pemilu bulan depan di Sudan akan membuka jalan bagi perceraian sipil bukan perang sipil.”

Begitulah, pemilu itu berlangsung pada waktu yang direncanakan. Al-Bashier selama kampanye pemilunya pada tanggal 20 Januari 2010 mengatakan: “Kita akan menjadi yang pertama memberi pengakuan atas negara selatan jika mereka memilih pemisahan!” Dengan begitu, pemilu yang dilangsungkan pada jangka waktu 11-15 April 2010 bukanlah pemilu biasa saja. Akan tetapi, pemilu ini adalah pemilu yang paling berbahaya dalam sejarah Sudan. Karena yang diinginkan adalah pemisahan selatan Sudan, yang merupakan sepertiga wilayah kaya itu berlangsung segera dari utara”.

Hizb telah melakukan kampanye yang kuat untuk menolak pemilu tersebut. Sejumlah syabab Hizb ditangkap selama pendistribusian penjelasan Hizb. Akan tetapi pemilu itu berlangsung melalui tekanan, penindasan, dan menggunakan sarana-sarana tidak langsung. Dalam pelaksanaannya berbagai upaya internasional dan pemerintah dikerahkan. Hal itu mengungkap maksud dari pemilu itu di depan semua orang, bahwa pemilu itu adalah sebagai persiapan bagi referendum tahun depan agar bisa dikatakan bahwa pemisahan berlangsung atas persetujuan pemerintah yang dipilih oleh rakyat! Karena itu, pihak-pihak itu, khususnya Amerika, mengerahkan segenap daya upayanya dalam menjamin pelaksanaan pemilu dan memberikan restunya. Juga sungguh-sungguh dalam menampakkan kenetralannya. Hingga pernyataan yang disebutkan secara malu-malu bahwa pemilu itu tidak memenuhi kriteria-kriteria internasional secara penuh dan buru-buru ditambahkan: Akan tetapi cukup bagi pengimplementasian kesepakatan Nivasha!

Pernyataan itu sangat menyolok. Utusan khusus Amerika untuk Sudan, Scott Gration, pada tanggal 3 April 2010 pasca pertemuannya dengan komite nasional untuk pemilu, menyatakan: “Mereka memberikan informasi kepada saya yang membuat saya percaya bahwa pemilu akan dimulai pada waktu yang telah ditetapkan dan akan berlangsung bebas dan netral semaksimal mungkin”. Pernyataan itu persis pernyataan yang disampaikan oleh mantan presiden AS Jimmy Carter, Direktur Carter Center, pasca pertemuannya dengan Komisi Nasional untuk Pemilu pada tanggal 9 April 2010. Carter mengatakan bahwa ia yakin pelaksanaan pemilu di Sudan dengan metode yang disukai dan diterima. Bahkan Carter berpendapat lebih jauh lagi dalam meremehkan situasi politik dan penduduk Sudan. Ia menggambarkan Sudan seakan jajahan Amerika seperti halnya Irak ketika ia mengatakan: “Amerika mengatur pemilu di Sudan sebagaimana di Irak sebelumnya”.

Juru bicara kementerian luar negeri Amerika, Philif Crowley, telah mengeluarkan sertifikat bagi pelaksanaan pemilu tersebut. Ia mengatakan pada tanggal 13 April 2010: “Kami suka terhadap pelaksanaan pemilu itu”. Ia melangkah lebih jauh dalam mengancam orang yang tidak menerima hasil pemilu tersebut ketika ia mengatakan: “Pembicaraan seputar adanya kecurangan selama pemilu merupakan ucapan yang berisi bubuk mesiu saat ini”.

Ketua delegasi Eropa untuk memantau pemilu, Veronique de Keyser, dalam konferensi persnya pada tanggal 17 April 2010 mengatakan: “Pemilu ini diupayakan serius agar memenuhi standar internasional. Akan tetapi belum mencapai semuanya. Meski demikian langkah yang berhasil dicapai ini merupakan langkah penting bagi kelanjutan implementasi kesepakatan perdamaian menyeluruh”. Pernyataan tu persis sama dengan yang diungkapkan oleh Carter pada hari yang sama dalam konferensi pers yang berbeda: “Pemilu Sudan lebih rendah dari standar internasional. Akan tetapi mayoritas masyarakat internsional akan menerimanya sebagai langkah pertama untuk merealisasikan kesepakatan perdamaian”. Bahkan Jack Rudd, anggota Carter Center untuk memantau pemilu mengatakan dalam pembicaraannya kepada surat kabar al-Hurrah as-Sudaniyah tertanggal 17 April 2010: “Amerika sangat menginginkan kemenangan al-Bashier, karena Amerika memandang keberhasilan al-Bashier terkandung penerapan point-point kesepakatan khusus yang masih tersisa yaitu praktek referendum”.

Karena itu, ketika diumumkan hasil pemilu yang berlangsung pada tanggal 26 April 2010 dengan terpilihnya kembali al-Bashier sebagai presiden, hal itu mendapat dukungan kuat Amerika.

Dalam pembicaraan pasca pengumuman hasil pemilu, mantan presiden Amerika Jimmy Carter mengatakan “Pemilu di Sudan adalah penting bagi pelaksanaan hukum-hukum yang tersisa dalam kesepakatan perdamaian tahun 2005 meski pemilu itu gagal memenuhi standar-standar internasional. Juga meski mendapat penolakan dan kecaman keras dari sejumlah pemrotes. Pemilu tersebut akan memungkinkan bangsa ini yang telah dicabik-cabik oleh perang untuk bergerak ke arah perdamaian permanen dan mengokohkan demokrasi yang sebenarnya”. Carter mengatakan hal itu dalam tulisan yang dilansir oleh surat kabar Los Angeles Times tanggal 2 Mei 2010.

Jelas dari semua pernyataan itu bahwa pemilu tersebut merupakan pendahuluan untuk memberikan justifikasi bagi pemisahan bahwa pemisahan itu terjadi di bawah pemerintah yang dipilih secara bebas, hingga meski tidak memenuhi standar-standar internasional. Netralitasnya sudah cukup untuk melanjutkan implementasi kesepakatan Nivasha sebagaimana yang diklaim!

Sikap Hizbut Tahrir

Sikap Hizbut Tahrir terhadap permasalahan ini adalah bahwa apa yang telah dan akan terjadi untuk memisahkan selatan tidak lain merupakan konspirasi salibis yang jelas ditetaskan oleh Amerika melawan kaum Muslim di Sudan dan leih tepatnya di selatan Sudan. Hal itu dibantu oleh rezim pemerintah di Sudan dan kelas politik yang mendukung kesepakatan Nivasha, yang secara syar’i adalah batil, baik kelas politik itu loyal kepada pemerintah ataupun pihak oposisi.

Sesungguhnya pandangan islami terhadap negeri Islam termasuk Sudan mendorong penyatuan institusi-institusi dan daerah-daerah yang ada, bukan memecah-belah dan mengeratnya dari negeri asalnya. Persatuan berbagai penjuru Islam adalah kewajiban syar’i yang telah ditetapkan oleh nas-nas syariah. Seorang muslim tidak boleh dengan justifikasi apapun untuk menerima pemisahan.

Hizbut Tahrir memandang bahwa selatan Sudan harus dijaga agar tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari bumi Islam. Hizbut Tahrir akan berjuang melalui pandangan syar’i yang sahih bersama kaum Muslim di Sudan dan di luar Sudan untuk menjaga Selatan, sekarang ataupun nanti; dan sama sekali tidak akan menyerahkannya kepada Amerika dan antek-anteknya kaum separatis yang akan mengerat Selatan dari bumi Islam. Daulah Khilafah yang akan segera tegak di kawasan tersebut, atas izin dari Allah SWT, akan berupaya bukan hanya untuk menyatukan Sudan dalam satu negara saja, akan tetapi akan berupaya mengembalikan pesatuan Mesir dan Sudan serta seluruh negara di kawasan Islam di dalam negara Khilafah Islamiyah. Dengan begitu, umat Islam akan kembali menjadi sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk umat manusia. Daulah Islamiyah yaitu Daulah Khilafah akan kembali menjadi negara adidaya di dunia. Negara-negara penjajah akan mundur ke negerinya sendiri jika memang masih tersisa negerinya itu!

} وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ{

Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS Yusuf [12]: 21)

(Makalah Konferensi Internasional Media HT : Persoalan Dunia Arab http://www.hizb-ut-tahrir.org/)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*