Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)
Sejak hari Ahad 9 Januari 2011, referendum untuk menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan digelar selama kurang lebih sepekan. Komisi referendum mencatat, empat juta orang terdaftar untuk ambil bagian dalam jajak pendapat tersebut. Seperti dugaan banyak pihak, referendum ini akan berhasil mengoyak Sudan menjadi dua Negara yang terpisah satu sama lainya. Sudan Selatan akan menjadi Negara Baru dan “merdeka” dengan kepemimpinan yang baru pula.
Sebuah pil pahit bagi pemerintah Sudan, melalui pintu perjanjian Nivasha dan sebelumnya yaitu Protokol Machakos, bahkan kelanjutan dari drama perjanjian masa lalu yakni Perjanjian Sykes-Picot kemudian banyak pihak punya kepentingan baik korporat (perusahaan eksplorasi minyak) ataupun Negara terutama AS menekan pemerintah Sudan. Dimana posisi AS saat ini lebih determinan dibanding pihak Inggris seperti diawal-awal kemerdekaan Sudan. Karena itu sebenarnya pemisahan Sudan selatan merupakan bagian dari rencana lama yang diperbarui untuk memecah belah negeri-negeri kaum muslim menjadi entitas-entitas kecil yang tidak memiliki daya dan kekuatan sehingga mudah dikontrol dan dirampok kekayaannya. Tentu semua ini tidak dengan mudah terjadi, kecuali atas sokongan dan loyalitas penuh dari para penguasa, pemangku kebijakan dan pihak militer yang oportunis mengiyakan proyek pemisahan melalui strategi referendum.
Sudan bagi Barat sangat menggiurkan, karena Sudan secara geopolitik adalah negeri yang penting dan menempati posisi strategis. Sudan berada di sepanjang laut Merah dan berbatasan dengan sembilan negara Afrika, kaya akan kekayaan pertanian, tanahnya subur, dan memiliki kekayaan air, barang tambah dan minyak. Sementara bagian tanah selatan, maka itu adalah tanah perawan yang penuh dengan kekayaan diantaranya minyak yang saat ini jadi rebutan di antara perusahaan-perusahaan minyak besar dunia (Eropa dan Amerika). Tanahnya sangat subur. Luas wilayah selatan Sudan mendekati 700.000 kilometer persegi. Jumlah penduduknya tidak lebih dari delapan juta jiwa di mana 18 % nya adalah muslim dan sekitar 17 % nya Nashrani, dan mayoritas sisanya penganut paganisme.
Tentu potensi diatas menjadi magnitude bagi AS bersama perusahaan swasta yang besar, bernafsu untuk memegang kendali sepenuhnya wilayah-wilayah basah dengan potensi SDA (sumber daya alam). Wajar kalau kemudian kedok yang ditampakkan oleh pemerintah AS saat proses referendum belum berakhir melalui Presiden Barack Obama dengan mengucapkan selamat kepada rakyat Sudan selatan atas referendum pemungutan suara yang bisa membuat kemerdekaan mereka, dan pada hari Ahad (9/1) Obama mengatakan bahwa Washington “berkomitmen” untuk membantu negara Afrika baru tersebut setelah referendum selesai. Bahkan dengan kedustaan retorikanya Obama mencoba menegaskan; “Masyarakat internasional bersatu dan bertekad untuk memastikan bahwa semua pihak di Sudan memenuhi kewajiban mereka. Kita tahu bahwa ada orang-orang yang mungkin mencoba untuk mengganggu pemungutan suara,” dan menambahkan bahwa pelaksanaan pemungutan suara itu juga diawasi dengan ketat (www.whitehouse.gov/9/1).
Bagaimana posisi Indonesia?. Dalam isu referendum Selatan Sudan, pemerintah Indonesia menjadi salah satu observer. Pemerintah RI telah menunjuk KBRI Khartoum menjadi pengamat dalam referendum tersebut. Di bawah arahan Dubes RI untuk Sudan dan Eritrea, Sujatmiko, para pengamat dari KBRI Khartoum bertugas sejak 7 Januari 2011 hingga diumumkannya hasil referendum pada awal Februari 2011. Dua tim pengamat ditugaskan di dua kota besar, yaitu Khartoum, ibu kota Republik Sudan, dan Juba, ibu kota Sudan Selatan. Di kesempatan terpisah melalui Dubes RI untuk Sudan Sujatmiko di Juba, Senin malam (10/1/2011) menyatakan;” Pemerintah Indonesia optimistis referendum Sudan Selatan yang sedang berlangsung hingga akhir pekan ini akan tetap kondusif. “Situasi dan kondisi terselenggaranya referendum Sudan Selatan ini akan kondusif hingga akhir. Kita optimis atas situasi ini,” (www.Kompas.com, 10/1)
Indonesia terlihat dalam posisi dependen terhadap skenario Barat. Padahal begitu jelasnya sekarang referendum menjadi stretegi jitu untuk mengerat Negara-negara dunia Islam. Dengan delik isu utama tentang HAM dan ketidak adilan ekonomi menjadi bara yang akan senantiasa memanaskan iklim politik disebuah wilayah.
Indonesia seharusnya punya sikap polugri yang genuine dan brilian. Misalkan menolak seluruh upaya intervensi Negara luar atas urusan dalam negeri orang lain yang memiliki motif dan multikepentingan domestiknya. Sembari mengajukan gagasan, pentingnya perubahan pendekatan paradigmatik bagi pemangku kebijakan untuk mengelelola wilayah selatan Sudan lebih baik. Pengelolaan yang mensejahterakan rakyat dan berkeadilan, karena potensi kekayaan yang sangat besar dimiliki Sudan menjadi salah satu kunci mewujudkan itu semua.Itupun dengan catatan bahwa pemerintah Sudan tidak terjebak dalam lingkaran setan utang luar negeri dan bebas dari penjajahan politik Negara imperialis Barat.
Belajar dari kasus referendum Selatan Sudan, maka pada giliranya Indonesia bisa menghadapi keadaan yang sama. Mengingat teritorial yang demikian luas dan bagian-bagian wilayah tertentu memiliki kemiripan potensi seperti halnya Selatan Sudan. Yang paling aktual adalah wilayah Papua, yang sampai saat ini masih muncul kontraksi sosial politik. Otonomi khusus bagi papua belum banyak memberikan perubahan yang berarti, dalam kehidupan ekonomi mereka, dan ketika geliat ketidakpuasan dihadapi dengan pendekatan “militeristik” maka ini menjadi dua poin paling berbahaya untuk menstimulasi ketidakpuasan bermuara kepada referendum. Selama ini referendum bagi bumi Papua masih sayup-sayup, tapi bagaimana jika para pemain politiknya lebih lihai bermain opini di tataran internasional dan menarik perhatian dunia Internasional? Apalagi Papua tidak beda jauh dengan Selatan Sudan, sebuah wilayah yang stretegis dan penting bagi Kapitalis Barat khususnya Amerika. Negeri yang dijuluki mutiara hitam dari timur, sebuah negeri yang kaya tambang (tembaga, emas dan urainium), minyak dan lainya.
Lihatlah, begitu getolnya AS memantau dengan seksama persidangan tiga anggota TNI yang dituduh menyiksa dua warga Papua, seperti yang diungkap oleh jubir Deplu Philip Crowley, Kamis 13/1. Begitu juga dia menegaskan; “Sangat penting bagi Indonesia untuk mereformasi pasukan keamanannya dan terus memepertahankan tentaranya di standar yang tinggi dalam hal perilaku individu dan HAM. Kami akan memantau kasus ini dengan seksama”.(Kompas,14/1). Masih banyak data-data lain yang menjelaskan AS demikian mudah bermain dengan kedok HAM dan Demokrasi menekan dan mengatur kebijakan-kebijakan domestic Indonesia.
Indonesia bisa menelan buah simalakama dari isu Papua, jika tidak belajar dari kasus lepasnya Selatan Sudan melalui referendum. Karena atas nama keadilan ekonomi dan demokrasi, HAM, dan etno-nasionalism (menentukan nasib sendiri) bukan tidak mungkin Papua menuntut referendum. Mengingat AS telah menjadikan Papua salah satu basis kepentingan ekonomi domestiknya, begitu juga potensi geopolitiknya. Ditambah banyaknya instrumen Barat dengan lebel LSM/NGO ikut bermain, itu semua akan menjadi sandungan bagi pemerintah Indonesia untuk menjaga kedaulatan NKRI, ditambah lagi sadar atau tidak bahwa selama ini pengelolaan wilayah-wilayah negeri yang ada dalam NKRI masih banyak ketimpangan dan kekurangan. Dan ini memberikan amunisi bagi kelompok penggiat referendum makin lempang jalannya. Terakhir, mereka para pemangku kebijakan Negara Indonesia ini seolah “amnesia” bahwa salah satu akar masalahnya justru karena sistem demokrasi sekuler yang dijajakan Barat yang diadopsi. Na’udzubillah