HTI Press. Walaupun hujan lebat mengguyur Kota Makassar, namun hal tersebut tidak menyurutkan keinginan dari sekitar 300 orang untuk memadati ruang tempat berlangsungnya HIP (Halqah Islam & Peradaban) ke-18 yang menjadi hajatan bulanan HTI Daerah Sulsel di Hotel La Macca, 16/1/2011. Dari tema “Menguak Kepentingan di Balik Proyek Kontra Terorisme & Deradikalisasi di Dunia Islam” panitia menghadirkan dua orang pembicara yang tentunya cukup mendapat apresiasi yang luar biasa dari peserta . Hadir sebagai pembicara pertama yakni Bapak Ir. Hasanuddin Rasyid selaku Humas DPD I HTI Sulsel, dan yang kedua Bapak Harits Abu Ulya (Lajnah Siyasi DPP HTI) yang juga pemerhati Terorisme dan banyak berpengalaman melakukan investigasi langsung terkait kasus-kasus terorisme.
Dalam pemaparannya, Bapak Hasanuddin mengatakan bahwa proyek deradikalisasi ini sebenarnya bertujuan untuk menjinakkan umat Islam agar menerima Sekularisme dan penjajahan. Karena, kaum penjajah tahu, bahwa Islam merupakan sumber perlawanan, yang bisa mengancam kelangsungan penjajahan mereka. Hal ini dikuatkan oleh Bapak Abu Ulya yang kemudian mengutip Washington Post tentang Panel Ahli Keamanan Nasional Amerika Serikat yang memberikan rekomendasi radikal kepada pemerintahan Obama bahwa syariah Islam adalah ancaman bagi negara tersebut dan urgensitas keamanan AS dan peradaban Barat untuk mendukung tokoh dan kelompok Islam moderat. Oleh karena itu salah satu cara yang ditempuh adalah dengan war on idea misalnya dengan mengaburkan makna-makna krusial dalam Islam semisal Jihad, Khilafah dan Thagut. Padahal menurut Bapak Hasanuddin, terkait makna jihad di kalangan ulama’ Muktabar mereka sepakat memaknainya sebagai Qital atau perang. Bukan dengan makna lain. Meskipun jihad identik dengan perang, tidak semua perang berarti jihad. “Berperang melawan penyimpangan penguasa, selama tidak masuk dalam kategori murtad, berperang melawan orang yang merampas kekuasaan dan berperang untuk mendirikan Negara Islam, misalnya, adalah bentuk peperangan, tetapi tidak termasuk dalam kategori jihad” papar Bapak Hasanuddin dengan lugas.
Sedangkan Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk menerapkan islam secara kaaffah. Khilafah merupakan satu-satunya konsep baku yang diakui oleh Islam yang menyatukan seluruh kaum muslimin se-dunia, bukannya nation state. Bahkan menurut beliau, mereka sendiri yang menggagas konsep nation state ini pun akhirnya meninggalkannya, dan menyatukan negara-negara mereka dalam Uni Eropa untuk melawan penjajahan Amerika.
Sementara terminologi Thaghut , Bapak Hasanuddin mengatakan yakni mereka-mereka yang ditaati, dipatuhi dan diikuti perintahnya untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah. “Maksiat itu sendiri adalah setiap bentuk penyimpangan dari perintah dan larangan Allah. Karena itu, siapapun yang memproduk hukum Kufur, menjalankan dan menegakkannya, untuk ditaati, dipatuhi dan diikuti, maka dialah Thaghut” menutup pemaparannya.
Untuk keperluan eksplor lebih tajam, Bapak Harits Abu Ulya yang membawakan materi berjudul KONTRA TERORISME” MELACAK AKAR KEKERASAN DI DUNIA ISLAM & IMPERIALISME AS mengutip Noam Chomsky yang mengatakan bahwa sebenarnya Amerika adalah Negara maling teriak maling. Justru pemicu kekerasan yang tak berujung adalah ulah mereka sendiri. Dari 2200 bom bunuh diri menurut Riset Robert Pape (Univ Chicago) sebanyak 95% memandang adalah bentuk respon terhadap pendudukan asing. Oleh karenanya Global War On Terrorism yang dicanangkan Amerika dan sekutunya tidak lebih dari upaya untuk meneguhkan imperialisme dan mengubur seluruh potensi yang bisa mengeliminasi hegemoninya. Lebih jauh beliau melihat bahwa Indonesia pun berusaha diikutkan dalam pusaran rekayasa terorisme. Ini bisa dilihat dengan pertemuan National Summit akhir tahun 2009, Lahirnya BNPT dengan 2 proyek utamanya yakni dengan pola : Hard Power melaui Law Enforcement dan pendekatan Soft Power dengan upaya deradikalisasi via MUI, yang akan diperkuat dengan legal frame (revisi/amandemen): UU antiteroris, UU Intelijen, UU Keamanan, dan UU Ormas . Yang mana target akhirnya adalah melanggengkan Sekulerisme & Demokrasi , mereduksi perjuangan Syariah Islam Kaffah , terjaminnya hegemoni & kepentingan Asing (AS, cs), Indonesia menjadi basis moderatisasi dunia Islam & menjadi negara satelit bagi Barat (AS), serta mematikan ruhul jihad pada jiwa umat Islam.
Diakhir acara, para pemateri mengajak para hadirin untuk tidak mudah terjebak dengan propaganda yang ingin mengaburkan pemahaman umat terhadap Islam. Dan tidak menjadikan Islam sebagai sesuatu yang menakutkan, karena sesungguhnya yang berbahaya itu adalah penerapan sistem demokrasi di dunia Islam yang telah terbukti memberikan kemudlaratan buat umat dan bangsa ini. (Ending/LI HTI Sulsel)