Siapakah Diktator Tunisia?

Jenderal Zine El Abidine Ben Ali (زين العابدين بن علي; lahir di Hammam-Sousse, lahir 3 September 1936; umur 74 tahun) adalah Presiden Republik Tunisia sejak 7 November 1987 dan presiden yang kedua sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 20 Maret 1956. Di Tunisia, media massa sering menyebutnya Ali Baba.

Sebagai militan muda dari Partai Neo-Destour, ia dikirim ke Perancis untuk menjalani latihan militer. Ia lulus dari Sekolah Inter-Arms di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne, dan kemudian melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.

Bin Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964 hingga 1974. Ia dipromosikan sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam Departemen Dalam Negeri pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di Maroko. Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi kepala Keamanan Nasional namun kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam radikal. Pada saat ini ia diangkat sebagai MenDagri, dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana Menteri di bawah Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987.

Bin Ali memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987 dengan dukungan beberapa rakyat. Tujuh orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak cakap menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990-an. Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan, telah dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar.

Di masa rezimnya, gerakan-gerakan Islam yang ada di Tunisia mengalami nasib lebih tragis dari sebelumnya. Tatkala partainya menyapu bersih perolehan kursi yang ada di parlemen, ia memenjarakan lebih dari 30.000 aktivis gerakan Islam yang merupakan tulang punggung partai yang olehnya dianggap sebagai “pembangkang”. Sesungguhnya Ben Ali telah menjadikan Tunisia sebagai penjara terbuka dan pusat kebejatan moral. Walhasil, dengan salah kaprahnya pemikiran dan pemahaman rezim yang ada, Islam dan para pengembannya mengalami deraan, siksaan, dan hambatan berat.

Bin Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian (aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan penyamaran. Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya hingga 2014.

Tunisia melarang wanita Muslimah mengenakan jilbab di tempat umum. Kini, larangan itu telah diintensifkan; polisi akan menghentikan wanita di jalanan untuk memintanya menanggalkan jilbab itu lalu menandatangangi surat sumpah yang menyatakan bahwa mereka takkan mengenakannya lagi.

(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_bin_Ali)

2 comments

  1. this laknatulah alaih deserved to accept mass revolution and he got it. well, may be so do mobarak, al-asad, abdullah saud, zardari, and of course SBY

  2. sang pendekar

    yah… gambaran pemimpin negeri muslim yang menjadi anjing kafir – amerika, tidak beda dengan negeri2 muslim lainnya termasuk negeri ini negeri yang dikenal negeri terbesar no. 1 didunia dengan penduduk terbesar umat islamnya dan negeri no. 2 terbesar didunia sebagi negeri terporno, semua ulah para pemimpin yg antek kafir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*