Hampir semua provinsi di negeri ini tersandera korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa. Berdasarkan catatan Kompas, hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia yang hingga Minggu (23/1/2011) tak ada kepala daerahnya yang terjerat perkara hukum.
Temuan itu seperti membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Senin lalu. Dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, ia menuturkan, ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1/2011).
Dari 17 gubernur yang dipaparkan Gamawan itu, tak semuanya kini masih menjabat. Tinggal empat gubernur yang masih menjabat dan tersangkut kasus korupsi. Mereka adalah Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin (terdakwa korupsi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan serta bea penerimaan hak atas tanah), Gubernur Sumatera Utara Syamsul Ariffin (terdakwa korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran), Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (tersangka korupsi dana pengelolaan dana bagi hasil penjualan saham PT Kaltim Prima Coal), dan Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Arifin (tersangka korupsi pengembalian dan pemanfaatan lahan bekas pabrik kertas Martapura). Kini Syamsul Ariffin ditahan.
Anggaran untuk golf
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Yuswandi Temenggung menuturkan, sebagian besar kepala daerah terjerat kasus korupsi yang terkait penyimpangan APBD, terutama pada pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial. Dalam evaluasi APBD provinsi, Kemdagri sebenarnya sering memberikan catatan terhadap anggaran yang tak sesuai dengan aturan.
”Kesalahan bisa terjadi dalam pengadaan barang dan jasa yang seharusnya mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu juga pengelolaan dan pertanggungjawaban dana hibah, perjalanan dinas, dan bantuan sosial,” katanya.
Awal 2011, Kemdagri sudah selesai mengevaluasi 30 APBD provinsi. Tiga APBD provinsi lainnya, yaitu Bengkulu, Papua Barat, dan Aceh, masih dalam proses evaluasi. ”Tahun 2011 cukup baik pada awal tahun anggaran ini,” ujarnya.
Direktur Anggaran Daerah Kemdagri Hamdani menambahkan, provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan keuangan daerah. Namun, ada beberapa anggaran yang diberi catatan untuk tak dianggarkan lagi di APBD. ”Misalnya anggaran untuk hibah kepada persatuan golf. Apa hubungan pemerintah daerah dengan golf? Setelah ditelusuri, ternyata ketuanya gubernur atau sekretaris daerah,” ujarnya. Contoh lain, kendaraan untuk anggota DPRD tidak boleh dianggarkan dalam APBD.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin juga mengakui, modus korupsi di daerah kebanyakan berupa penyalahgunaan APBD dan APBN, yaitu berupa bantuan sosial fiktif, penggelembungan harga, dan mengubah spesifikasi teknik dalam pengadaan barang dan jasa. KPK pun mengusulkan perubahan sistem anggaran.
KPK juga menyampaikan kajian untuk perbaikan keuangan darah ke Kemdagri, bahkan langsung terjun ke daerah untuk memperbaiki sistemnya. ”Kami mengusulkan transparansi anggaran dengan memakai e-budgeting dan mendorong transparansi pengadaan barang dan jasa,” katanya. (kompas, 24/1/2011)