(Tanggapan Atas Artikel Syathah di Surat Kabar Al-Intibahah)
Berikut ini komentar juru bicara Hizbut Tahrir wilayah Sudan terhadap seorang penulis di surat kabar Al-Intibahah. Komentar ini telah dipublikasikan pada tanggal 24/1/2011 di surat kabar yang sama.
Saudara Pimpinan Redaksi Al-Intibahah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tema : “Bantahan Atas Pernyataan Yang Ada Dalam Artikel Syathah”
Kami telah membaca artikel yang ditulis oleh Waqiullah Hamudah Syathah berjudul: “Wacana dalam Naivasha pemisahan itu halal, sementara persatuan ….!!” di surat kabar Anda, Al-Intibahah, edisi (1753), tanggal 14 Safar 1432 H. / 18 Januari 2011. Dalam artikel tersebut penulis telah berbuat tidak adil tentang Hizbut Tahrir, di mana ia berkata: “… dan ini apa yang belum dimengerti dan dipahami oleh mereka yang bodoh, sok pintar dan sok mengerti di Hizbut Tahrir, yaitu mereka yang berseda gurau di alun-alun, taman dan berbagai tempat dengan menyerukan penghentian kejahatan pemisahan. Dan seandainya Hizbut Tahrir diam saja dan tidak melakuan senda gurau ini, maka itu lebih baik baginya. Sebab dalam hal ini Hizbut Tahrir tidak mengerti sama sekali, dan referensinya kacau … “.
Dan berdasarkan hak jawab kami, maka kami meminta agar bantahan kami berikut dipublikasikan di surat kabar Anda:
Dalam artikelnya ini, Saudara (Syathah) tidak menjelaskan kepada kami, apa referensi yang dengannya ia menyebut orang lain dengan kacau?! Apa landasan fiqih (pemikiran) yang ia gunakan sehingga kami membantahnya berdasarkan landasan itu?! Jika ia yakin bahwa referensinya adalah Islam, dan pemikirannya terhadap semua hal didasarkan pada akidah Islam, maka kami katakan-maaf saudaraku yang mulia-apa yang Anda jelaskan tentang para pengemban dakwah di antara aktivis Hisbut Tahrir, maka itu sama sekali tidak mencerminkan akhlak Islam dan prilaku kaum Muslim. Bahkan mencaci dan mencela orang lain dengan menyebutnya bodoh, serta mengklaimnya dengan kata-kata sok pintar dan sok mengerti, tidak akan dilakukan oleh masyarakat awam sekalipun, lalu bagaimana hal itu dilakukan oleh orang yang katanya berilmu dan bijak terhadap yang lain?
Seorang Muslim, sebagaimana yang disabdakan oleh kekasih Allah, Muhammad saw: “Bukanlah seorang Mukmin orang yang banyak mencela, banyak melaknat, banyak berbuat keji dan banyak berkata jorok.” slim juga mengatakan perdamaian Habib saw: «tidak diasuransikan dan Alan Btaan tidak senonoh atau tidak senonoh». Sementara akhlak atau etika dalam berbeda pendapat, suadaraku, adalah membantah argumentasi dengan argumentasi, yakni hujah dengan hujah, sekalipun pendapat yang berbeda dengan pendapat Anda itu dibangun berdasarkan selain akidah Islam, lalu bagaimana jika ia seorang Muslim seperti Anda, atau penulis ini memang tidak senang dengan Hizbut Tahrir dan para aktivisnya, dan bahkan Islam?!
Kami tidak akan menempuh cara-cara tak sedap seperti yang dilakukan penulis, dan membodohkan Hizbut Tahrir yang ideologinya Islam, padahal Hizbut Tahrir tidak pernah mengeluarkan pendapat atau pemikiran berdasarkan hawa nafsu, melainkan berdasarkan ilmu syariah dengan berpegang teguh pada hukum-hukum Islam dan akhlaknya. Kami tidak akan membantahnya dengan cara-cara yang sarat dengan kata-kata bodoh seperti ini, namun kami akan membantahnya dengan pemahaman dan kesadaran berdasarkan Islam yang benar terhadap apa yang penulis berbeda pendapat dengan kami, sehingga ia berkata seperti yang telah ia katakan dalam artikelnya. Dengan demikian, kami katakan:
Pertama, perjanjian Naivasha yang telah kami jelaskan kebatilannya adalah perjanjian yang tidak berdasarkan Islam, melainkan dikte-dikte Barat Amerika yang bertujuan untuk memisahkan Sudan Selatan, dan kemudian memotong-motong bagian yang masih tersisa. Penjelasan kami ini berdasarkan Islam yang mengharamkan penyerahan negeri-negeri kaum Muslim kepada kaum kafir. Dalam hal ini, kami menyampaikan dalil-dalil syariahnya. Bahkan kami telah mengkaji dan meneliti al-manath (obyek yang akan dihukuminya) sebelum menetapkan hukum atas realitas itu. Oleh karena itu, penulis harus membaca dengan penuh kesadaran atas apa yang ditulis oleh Hizbut Tahrir dalam hal ini jika menginginkan kebenaran, dan bukannya dikendalikan oleh hawa nafsu. Sementara yang aneh dan mengherankan dalam hal ini, adalah bahwa penulis sependapat dengan kami terkait kebatilan Naivasha. Penulis berkata di awal artikelnya: “Allah melaknat Naivasha. Tahukah kamu apa itu Naivasha. Naivasha adalah penjanjian kelalaian dan lelucon di zamannya” dengan menjelaskan adanya banyak teks-teks perjanjian yang bertentangan dengan Islam, baik secara global maupun terperinci.
Kedua, Kami di Hizbut Tahrir ketika berbicara tentang wajibnya penyatuan negeri-negeri kaum Muslim, maka dalam hal ini kami berdasarkan Islam, bukan penyatuan berdasarkan Naivasha yang batil, di mana kami menolaknya. Penyatuan dan pemisahan yang diserukan oleh penulis dan rekan-rekannya, maka keduanya sama berdasarkan Naivasha. Di mana penulis atau rekan-rekannya tidak menyerukan untuk membatalkan Naivasha, dan melakukan penyatuan berdasarkan Islam. Bahkan mereka menjadikan Naivasha sebagai dasar yang diposisikan seolah-olah wahyu yang mustahil dirubahnya. Dengan demikian, mana dari kedua pihak ini yang paling lurus jalannya? Apakah yang menuntut penyatuan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, atau yang menuntut pemisahan seperti yang diinginkan oleh kaum kafir Amerika dan Barat, dan mereka yang bersukacita dengannya, serta mereka yang berterima kasih kepada semua orang yang membantunya dalam upaya pemisahan ini, sekalipun bantuannya itu dengan kata-kata saja?!
Ketiga, haramnya pemisahan Selatan sebagai wilayah (negeri) Islam merupakan masalah yang sangat jelas bagi siapa saja yang ingin mengadopsinya berdasarkan Islam. Sudan Selatan adalah wilayah (negeri) Islam, di mana kaum Muslim telah menaklukkannya, dan generasi demi generasi kaum Muslim telah menguasainya, bahkan kaum Muslim telah mengorbankan harta dan nyawanya demi mempertahankannya sebagai bagian dari negeri-negeri kaum Muslim. Dalam hal ini, tidak seorang pun yang mengatakan bolehnya menyerahkan negeri (wilayah) di antara negeri-negeri kaum Muslim kepada kaum kafir. Sehingga mereka yang menyerukan pemisahan berusaha mengklaim bahwa Selatan bukan dâr (negara) Islam. Mereka mencampur adukan antara ad-dâr (negara) dengan al-ardhu (negeri). Negeri Islam dalam istilah syar’iy adalah setiap negeri (wilayah) yang telah ditaklukkan oleh kaum Muslim, baik dengan cara damai maupun kekerasan; atau wilayah itu telah dikuasai kaum Muslim. Adapun dâr (negara) Islam adalah negara yang diterapkan Islam dan keamannya ada pada kaum Muslim. Dalam kenyataannya sekarang, negara Islam idak ada, sementara yang ada adalah negeri-negeri Islam, dan semuanya tanpa kecuali menerapkan hukum-hukum positif dan keamanannya ada pada kaum kafir. Sudan jelas bagian dari dunia Islam, dan cukup banyak dalil yang menunjukkan hal itu. Sedangkan UUD yang akan diterapkan terhadap setiap wilayah dan rakyat setelah pemisahan bersumber dari Naivasha, di mana penulis dan kami sepakat tentang kebatilannya, dan tidaksesuaiannya dengan Islam. Sehingga apabila pemisahan itu haram, maka haram pula referendum yang menghantarkan pada pemisahan.
Keempat, di akhir artikelnya penulis mempertanyakan dengan mengatakan: “Pertanyaan terakhir kepada mereka yang mengatakan bahwa referendum itu haram, adalah apakah mungkin mereka membuat wasilah (sarana atau cara) lain, selain pemilu dan referendum untuk mengganti kekuasaan dan menentukan masalah-masalah besar di era sekarang ini, yang dalam mengubahnya menuntut aktivitas politik, serta metode membentuk wilayah umum, bahkan dalam negara Islam sekalipun?”
Pertanyaan saudara penulis sangat jelas bahwa realitas yang ada harus dirubahnya. Islam sejak awal kedatangannya adalah dalam rangka mengubah realitas yang rusak menjadi realitas yang diinginkan Allah untuk umat manusia. Oleh karena itu, realitas bagi kaum Muslim bukanlah sumber atau dasar berpikir (penetapan hukum) dan perundang-undangan. Dan realitas itu tidak lain adalah obyek yang akan dihukumi dan dirubahnya berdasarkan Islam. Dengan demikian, hukum Islam tidak tunduk dengan realitas, betapapun kerasnya. Sebaliknya realitas yang tunduk pada hukum Islam. Dan jika tidak, maka lenyaplah Islam dan kaum Muslim, seperti keadaan sekarang ini terkait umat Islam. Di mana umat Islam menjadi terhina dan tidak berdaya ketika umat melepaskan ideologinya dan mengambil realitas sebagai dasar dalam membuat setiap kebijakannya.
Adapun referendum dan pemilihan maka itu merupakan wasilah (sarana) yang hukumnya mengikuti hukum aktivitas yang dilakukannya. Sehingga apabila referendum atau pemilu itu untuk melakukan aktivitas yang mubah, maka hukumnya mubah; dan apabila untuk melakukan aktivitas yang haram, maka hukumnya juga haram.
Kami memohon kepada Allah, agar kami semua diberi petunjuk kepada apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya.
Ibraim Utsman Abu Khalil, juru bicara resmi Hizbut Tahrir wilayah Sudan.
Sumber: hizb-ut-tahrir,info, 24/01/2011.