Membaca Kenaikan Tarif Baru PDAM Bandarmasih

Oleh: Fadlan Hidayat

Memasuki awal tahun ini, masyarakat Banjarmasin dihadapkan pada kenaikan tarif air bersih oleh PDAM Bandarmasih. Besaran kenaikan 10 persen akan berlaku sejak Januari ini. Direktur Bidang Umum PDAM Bandarmasih, Rahmatillah mengatakan bahwa kenaikan tarif tersebut dilandasi oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 120/2008 yang meminta PDAM harus mampu menarik bayaran sesuai dengan full cost recovery (saat ini PDAM Bandarmasih baru mampu melaksanakan full cost). Selain itu juga berdasarkan Permendagri Nomor 23/2006 tentang penetapan tarif PDAM dan PP Nomor 16 tahun 2005 tentang sistem pengolahan air minum (SPAM), (Bpost, 3/1/2011).

Tentu kebijakan di atas bukan saja tidak populis melainkan juga kontraproduktif. Apalagi kalau melihat kebutuhan-kebutuhan lainnnya yang juga mengalami kenaikan harga. Lalu bagaimana kita melihat PDAM menaikkan tarif air bersih demi memenuhi kebutuhan manusia yang mendasar tersebut?

Langkah Privatisasi

Salah satu alasan tarif air bersih harus dinaikkan adalah keterbatasan sumber daya air. Keterbatasan sumber daya air disebabkan semakin berkurang atau menipisnya sumber daya air yang layak untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan air. Pencemaran sungai salah satunya membuat penyediaan air yang layak mengalami kendala. Selain itu penguasaan sumber air oleh perusahan air minum dalam kemasan juga menjadi problem.

Namun sebenarnya yang menjadi permasalahan adalah terjadinya privatisasi air. Indikator privatisasi dalam hal ini sumber daya air, dapat kita lihat dari: 1) keterlibatan publik (swasta) dalam penyediaan air bersih melalui investasi, dan 2) berkurang atau dicabutnya peran pemerintah. Full cost recovery misalnya, merupakan istilah yang dimaksudkan bahwa pengguna atau pemakai air bersih harus membayar keseluruhan biaya yang dikeluarkan.

Lahirnya UU SDA No.7 Tahun 2004 telah memberikan peluang privatisasi sektor penyediaan air minum, dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) kepada badan usaha dan individu. UU SDA No.7 Tahun 2004 kemudian juga menjadi landasan bagi pemerintah daerah untuk menciptakan perda-perda yang sebangun.

Melalui privatisasi ini, maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar “siapa ingin membeli/siapa ingin menjual” (walhi.or.id, Kampanye Menolak Privatisasi dan Komersialisasi Sumber Daya Air, 8/5/2009). Ketika pihak swasta turut bermain dalam penyediaan air bersih, maka orientasinya tidak lagi pure untuk melayani pemenuhan kebutuhan rakyat terhadap air. Melainkan juga berorientasi bisnis atau dengan bahasa lain bagaimana memperoleh keuntungan dari rakyat sebagai konsumen. Hubungan pemerintah dan warga negara dalam pemenuhan air bersih pun bergeser dan berubah dari hubungan negara dan warga negara menjadi hubungan antara produsen dan konsumen.

PDAM jelas bukan pihak yang padanya ditudingkan telunjuk. Sebabnya dalam hal ini PDAM hanyalah operator yang menjalankan kebijakan, sementara kebijakannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan kebijakan dari pemerintah daerah merupakan implementasi kebijakan pemerintah pusat.

Lantas mengapa pemerintah membagi atau mengurangi perannya dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya akan air? Jawabannya dapat ditemukan dalam hubungannya dengan lembaga keuangan dunia seperti World Bank, IMF dll. Oleh lembaga internasional itu, syarat untuk mendapatkan pinjaman uang (hutang luar negeri) adalah menerima resep privatisasi, diantaranya sumber daya air. World Bank misalnya, menyatakan “Manajemen sumberdaya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai “komoditas ekonomis” dan ” partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan”,(World Bank, 1992). Indonesia sendiri telah menerima resep dari lembaga-lembaga keuangan internasional itu saat krisis tahun 1998.

Melalui privatisasilah perusahaan swasta dan investor asing masuk di sektor penyediaan air bersih. Air yang merupakan kebutuhan asasi manusia pun tidak lagi dipandang sebagai barang publik melainkan dilihat sebagai komoditas ekonomi semata. Selanjutnya kebutuhan rakyat akan air bersih dikelola dengan mekanisme pasar. Rakyat akhirnya dipaksa membeli air bersih “di rumah sendiri” dengan tarif yang ditentukan oleh pasar. Ke depan kenaikan tarif PDAM pasti akan terus berlanjut sebagaimana kenaikan TDL, BBM, dan berbagai kebutuhan publik lainnya.

Paradoks, fungsi negara yang seharusnya sebagai pelayan dan pengatur urusan rakyatnya kini semakin bergeser menjadi fasilitator kepentingan-kepentingan bisnis dengan mengorbankan hajat hidup orang banyak. UUD 1945 pasal 33 yang selama ini diharapkan dapat memproteksi kepentingan publik pun tak mampu menurunkan aturan yang berpihak. Justru undang-undang dan peraturan di bawahnya yang dilahirkan negara “bermuatan” semangat neoliberalisme. Sadar atau tidak negara kita sudah berjalan di luar jalur tujuan diraihnya kemerdekaan negeri ini. Negara lebih memilih konsep dan aturan yang diadopsi dari WTO, Bank Dunia, IMF, ADB, dan negara-negara maju daripada memikirkan solusi yang dapat memecahkan masalah yang sesungguhnya.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*