CITA-CITA founding fathers, yakni tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sepertinya kian jauh panggang dari api. Indikator paling gamblang ialah jurang yang masih menganga antara si miskin dan si kaya di Republik ini.
Di atas kertas, ekonomi memang terus tumbuh dalam tiga tahun terakhir.
Namun, pertumbuhan itu tidak menetes ke kelompok paling miskin di negeri ini yang berjumlah 31 juta orang.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,1% pada 2010 tidak disertai dengan membaiknya tingkat pemerataan kesejahteraan rakyat. Itu disebabkan pertumbuhan tersebut lebih banyak diserap golongan menengah ke atas dan hampir tidak menyentuh masyarakat kalangan terbawah.
Situasi itu semakin diperburuk kenyataan bahwa yang lebih besar mendorong pertumbuhan adalah sektor telekomunikasi, transportasi, dan jasa keuangan. Sektor-sektor tersebut kurang menyerap tenaga kerja.
Pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor transportasi dan komunikasi yang mencapai 13,5%. Sektor industri pengolahan dan pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja hanya tumbuh masing-masing 4,5% dan 2,9%.
Dengan pertumbuhan ekonomi 6,1%, produk domestik bruto Rp6.422,9 triliun, dan 237 juta penduduk, pendapatan per kapita Indonesia pada 2010 mencapai US$3.004,9 atau Rp27 juta. Jumlah itu meningkat 13% jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita 2009 sebesar US$2.349,6 atau Rp23,9 juta.
Akan tetapi, dalam kenyataan, berapa banyak orang Indonesia yang berpenghasilan Rp27 juta per tahun atau sekitar Rp2,3 juta per bulan? Berbagai analis memperkirakan jumlahnya tidak sampai separuh penduduk Indonesia. Itu berarti lebih dari 100 juta jiwa rakyat di negeri ini berpenghasilan di bawah pendapatan per kapita.
Selama kebijakan yang bertentangan dengan upaya pengentasan orang miskin tidak dieliminasi, berapa pun dana diguyurkan untuk program antikemiskinan tidak akan banyak berarti. Contohnya, kebijakan liberalisasi perdagangan menyebabkan banjir barang impor di Tanah Air, yang ujung-ujungnya memukul mundur usaha kecil dan menengah.
Padahal, usaha kecil dan menengah merupakan jantung usaha rakyat, yang menyerap hampir 90% tenaga kerja.
Selain itu, pemangkasan subsidi yang sensitif bagi masyarakat, seperti bahan bakar minyak dan listrik, serta tidak adanya kebijakan harga pangan yang propetani, memberi pesan yang terang bahwa pemerintah tidak sedang memberantas kemiskinan. Pemerintah sedang mengejar target pertumbuhan walaupun dengan cara menentang upaya pemerataan.
Karena itu, sekadar membanggakan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang kian mendekati pencapaian pada era sebelum krisis, yaitu 7%, sama saja dengan mengingkari pemerataan kesejahteraan. Selama akar penyebab kesenjangan yang kian menganga tidak diatasi, pemerintah tetap saja menanam bom waktu yang berbahaya bagi masa depan bangsa.
Berbahaya karena meluasnya kemiskinan yang disertai pula dengan semakin melebarnya jurang si kaya dan si miskin tinggal menunggu pemicu untuk pecahnya revolusi sosial.
Sumber: mediaindonesia.com (16/2/2011)
sayangnya orang miskin banyak tapi suaranya gak kedengeran..1 suara orang kaya,akan lebih didengar daripada 1000 orang miskin..
SEMOGA TULISAN DIATAS MENYADARKAN UMMAT BAHWA PEMIMPINNYA SAMA SEKALI TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN RAKYATNYA….YG DIPIKIRKAN ADALAH BAGAIMANA BISA TEBAR PESONA DARI PENCAPAIAN PERTUMBUHAN YG TIDAK MENGGAMBARKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
INILAH AKIBAT BURUK DITERAPKANNYA SISTEM KAPITALISME !
SUDAH SAATNYA KEMBALI KEPADA SISTEM ISLAM DAN MEMILIH PEMIMPIN YG AMANAH SHG KESEJAHTERAAN RAKYAT BISA TERWUJUD DG TURUNNYA RIDLO DAN BERKAH DARI ALLAH.
ALLAHU AKBAR !
REVOLUSI ganti Sistem ganti Rezim atw rakyat kian sengsara,…!!!!
Apapun kondisinya kalau tidak berkiblat pada hukum Islam maka akan sengsara terus, ganti dengan hukum syariat islam, di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah