Adanya SKB tiga menteri bukannya menjadikan Ahmadiyah insaf. Mereka justru kian berani melawan Islam.
Cikeusik tiba-tiba mencuat. Kecamatan di bagian selatan Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, namanya kini sangat dikenal. Ini gara-gara jemaah Ahmadiyah membuat ulah di salah satu desa di kecamatan tersebut.
Ahmadiyah terlibat bentrok dengan warga. Bentrokan ini dipicu oleh sikap Suparman, pimpinan jemaah Ahmadiyah desa itu yang secara terang-terangan menyebarkan pahamnya ke tengah masyarakat.
Berbagai upaya diambil oleh tokoh masyarakat dan birokrat untuk menghentikan langkah Ahmadiyah itu. Tapi tak ada hasil. Ahmadiyah malah kian meramaikan rumah Suparman yang telah diubah menjadi tempat ibadah tersebut.
Warga berencana meng-hentikan sendiri aktivitas para ahmadi—sebutan anggota jemaah Ahmadiyah. Suparman pun diamankan. Eh, malah ada rombongan dari Jakarta yang mengendarai mobil masuk rumah yang kosong itu.
Polisi dan warga yang berusaha menyuruh mereka pergi tak berhasil. Mereka malah menantang warga. Satu sabetan senjata tajam Ahmadi mengenai satu warga desa tersebut. Mengetahui hal itu, warga yang telah lama resah, marah. Bentrokan pun tak terelakkan. Dalam bentrokan itu tiga ahmadi tewas.
Semua kejadian itu ternyata direkam secara apik oleh seorang Ahmadiyah yang berpura-pura berada di pihak warga. Hasilnya langsung diunggah ke internet. Jadilah semua orang di seluruh dunia tahu tentang kejadian itu.
Berbagai spekulasi pun muncul, jangan-jangan semua ini adalah skenario Ahmadiyah sendiri. Soalnya ada tokoh ahmadi yang sebelumnya terlibat di Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat, muncul lagi di Cikeusik. Rekaman kejadian menunjukkan, bahwa si perekam sudah tahu betul apa yang akan terjadi. Bahkan ia tak terkena batu atau lainnya padahal berada di tengah bentrokan tersebut.
Inisiatif langsung mengunggah hasil rekaman ke inter-net juga menunjukkan ada upaya mendapatkan simpati publik terhadap kasus ini. Dengan gambar itu, Ahmadiyah seolah men-jadi pihak yang teraniaya. Sebaliknya umat Islam digambarkan sebagai pihak yang kejam.
Padahal, justru Ahmadiyah-lah biang dari permasalahan yang selama ini muncul. Ibarat penyakit, Ahmadiyah adalah bisul yang menggerogoti tubuh umat Islam secara nyata dan jelas karena ada di permukaan.
Ahmadiyah menistakan dan menodai agama Islam. Ahmadiyah tak pernah mau melaksanakan butir kesepakatan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri. Mereka tetap saja membandel dan terus melaksanakan aktivitas yang dilarang dalam SKB tersebut.
Guna mengamankan aktivitasnya itu, Ahmadiyah pun ber-gandengan tangan dengan kalangan liberal dan Kristen. Tak heran, di manapun ada kejadian menyangkut Ahmadiyah, tokoh-tokoh liberal dan Kristen selalu tampil di depan untuk membelanya. Mereka tak peduli Ahmadiyah salah.
Pemerintah sendiri tak berkutik menghadapi kaum sempalan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak berani mengambil keputusan untuk membubarkan Ahmadiyah sebagaimana yang pernah terjadi di Pakistan. Rezim SBY lebih senang membiarkan kasus Ahmadiyah ini menggantung dan baru be-reaksi bila ada kejadian.
Spekulasi pun muncul terhadap sikap pemerintah ini. Jangan-jangan Ahmadiyah sengaja dipelihara dan akan dimainkan pada waktu dibutuhkan. Saat kejadian Cikeusik, rezim SBY sedang menghadapi tudingan kebohongan dari kalangan tokoh agama. Polisi sebagai penegak hukum pun lagi terkena kasus rekening gendut. Kasus mafia pajak terus menyita perhatian, dsb.
Bisa jadi spekulasi ini ada benarnya. Soalnya bila menyi-mak sepak terjang Ahmadiyah setelah keluarnya SKB pada 2008, Ahmadiyah jelas-jelas telah melanggar dan layak untuk di-bubarkan. Tak ada yang berubah dari Ahmadiyah. Kalaupun be-lakangan mereka mengaku ini dan itu, itu hanya di mulut. Ah-madiyah tetap dalam kesesatannya.
Anehnya, penistaan agama oleh jemaah Ahmadiyah ini justru didukung sepenuhnya oleh kalangan liberal. Tuntutan pembubaran Ahmadiyah oleh kalangan Islam malah dianggap melanggar HAM. Belakangan kalangan liberal melakukan serangan balik terhadap ormas Islam dengan cara menuntut kepada pemerintah agar membubarkan ormas Islam.
Sikap kalangan liberal ini seperti mendapat angin karena didukung oleh media massa. Tak dipungkiri, media massa memojokkan umat Islam dalam berbagai kasus, padahal umat Islam-lah yang sebenarnya dilecehkan oleh Ahmadiyah. Dan pemerintah tak ada pembelaan sama sekali terhadap akidah mayoritas warga bangsa ini.
Pemerintah tak pernah tegas terhadap suatu pelanggaran yang sangat jelas. Rezim SBY takut kebijakannya dianggap melanggar HAM sehingga bisa menurunkan citranya di mata internasional. Tanggapan yang muncul dari pemerintah terlihat sekali mengikuti arus angin liberal yang muncul, bukan ke-inginan kaum Muslim.
Peristiwa yang berakar pada Ahmadiyah, untuk kesekian kalinya menunjukkan kepada umat Islam bahwa pemerintah telah gagal melindungi akidah kaum Muslimin dari serangan orang-orang kafir. Alih-alih membentengi, dalam beberapa kasus pemerintah memanfaatkan situasi yang terjadi bagi kepentingan mereka sendiri.
Situasi ini akan terus seperti ini bila pemerintah tetap saja tak memiliki independensi dan selalu membebek pada kepentingan orang kafir baik yang di dalam maupun di luar negeri. Haruskah pemerintah seperti ini ditaati?
Umat Islam butuh pemimpin yang betul-betul berani menjadi tameng/pelindung. Kaum Muslim butuh negara yang mampu menjamin keselamatan akidah umat dari segala gangguan dan perusakan oleh orang kafir. Itu semua hanya bisa terwujud dalam bingkai Khilafah yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang amanah, khalifah. Hanya dengan itu Ahmadiyah akan enyah.[]mediaumat.com