Jemaah Ahmadiyah membacok warga setempat terlebih dahulu sebelum bentrokan terjadi.
Ahmadiyah berulah, umat Islam terkena fitnah. Begitulah yang terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Arogansi dan provokasi Ahmadiyah yang menantang perang, menyulut ribuan warga gabungan dari beberapa kecamatan sekitar Cikeusik, sebuah kecamatan yang terletak sekitar 200 km dari Pandeglang. Bentrokan tidak dapat dihindari. Satu warga setempat terluka parah terkena bacokan, sementara tiga anggota jemaah Ahmadiyah tewas dan lima orang lainnya luka.
Menurut sejumlah warga setempat yang dihubungi Media Umat, aksi itu dipicu oleh warga Ahmadiyah sendiri. Ini berawal dari kedatangan rombongan jemaah Ahmadiyah yang berasal dari Bogor, Jakarta, dan Bekasi, menggunakan dua mobil, Ahad (6/2) sekitar pukul 06.00 WIB. Mereka menuju rumah Suparman yang dijadikan tempat ibadah jemaah ini. Suparman sendiri adalah dedengkot Ahmadiyah di kampung tersebut.
Polisi mengendus ada ren-cana serangan ke kampung ter-sebut. Makanya Suparman dan istrinya Aquino Haina Toang, dan Atep (sekretaris Jemaah Ahmadiyah Cikeusik yang juga saudara Suparman), sejak Jumat malam (4/2) dibawa ke Polres Pandeglang untuk diamankan.
Kapolres Pandeglang—sebelum dicopot—AKBP Alex Fau-zy Rasyad, menjelaskan sekitar 20 orang jemaah Ahmadiyah itu masuk ke rumah tersebut tengah malam. Warga menyebut mereka sudah menyiapkan senjata seperti golok, clurit, tombak, ketapel, dan lain-lain. Polisi dan aparat desa yang mencoba meminta mereka meninggalkan rumah tersebut tak digubris.
“Kalau Bapak tidak bisa mengamankan kami, biarlah kami mengamankan diri sendiri, kalau perlu sampai titik darah penghabisan,” begitu kata Kapolres menirukan ucapan seorang jemaah Ahmadiyah. Ucapan itu sangat keras sehingga terdengar oleh warga yang sejak awal berada di sekitar lokasi. Mereka menantang dan menghardik warga. Apalagi Sarta (40 tahun) yang berusaha menyuruh mereka pergi malah disabet golok hingga terluka. Warga pun emosi. Terjadilah bentrokan itu. Polisi tak mampu bertindak karena kalah banyak.
Belakangan terungkap, kedatangan jemaah itu dalam rangka perang. Aparat kepolisian menemukan senjata rakitan di dalam rumah Suparman beserta senjata tajam, ketapel, dan tombak. Bahkan, di mobil yang dibakar ditemukan tumpukan batu.
Ahmadiyah Cikeusik
Menurut H Samid, tokoh setempat, Ahmadiyah ada di Cikeusik sejak 1991. Itu diawali dengan kasus terselubung. Seorang bernama Khairudin dan Ismail mengajak puluhan warga ke pusat Ahmadiyah di Bogor dengan menggunakan bis dengan dalih jalan-jalan. Namun, pada saat warga berkeinginan pulang, Khairudin memberikan syarat. Mereka harus mau dibaiat lebih dulu. “Saya tahu karena menjadi saksi pada saat warga mengadu ke para kiai saat itu. Warga akhirnya membuat surat pernyataan keluar dari Ahmadi-yah. Hanya satu keluarga yang menolak, yaitu Matori. Matori adalah ayah Suparman,” katanya.
Sejak semula warga resah. Ini dikemukakan Camat Cikeusik saat itu Feri Hasanudin. Kepada Media Umat, Feri menjelaskan pihaknya dan tokoh masyarakat terus mencari jalan agar Matori kembali ke Islam. Namun, Matori malah membuat jengkel warga. Dia seolah merasa yang paling benar. “Setidak-tidaknya waktu itu dia tidak menyebarkan ajarannya. Kalau terjadi, babak belur juga,” kata Feri.
Tahun 1992, Matori menyekolahkan Suparman ke Bogor. Berdasarkan kabar, Suparman juga disekolahkan ke Filipina. Dan di tahun 2009, Suparman kembali ke Cikeusik lalu tinggal di rumah orang tuanya.
Kedatangan Suparman membuat kaget warga. Tetapi, saat itu Suparman membaur dalam aktivitas ibadah dan ke-seharian. Ia shalat lima waktu dan jumatan serta ikut pengajian. “Keganjilan Suparman terjadi se-telah dia menempati rumah yang dihancurkan itu. Itu bukan rumah Suparman tapi tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Dibeli tahun 2010 dari Wasid yang pulang ke Jawa seharga Rp 115 juta. Ini membuat warga resah. Apalagi, rumah itu dijadikan tempat shalat Jumat. Padahal masjid tidak jauh dari sana. Ini kan provokasi,” ucap H Samid.
Sejak saat itu Suparman diawasi. Ulama sering meminta untuk kembali berbaur dan me-ninggalkan aktivitas yang dianggap nyeleneh itu. Tapi, Suparman malah bertingkah. Jemaah Ah-madiyah dari luar semakin ramai yang datang dan banyak yang menginap di sana. Mediasi demi mediasi dilakukan Muspika hing-ga Danramil. Hasilnya gagal. Suparman tidak mau meninggalkan aktivitasnya. Warga Cikeusik yang masuk jemaah Ahmadiyah mencapai 25 orang. “Kami tidak bosan mengingatkan Suparman. Tapi, dia bandel,” kata KH Amir, Ketua MUI Kecamatan Cikeusik.
Menjengkelkan
Oktober 2010, kejengkelan warga memanas ketika tahu Suparman sebagai pimpinan Jemaah Ahmadiyah membagi-bagikan kartu ucapan Hari Rari Raya Idul Fitri ke sejumlah tokoh masyarakat dan pemerintahan setempat dengan mengatas-namakan Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Ia mendakwahkan apa yang diyakininya ke masyarakat. Nasihat ulama agar ia tobat tak digubris. Malah keluarga dan sejumlah saudaranya pun turut menjadi jemaah Ahmadiyah.
Karena ngeyel, ulama se-tempat pernah memanggilnya agar menghentikan aktivitasnya dan segera bertobat. Ia keukeuh pendirian. Ia hanya berjanji tidak akan melakukan syiar. “Suparman waktu itu hanya minta tempat pengajiannya tidak dirusak. Tapi, karena ngeyel, akti-vitas di rumahnya sebulan sekali malah tambah ramai. Ada juga yang berasal dari luar Pandeg-lang. Warga resah lagi dengan kegiatan Ahmadiyah,” kata Lukman, warga setempat.
Warga pun mengadu. Pada 12 November 2010, Suparman dipanggil Bakorpakem Pandeglang untuk menyepakati SKB 3 Menteri yang menyatakan pelarangan untuk melakukan syiar. Lagi-lagi itu tak digubrisnya. Aktivitas Ahmadiyah terus berlangsung.
Seolah menantang, Suparman malah menyelenggarakan shalat Jumat beserta jemaah perempuan yang hanya beberapa orang secara terang-terangan. Ia juga tak mau berbaur dengan masyarakat, dan seolah warga di sekitarnya adalah najis.{mediaumat.com, 16/2/2011)