Pergolakan Di Timur Tengah Menunjukkan Kegagalan Jalan Demokrasi Untuk Melakukan Perubahan yang Substansial
Klaim sebagian pihak yang menyatakan pergolakan di Timur Tengah merupakan kemenangan demokrasi, sangat patut dipertanyakan. Yang terjadi sebenarnya adalah hal yang natural. Pemerintah diktator yang bertindak represif dan gagal menyejahterakan rakyatnya, sekuat apa pun akan tumbang. Dalam kondisi seperti ini, yang penting bagi rakyat adalah turunnya penguasa diktator. Artinya, bisa jadi rakyat tidak begitu peduli apakah itu demokrasi atau tidak!
Sebaliknya, perubahan yang terjadi di Timur Tengah saat ini justru dilakukan bukan dengan jalan demokrasi, tapi gerakan rakyat di luar parlemen (ekstra parlemen). Selama ini, ada semacam racun pemikiran yang terus ditebarkan di tengah umat Islam, kalau ingin merubah harus masuk parlemen , harus bergabung dalam ritual demokrasi. Gejolak Timur Tengah secara nyata membantah pandangan ini.
Disamping tidak efektif untuk membuat perubahan yang substansial , ritual demokrasi ini mengandung banyak persoalan. Yang mendasar adalah adalah bahaya ideologis. Demokrasi dengan pilar utamanya kedaulatan rakyat (as siyadah lil sya’bi) , telah menjadikan sumber hukum adalah akal dan hawa nafsu manusia atas nama rakyat.
Hal ini sangat-sangat bertentangan dengan prinsip utama aqidah Islam berupa kedaulatan di tangan Allah SWT (as-siyadah lil syar’i). Karenanya, yang menentukan yang hak dan yang batil adalah syariat Islam yang sumber hukum utama Al Qur’an dan as Sunnah. Islam dengan tegas menyatakan hak membuat hukum ada di tangan Allah SWT : inil hukmu illa lillah(QS Yusuf : 40). Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan al hukmu itu berupa peradilan, syariat , hukum (al qodhou), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).
Tidak berhukum pada hukum Allah SWT dengan tegas dinyatakan sebagai bentuk kekufuran. Firman Allah SWT : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS Al Maidah : 44).
Tidak mengherankan kalau partai-partai yang mengklaim Islam, saat bergabung dengan ritual sekuler ini mengalami distorsi ideologis. Bahkan cendrung menjadi pragmatis, karena hanya berpikir bagaimana meraih suara terbanyak dengan berbagai cara. Alih-alih merubah, kehadiran mereka justru menjadi legitimasi sistem kufur yang memperpanjang usia sistem yang rusak ini.
Demokrasi juga menjadi alat untuk memperkuat intervensi asing lewat tokoh dan parpol yang didukung Barat, menimbulkan suasana konflik masyarakat, internal parpol, antar parpol. Pemerintah dan elit politik yang terpilih juga tidak pernah fokus mengurus rakyat karena sibuk mengurus ‘perpanjangan kekuasaan.
Biaya politik yang besar juga telah menyedot uang rakyat, yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan mereka. Biaya demokrasi yang mahal itu menjadi pintu bagi politik transaksional yang menumbuh suburkan money politic, praktik kolusi, korupsi.
Sayangnya perubahan ekstra parlemen ini baru sebatas keinginan pergantian rezim. Tanpa visi perubahan bisa dibajak oleh berbagai kepentingan. Seperti kepentingan rezim lama yang berganti wajah menjadi pendukung rakyat dan terkesan reformis.
Termasuk rawan dibajak kepentingan asing. Perubahan terjebak pada menjadi alat revitalisasi dominasi negara besar dengan mengangkat rezim baru yang tetap dalam kontrol mereka. Amerika yang selama 30 tahun mendukung rezim Mubarak yang diktator, berubah arah seakan-akan menjadi pembela rakyat Mesir, untuk tetap mempertahankan kepentingannya.
Namun, gerakan people power – apalagi tanpa dukungan ahlul quwwah (kelompok militer)- bisa berujung berujung pada pertumpahan darah , kekacauan, perusakan hak milik umum, konflik horizontal hingga pembantaian sesama umat Islam. Kecendrungan ini terjadi di Libya. Dan jika rakyat tidak berhasil menumbangkan rezim, maka akan membuat penguasa tambah bengis dan paranoid
Karena itu seharusnya kita belajar dari perubahan yang dilakukan oleh Rosulullah SAW. Dengan dasar keimanan Rosulullah memiliki visi yang jelas, yaitu bagaimana agar Islam bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu Rosulullah SAW melakukan dua hal penting berupa penyadaran masyarakat tentang Islam dan mencari dukungan (an nushroh) dari ahlul quwwah berupa pemimpin -pemimpin kabilah. Rosulullah SAW mengajak mereka masuk Islam dan meminta mereka memberikan dukungan kepada kekuasaan Islam.
Lewat upaya yang sungguhnya-sungguh akhirnya, masyarakat Madinah sadar, siap dan rela diatur oleh Islam. Sementara ahlul Quwwah (para pemimpin qabilah dari Aus dan Khazraj) dengan ikhlas dan tanpa syarat menyerahkan kekuasaan kepada Rosulullah SAW dengan mengangkatnya menjadi kepala negara. Inilah yang menjadi kunci kenapa perubahan yang dilakukan Rosulullah SAW meskipun bersifat inqilabiyah (mendasar dan menyeluruh), namun nyaris tanpa pertumpahan darah. Inilah yang harus kita tiru !(Farid Wadjdi)
ya.. demokrasi memang tidak akan mengantarkan kepada jalan yg dituju,karena ketidakjelasan rute,pastilah jalan buntu yang akan ditemui
Semestinya umat islam sadar bahwa melegitimasi demokrasi berarti menggiring umat ke jurang kekufuran. Na’udzubillah minka.
ya demokrasi tidak sesuai dengan dengan ajaran islam,, demokrasi adalah malapetaka bagi umat,, demokrasi juga yg akan membawa umat pada masa jahila,, hehehe