Ganti rezim atau ganti sistem adalah pilihan yang selalu ditawarkan dalam setiap pergolakan politik di suatu negara.
Agaknya, tawaran yang seringkali muncul adalah pergantian rezim sekaligus pergantian sistem, namun sistem yang seringkali disodorkan oleh negara-negara Barat adalah sistem demokrasi.
Tawaran dari Amerika, Eropa, dan negara-negara Barat itu agaknya juga berlaku untuk negara-negara Timur Tengah yang saat ini bergolak, seperti Mesir, Tunisia, Libya, dan seterusnya.
Namun, pengamat politik internasional dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya A Safril Mubah SIP meragukan sistem demokrasi yang ditawarkan untuk negara-negara Arab itu.
“Masalahnya, demokrasi yang khas Barat itu tidak klop dengan budaya Arab yang terdiri dari kafilah (kesukuan), sehingga kalau ada pemilihan umum (pemilu) di Arab itu hanya semu dan pemenangnya adalah boneka,” katanya dalam sebuah halaqah/seminar di Surabaya (6/3/2011).
Ia mengemukakan hal itu dalam halaqah ke-15 yang digelar rutin (bulanan) oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jatim dengan pembicara antara lain, M Sya’roni (Unisma), Ustadz Muhammad Wahiduddin (pengamat Timur Tengah yang alumnus Mesir) dan Ustadz Muh Taufiq NIQ (DPD I HTI Jatim).
Menurut dia, negara-negara di Timur Tengah menganut “monarkhi absolut” yang berbeda dengan sistem “monarkhi” di Inggris, Jepang, dan Thailand, karena raja bukan hanya simbol, melainkan juga kepala pemerintahan dengan kekuasaan absolut.
“Bahkan, Mesir yang merupakan negara republik pun menganut sistem mirip monarkhi absolut, sehingga sistem absolut itu akhirnya membuat rakyat jenuh dan berikutnya akan melahirkan revolusi,” katanya.
Tentang merebaknya revolusi secara beruntun di Mesir, Tunisia, Libya, dan negara-negara Arab lainnya, ia menyatakan hal itu merupakan konsekuensi dari globalisasi melalui “facebook” (FB), “twitter”, dan sejenisnya.
“Masalahnya, revolusi itu akan menjadi benturan kepentingan antara kepentingan Barat melalui demokrasi dan budaya negara Arab sendiri yang tidak familier dengan demokrasi,” katanya.
Bahkan demokrasi di Indonesia juga masih mencari bentuk yang pas, karena demokrasi itu bertentangan dengan Pancasila yang mengutamakan “musyawarah untuk mufakat”, bukan sistem pemilihan langsung seperti ditawarkan dalam sistem demokrasi.
“Tidak hanya itu, sistem demokrasi juga menawarkan sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme, padahal kapitalisme itu bertentangan dengan UUD 1945 yang mengepankan asas kekeluargaaan, gotong royong, dan penguasaan negara atas aset yang menyangkut hajat hidup khalayak/publik,” ujarnya.
Kepentingan minyak
Masalah lainnya, kata pengamat dari Unair Safril Mubah itu, sistem demokrasi yang ditawarkan negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris, Prancis, dan sebagainya itu kadangkala berbenturan dengan konsep demokrasi itu sendiri (antidemokrasi).
“Bukti dari dukungan antidemokrasi adalah lahirnya rezim Hosni Mubarok selama 30 tahun, Ghadafi selama 41 tahun, atau kalau di Indonesia adalah Soeharto selama 32 tahun. Siapa pun tahu bahwa rezim yang berkuasa sangat lama akan cenderung diktator,” ujarnya.
Demokrasi yang diterapkan secara antidemokrasi itu membuktikan bahwa dukungan Amerika terhadap penguasa di Timur Tengah itu bukan murni untuk demokrasi.
“Banyak kalangan menilai dukungan yang diberikan Amerika itu karena negara adikuasa itu membutuhkan minyak yang ada di Irak, Libya, dan lainnya. Intinya, Amerika membutuhkan sumberdaya alam dan sumberdaya alam yang dibutuhkan dari negara-negara Arab adalah minyak,” katanya.
Senada dengan itu, penasihat Jaringan Islam Kaffah (JIK) M Sya’roni yang juga dosen FIA Universitas Islam Malang (Unisma) menilai para penguasa Timur Tengah itu memiliki karakter sama yakni represif, boneka atau kaki tangan asing, dan cenderung pada kapitalisme.
“Itu mirip pemodal di balik pemilihan kepala daerah di Indonesia, seperti pemilihan gubernur (pilgub) atau pemilihan bupati (pilbup). Jadi, mereka menjadi ’boneka’ dari Barat, sehingga boneka itu akan selalu mengikuti apa kata tuannya, padahal kalau sang tuan runtuh, maka boneka itu mirip ayam kehilangan induknya,” katanya.
Bahkan, para penguasa ’boneka’ itu pun menjadikan Islam mirip tesis Marxis tentang religiusitas sebagai candu. “Artinya, Islam hanya menjadi ketakwaan spiritual, bukan ketakwaan sosial, apalagi ketakwaan politik, sehingga Islam hanya ada di Al Azhar atau pesantren, tapi negaranya mengebiri rakyat,” katanya.
Pandangan serupa juga datang dari koordinator Lajnah Pengusaha DPD I HTI Jatim Ustadz Muh Taufiq NIQ. Ia mengaku tidak kaget dengan tumbangnya pemerintahan diktator oleh “people power” di Arab, karena hal itu sebenarnya sudah lama terjadi sejak Revolusi Prancis.
“Tapi, revolusi itu umumnya hanya lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau, karena revolusi hanya berganti rezim dan bukan berganti sistem. Artinya, rezim berganti, tapi sistem demokrasi ala Barat tetap diterapkan,” katanya.
Hal itu sama halnya dengan revolusi yang melepaskan mereka dari kaum feodalis seperti Spanyol atau Belanda berganti ke “cengkeraman” kaum kapitalis seperti Amerika atau Eropa, bahkan kapitalis lebih kejam karena merampok semuanya, mulai dari subsidi sumberdaya alam, film, antivirus, sepakbola, dan seterusnya,” katanya.
“Kalau hanya berganti rezim, maka penguasa yang muncul adalah boneka-boneka kapitalis, tapi kalau berganti sistem dari kapitalis ke khilafah atau dari demokrasi ke syariah, maka akan lahir kemandirian,” katanya.
Agaknya, revolusi di Arab seperti di Mesir, Tunisia, Libya, dan sebagainya itu hendaknya bukan hanya ganti rezim, namun harus ganti sistem, dan ganti sistem itu tentunya sistem yang sesuai dengan budaya Arab. (kompas.com, 8/3/2011)