Pemimpin Libya, Muammar Gaddafi menilai presiden Prancis Nicolas Sarkozy sebagai orang yang sedang “menderita penyakit mental”, bahkan ia menyebutnya sebagai orang “gila’, meskipun ia menegaskan bahwa Sarkozy adalah temannya.
Gaddafi dalam sebuah wawancara dengan channel TV Jerman “RTL” mengatakan: “Benar Sarkozy itu teman saya, tapi saya yakin bahwa ia sudah gila. Ia menderita sakit jiwa, begitulah yang dikatakan oleh orang-orang di sekelilingnya, yang mengatakan bahwa ia menderita sakit jiwa.”
Kolonel Libya ini tidak mengatakan apakah “penyakit” tersebut berkaitan dengan “rahasia yang berbahaya”, seperti yang dikatakan oleh kantor berita Libya (Jana), bahwa pernyataan Gaddafi ini akan mengakibatkan jatuhnya presiden Prancis.
Mengomentari peristiwa pemberontakan rakyat yang terjadi di negaranya sejak 17 Februari lalu, Gaddafi melihatnya “hanya sebuah peristiwa kecil, dan hanya 150 sampai 200 orang saja yang meninggal”, di mana setengah dari mereka adalah pasukan keamanan.
Sementara asosiasi hak asasi manusia dan berbagai badan independen menegaskan bahwa jumlah korban sejak pecahnya revolusi 17 Februari di Libya diperkirakan ribuan warga sipil meninggal dan luka-luka akibat mesin perang militer yang digunakan oleh rezim Gaddafi untuk menindas para penentang rezimnya.
Gaddafi menegaskan dalam wawancara dengannya di pintu tenda pangkalan militer Azizia di Tripoli, bahwa gerakan pemberontak “akan hancur dan keadaan akan kembali normal,” katanya.
Gaddafi juga menganggap bahwa kecaman yang diarahkan kepadanya oleh Amerika Serikat dan Eropa tidak dibenarkan. Bahkan ia mengatakan: “Apa yang dilakukan justru akan mengecewakan harapan mereka?”
Ia juga menekankan bahwa di masa yang akan datang negaranya tidak akan bekerja sama dengan negara-negara Barat “yang bersekongkol melawan kami”. Sebaliknya ia berkata bahwa “Kami sekarang akan berinvestasi di Rusia, India dan Cina.” Kemudian ia menambahkan bahwa “Kami tidak mungkin melupakan Barat, khususnya Jerman yang memiliki sikap bijaksana.” (islammemo.cc, 15/3/2011).