Ongkos Sekutu di Libya: 1 Tomahawk Rp 8,7 M, Pesawat F-15E Jatuh Rp 261 M

Operasi militer Sekutu terhadap Libya memakan ongkos mahal. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat (AS) kewalahan dengan biaya operasi yang begitu besar dan tengah meminta bantuan bagi Pentagon yang ‘kekurangan dana’ akibat operasi itu.

Salah seorang anggota Senat dari Partai Demokrat, Carl Levin, yang juga merupakan Ketua Komisi Senat Angkatan Bersenjata, menyatakan pihaknya telah mendesak Departemen Pertahanan agar segera melaporkan perkiraan akurat mengenai biaya operasi militer tersebut. Hal ini menyusul munculnya perkiraan kasar biaya operasi yang cukup tinggi, yakni mencapai US$ 1 miliar.

Seperti dilansir washingtonpost.com, Rabu (23/3/2011), operasi militer Libya ini merupakan operasi yang menggunakan biaya tak terduga dan anggarannya berada di luar anggaran rutin Pentagon. Sehingga diperlukan adanya alokasi tambahan secara khusus. Tidak seperti biaya operasi AS di Irak dan Afghanistan yang dianggarkan secara khusus dan terpisah dari anggaran rutin Departemen Pertahanan.

Biaya operasi di Libya ini sebenarnya sudah ditekan seminimal mungkin. Namun, pengeluaran untuk senjata, bahan bakar dan kendaraan atau persenjataan yang hilang turut menyumbang banyak dalam membengkaknya biaya operasi militer ini.

Perlu diketahui, sebanyak 162 peluru kendali (rudal) Tomahawk yang diluncurkan pada 4 hari pertama operasi militer Odyssey Dawn (Fajar Odyssey) di Libya saja memakan biaya sekitar lebih dari US$ 1 juta (Rp 8,7 miliar) per rudal. Jumlah ini terus bertambah karena rudal tersebut harus diganti dengan yang baru lagi.

Kemudian, pesawat tempur F-15E yang jatuh di Libya pada Selasa (22/3) lalu, ternyata memakan biaya sekitar US$ 30 juta (Rp 261 miliar). Biaya ini akan bertambah karena harus mengganti pesawat tersebut dengan yang masih baru.

Jumlah tersebut masih ditambah lagi oleh biaya bahan bakar bagi pesawat tempur yang berjumlah kurang lebih 150 buah. Belum lagi bahan bakar bagi kapal pengangkut bahan bakar yang membawa bahan bakar bagi pesawat-pesawat tersebut.

Para ahli dari Pusat Penilaian Strategis dan Anggaran AS merilis hasil studi yang memperkirakan, bahwa penetapan pembatasan zona larangan terbang di Libya memakan biaya sekitar US$ 30 – 100 juta setiap minggunya. Biaya tersebut merupakan biaya bagi patroli pesawat-pesawat di zona larang terbang Libya.

Jika AS kewalahan, lain halnya dengan Inggris. Konon, biaya operasi militer Inggris di Libya yang diberi nama ‘ELLAMY’ mencapai 3 juta Euro per harinya, atau setara dengan Rp 36,9 miliar per hari. Jumlah tersebut diungkapkan oleh seorang ahli pertahanan Inggris kepada independent.co.uk, Selasa (22/3).

Jumlah tersebut termasuk biaya 120 rudal jelajah yang diluncurkan tentara Inggris di Libya pada Sabtu (19/3) lalu, di mana setiap rudalnya berharga lebih dari 500 ribu Euro atau setara dengan Rp 6,1 miliar.

Ditambah lagi dengan biaya tambahan dari patroli udara di zona larangan terbang dan menekan pasukan Khadafi di daratan. Untuk setiap jamnya, patroli udara tentara Inggris di Libya menggunakan pesawat Tornado GR4 dan Typhoon memakan biaya 35 ribu dan 70 ribu Euro masing-masing (sekitar Rp 400 juta – 800 juta).

Jumlah-jumlah tersebut tidak termasuk biaya yang harus dikeluarkan jika ada kerusakan atau kerugian akibat pesawat jatuh selama operasi berlangsung.

Ongkos yang mahal ini jugalah yang mendorong AS untuk segera menyerahkan komando penyerangan kepada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang terdiri dari 28 negara. Dengan dikendalikan NATO, maka makin banyak negara yang ‘urunan’ dalam operasi militer di Libya. Apalagi AS masih harus mengongkosi operasi tentaranya di Irak dan Afghanistan. (detiknews.com, 25/3/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*