oleh Reza Pankhurst
(Asisten Dosen, London School of Economics)
Pengantar
Pasca Perang Dunia Kedua, terjadi serangkaian kudeta di Dunia Arab. Tampaknya perubahan telah datang. Di Mesir, Suriah dan Irak, semuanya terlihat militer menggulingkan kerajaan-kerajaan dan mendirikan republik-republik Arab. Itu adalah era nasionalisme, pan-Arabisme – ide kesatuan sekuler berdasarkan identitas Arab tanpa ada unsur-unsur agama. Itu adalah masa perubahan, namun tidak didorong oleh masyarakat tetapi oleh individu-individu dalam militer. Mereka yang mempelajari gerakan-gerakan Islam pada masa itu, seperti Profesor Richard Mitchell – ilmuwan terkemuka Barat pakar tentang Ikhwanul Muslimin – secara luas percaya bahwa era Islam sebagai kekuatan politik secara efektif berakhir pada tahun 1960-an, pertama terlihat dengan dihapuskannya Kekhalifahan di tahun 1924 oleh Mustafa Kemal dari Turki, dan kemudian munculnya ideologi pan-Arab sosialis yang diwujudkan oleh para pemimpin pan-Arab terkemuka dari Mesir, Gamal Abdul Nasser, salah seorang pejabat yang menggulingkan Raja Fu’ad –
Setengah abad telah berlalu, dan dengan memanfaatkan pandangan dari arah belakang, kita dapat melihat betapa salahnya prediksi tersebut. Manfaat pandangan dari arah belakang tentu saja adalah hal yang penting – sebagian pandangan-pandangan lain telah terbukti salah termasuk klaim-klaim dari para pemimpin Soviet secara berturut-turut bahwa Komunisme akan melihat keruntuhan Kapitalisme Amerika, atau klaim dari Kepala Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun 1959 bahwa inflasi Dunia sepertinya akan menjadi barang usang, atau mungkin hal favorit saya dalam masalah ini – klaim oleh majalah Amerika Business Week pada tahun 1968, dan saya kutip “Dengan lebih dari lima belas jenis mobil luar negeri yang sudah terjual di sini, industri otomotif Jepang tidak mungkin dapat memperoleh pangsa pasar besar bagi dirinya sendiri “.
Sekarang, orang-orang di Barat pada khususnya mulai mempertanyakan sebagian keyakinan yang mereka pegang sebelumnya, seperti misalnya narasi pencerahan pada masa lalu, bahwa dunia telah bergerak dalam gaya evolusi Darwin kepada suatu atau beberapa bentuk liberalisme sekuler. Dalam kenyataannya, agama tidaklah lenyap, dan khususnya Islam bukanlah sebuah agama yang hilang kekuatannya dalam panggung politik, bahkan – malah sering dibahas baik sebagai suatu ancaman terbesar bagi stabilitas dunia, maupun sebuah harapan terbesar untuk masalah ini, tergantung pada sudut mana anda memandang. Bagaimanapun halnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Profesor Talal Asad “Jika ada sesuatu yang disepakati, maka narasi langsung atas kemajuan dari sikap beragama kepada sikap sekuler tidak lagi bisa diterima”. Sebaliknya, narasi ini terlihat kebalikannya, pada umumnya ada peningkatan identitas politik, dan politik Islam secara khusus adalah arus yang secara eksplisit dikenali secara global.
Tinjauan tentang Khilafah
Pada saat yang sama, untuk berbicara mengenai Khilafah Islam – dengan kata lain untuk berbicara mengenai Islam dan Politik di tingkat Global, sebagai suatu entitas global yang mempengaruhi isu-isu global, adalah sebuah topik yang sangat provokatif, panas dan dalam istilah-istilah kontemporer menyita pikiran banyak politisi, para pemikir dan akademisi khususnya di Barat saat ini. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, termasuk mengenai kesalahpahaman tentang Islam, berbagai macam prasangka dan ketegangan sejarah, tapi terutama berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan geo-politik dari kekuatan-kekuatan besar seperti Amerika Serikat yang selalu melihat setiap perubahan status quo global yang mereka rancang pasca Perang Dunia I sebagai suatu ancaman bagi kepentingan-kpentingan strategis mereka. Jadi, ketika narasi langsung kemajuan dari sikap beragama kepada sikap sekuler mungkin tidak lagi dapat diterima, hal inipun masih tidak dapat diterima, khususnya namun tidak terbatas pada kalangan Barat saja, untuk berbicara tentang legitimasi suatu Kekhalifahan, atau legitimasi sebuah Negara Islam, atau legitimasi penerapan hukum syariat Islam. Hal seperti ini berlangsung dalam situasi permasalahan ekonomi di Eropa, dan secara umum munculnya sentimen anti-Islam. Kita telah menyaksikan pelarangan pembangunan menara mesjid di Swiss, pelarangan Niqab, atau cadar di Perancis. Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini berbicara tentang bagaimana upaya untuk membangun suatu masyarakat multi-budaya di Jerman, yakni ide komunitas-komunitas berbeda yang hidup berdampingan dalam kerukunan, dan kata-katanya itu telah “gagal total”. Menteri Dalam Negeri Jerman yang baru minggu lalu berbicara di depan publik tentang bagaimana Islam tidak memiliki tempat dalam masyarakat Jerman, dengan menyatakan bahwa “Bahwa Islam merupakan bagian dari Jerman adalah suatu fakta yang tidak dapat dibuktikan oleh sejarah”. Seperti kebanyakan negara-negara Eropa lainnya, pemerintah Konservatif baru di Inggris yang dipimpin oleh Perdana Menteri David Cameron juga telah melakukan pendekatan yang sama, dan pemerintah Inggris kini telah mengambil pendekatan dengan mendikte nilai-nilai masyarakat Muslim yang tinggal di negara tersebut, dengan mengeluarkan mereka dan memberi sebutan mereka sebagai kaum ekstremis hanya karena mereka percaya pada hak untuk mendirikan suatu Kekhalifahan dan menerapkan hukum Syariah, bukan di Inggris, melainkan di negara-negara asal mereka. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa sebenarnya model-model sekuler Barat, yang sudah lama diklaim sebagai paradigma netralitas, sebenarnya menjadi lebih totaliter secara alami karena ketidakmampuan mereka dalam mengatasi dengan ide-ide alternatif dan nilai-nilai dalam masyarakat mereka.
Hal ini telah terjadi sedemikian rupa sehingga Jaringan Eropa Melawan Rasisme (European Network Against Racism- ENAR) telah menyatakan keprihatinan serius bahwa ada tren yang sedang berkembang dalam ekspresi-ekspresi sentimen populis oleh partai-partai politik utama di seluruh Eropa. Sementara di seberang Atlantik pada minggu ini, anggota Kongres Amerika Peter King telah mendorong dilakukannya serangkaian pertemuan Kongres untuk membahas ancaman terorisme yang sedang tumbuh di dalam negeri dari komunitas Muslim. Pada sebuah wawancara dia menjelaskan bahwa “Tujuan utamanya adalah menunjukkan meningkatnya radikalisasi dalam komunitas Muslim-Amerika, betapa berbahayanya hal itu, berapa seriusnya hal itu,” sehingga hal itu dianggap sebagai “ancaman yang sedang tumbuh”. Pada saat yang sama, para lawan politiknya telah menuduhnya melakukan suatu “perburuan ala-McCarthy” (McCarthyism adalah tindakan membuat tuduhan-tuduhan kepada lawan sebagai tidak loyal, subversi atau pengkhianatan tanpa ada bukti yang kuat-pent) melawan kaum Muslim Amerika karena fokus eksklusif kepada umat Islam yang tinggal di sana dengan mengorbankan semua ancaman lainnya – sehingga John Esposito, seorang profesor Studi Islam terkemuka di Georgetown University menyatakan bahwa “dengar pendapat (hearing) itu merupakan suatu platform Islamophobia yang terbungkus bendera Amerika, dengan memperkuat kebodohan, sikap stereotip, prasangka dan intoleransi atas nama keamanan nasional.”
Hal ini jelas adalah agenda dalam negeri terhadap Islam yang tidak dapat dilihat terpisah, atau sebagai urusan dalam negeri negara-negara ini dan bagaimana mereka bertindak atas penduduk imigran. Sebaliknya, hal-hal tersebut berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan geopolitik, dan apa yang dianggap ancaman terhadap apa yang disebut “Tata Dunia Internasional ” yang didirikan oleh Amerika pasca Perang Dunia Dua, oleh Islam, dan ancaman terhadap kontrol atas sumber-sumber daya energi yang besar yang ditemukan di Timur Tengah. Memang, adalah merupakan hal yang tepat untuk mengatakan bahwa masalah negara-negara tertentu tidaklah selalu secara khusus berkaitan dengan Islam, melainkan dengan kemerdekaan sejati dan kebebasan dari kontrol kekuatan imperium, dan itulah yang terjadi pada hari ini bahwa kekuatan dominan yang mendorong bagi kemerdekaan sejati seperti di Tengah timur adalah dengan karakter Islam. Ini adalah skenario yang ditanggapi secara serius, dengan melibatkan banyak ahli kebijakan dan politisi yang berencana untuk kemungkinan apapun.
Sebagai contoh – Dewan Intelijen Nasional (NIC), yang bertanggung jawab bagi dikeluarkannya penilaian-penilaian tertulis paling otoritatif yang berkaitan dengan masalah-masalah keamanan nasional menyerahkan kepada Direktur Intelijen Nasional pemerintah AS, sebuah laporan tahun 2005 yang berjudul “Mapping Global Future 2020 (Peta Masa Depan Global 2020) ” yang menyebutkan diantara berbagai skenario yang dianggap mungkin terjadi adalah munculnya suatu Kekhalifahan Islam independen yang membentang di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dalam bukunya yang berjudul “100 tahun mendatang”, George Friedman – CEO dan pendiri Stratfor – yang merupakan sebuah perusahaan intelijen dan prakiraan swasta Dunia – menulis bahwa Turki akan muncul, paling tidak – sebagai negara adidaya regional dalam apa yang disebutnya sebagai “peran lama” – sebagai “kekuatan dominan di wilayah itu”. Dia mencatat bahwa sejarah belakangan ini, dalam 80 tahun terakhir, dimana pengaruh Turki yang kuat hanyalah terbatas pada Asia kecil adalah suatu penyimpangan, dan dia mengatakan bahwa dunia akan segera melihat kekuatan Turki “Emperium Utsmaniyah…mulai bangkit kembali”, dengan merujuk pada Kekhalifahan terakhir yang dipimpin oleh dinasti Utsmaniyah.
Dan bagi para politisi itu sendiri – kita lihat contohnya bahwa mantan Presiden Amerika George Bush. Sebagaimana yang saya sebutkan dalam thesis saya, bahwa George Bush dilaporkan telah menyebutkan kata “Khilafah” selama 15 kali selama tahun 2006, dan 4 kali dalam pidato terpisahnya. Hal ini lebih banyak dari yang disebutkan oleh para pemimpin al-Qaeda seperti Osama Bin Laden yang telah berbicara tentang hal ini secara terbuka pada periode yang sama. Kita melihat Charles Clarke – yang saat itu adalah Menteri Dalam Negeri, dan bertanggung jawab untuk kebijakan keamanan dalam negeri Inggris- ketika menyampaikan pidato di Amerika dengan mengatakan “tidak ada negosiasi mengenai pendirian kembali suatu Kekhalifahan”. Maka disini anda memiliki suatu skenario aneh bahwa orang yang bertanggung jawab untuk urusan dalam negeri Inggris, berbicara kepada audiens asing di Amerika, tentang apa yang orang-orang di Timur Tengah dan Asia harus atau jangan miliki dalam hal cita-cita politis, dan apa yang akan diterima dari mereka, seolah-olah Inggris masih sebuah kekuatan kolonial yang mendikte kebijakan di India dari London.
Pada tahun 2009, mantan kepala Angkatan Darat Inggris Sir Richard Dannett mengatakan secara eksplisit bahwa pasukan Sekutu berada di Afghanistan untuk mencegah “Agenda Kelompok Islamis” dan pembentukan sebuah Kekhalifahan yang akan membentang dari Afghanistan, Timur Tengah dan Afrika Utara, hingga ke Spanyol .
Dengan terjadinya pemberontakan-pemberontakan di Timur Tengah dan Afrika Utara sebagaimana yang kita bicarakan – hal ini adalah masalah yang sedang ditangani lebih intensif dalam iklim saat ini. Jadi misalnya ketika terjadi pemberontakan di Mesir melawan sekutu lama Barat – mantan Presiden Mubarak – mulai untuk memastikan bahwa kepentingan keamanan vital mereka yang terkait dengan Kediktaoran Mesir akan tetap terjaga siapapun orang yang akan menggantikannya, dan Amerika khususnya berusaha memastikan bahwa setiap perubahan ditangani dengan hati-hati. Maka demikianlah para politisi dan media semua berbaris untuk memperingatkan terhadap setiap pengakaitan Islam dalam pasca-revolusi dinamika politik, pelabelan ide-ide seperti “ekstrimis” dan itu adalah hal yang tidak bisa diterima.
Yang paling jelas, adalah ketika kejadian-kejadian itu menyebar ke Libya dan mulai terjadi pemberontakan melawan Muammar Gaddafi, Menteri Luar Negeri Italia dan Mantan Komisaris Uni Eropa komisaris Franco Frattini memperingatkan bahwa jatuhnya Gaddafi, yang merupakan salah satu sekutu Italia di benua itu, bisa mengakibatkan munculnya sebuah Islam negara. “Bisakah Anda bayangkan anda sebuah Emirat Islam di perbatasan Eropa? Hal ini akan menjadi ancaman yang benar-benar serius.” Hal ini bukanlah masalah keprihatianan Barat saja, karena ada peringatan Presiden Rusia Dmitri Medvedev dalam kata-katanya bahwa “kaum fanatik agama” bisa mengambil alih kekuasaan yang akan “membakar wilayah ini selama beberapa dekade yang akan datang”.
Apa sebenarnya yang telah menimbulkan kekhawatiran tersebut dan bagaimanakah pemahaman mengenai Kekhalifahan yang dimiliki oleh orang yang meyakininya? Untuk secara jelas mempertimbangkan apakah perhatian para politisi, yang kemudian dibawa oleh media kepada masyarakat – mengarah kepada fitnah terhadap umat Islam dan Islam – bisa dibenarkan, mari kita secara singkat melihat konteks sejarah, posisi teologis, dan menyentuh pada hubungan yang dimilikannya dengan secara baik sepanjang sejarah baik dengan Barat maupun dengan Timur.
Munculnya sebuah Negara Adidaya Global
Untuk melakukan hal itu, kita harus menempuh perjalanan kebelakang sekitar 1500 tahun lalu pada saat Dunia didominasi oleh dua negara adidaya di Timur dan Barat – di satu sisi adalah Emperium Byzantinean (Emperium Romawi Timur), yang satu didasarkan pada sebuah agama monoteis, dan di sisi lain adalah Sassanid / Emperium Persia, yang satunya lagi didasarkan atas kepercayaan Zoroaster. Pada saat Semenanjung Arab dianggap tidak relevan – karena iklim, peradaban, budaya, – berarti bahwa di era sebelum minyak dan gas, wilayah Teluk tidak layak untuk ditaklukkan. Karena itu kedua negara adidaya saat itu, yang terlibat peperangan satu sama lain, tidak akan pernah membayangkan bahwa kejatuhan mereka akhirnya akan datang, bukan dari yang lainnya, tetapi dari orang-orang Arab. Dalam sejarah sekalipun – Anda dapatkan tidak ada peristiwa-peristiwa yang bisa menjelaskan, tidak ada ilmu politik yang dapat memprediksi, dan munculnya seorang yang mengaku sebagai Nabi dan menerima wahyu dari Allah di abad ke-7 dapat dikatakan sebagai peristiwa yang paling mengguncang dan yang sangat mempengaruhi sejarah .
Dalam masa hidupnya, Nabi Muhammad menyeru orang-orang kepada Islam hanya seorang diri dan awalnya dengan pengikutnya dan setelah 13 tahun mereka mendirikan sebuah di Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Dia terlibat dalam semua kegiatan sebagai seorang pemimpin negara – menangani masalah-masalah internal, pembentukan aturan hukum, perpajakan dan kontrol ekonomi, dan terlibat dalam bidang diplomasi asing dengan mengirimkan dan menerima para duta negara-negara lain, terlibat dalam peperangan dan mengintegrasikan komunitas-komunitas baru kedalam Negara. Pada saat dia menyelesaikan misinya di bumi 10 tahun kemudian, Negara yang ia telah bentuk telah membentang di seluruh semenanjung Arab, pengikutnya berjumlah ratusan ribu orang, dan negara itu berhadapan dengan dua negara adidaya saat itu di kawasan itu.
Seseorang mungkin bisa membayangkan bahwa setelah kematian seorang pemimpin dengan inspirasi yang demikian hebatnya, momentum itu akan melambat. Hal ini mungkin benar terutama jika seseorang menganggap bahwa kepemimpinan yang paling karismatik telah hilang, yang mungkin dapat menyebabkan perpecahan di dalam negeri, dan juga bahwa ekspansi akan mendapatkan konfrontasi militer dan kekalahan dari dua negara adidaya pada waktu di wilayah mereka sendiri.
Namun – di bawah 4 orang pemimpinan pertama selama sekitar 30 tahun – yang dikenal sebagai Khulafaa ar-Rashideen – yakni Khilafah – suatu kata yang diambil dari berbagai pernyataan Nabi Muhammad dan makna dari kata itu yang berarti penerus – jadi dalam hal ini adalah penerus Nabi, bukan dalam hal kenabian dan menerima wahyu, namun dalam kepemimpinan politik dan penerapan dan perluasan Negara Islam – dan meluaskannya ke arah barat di Afrika Utara dan ke arah Timur melewati apa yang kita sebut sebagai Iran dan Afghanistan.
Dan kemudian, seratus tahun ke depan setelah itu di bawah periode pemerintahan pertama – Khilafah telah menyebar ke arah barat di Afrika Utara dan bahkan sampai ke Spanyol, sementara dari arah Timur menyebar ke daerah-daerah yang dikenal sebagai Tajikistan dan Kyrgyzstan. Perlu dicatat disini bahwa titik pertama kontak langsung jika Anda menyukainya, antara Eropa di bawah kekuasaan Kekhalifahan Islam terjadi pada awal abad ke-8, kurang dari seratus tahun setelah munculnya Islam di Arab, dan otoritas Islam dalam satu bentuk atau ke bentuk lainnya tetap berkuasa selama hamper 800 tahun. Singkatnya, contoh Peradaban Islam dan pemerintahan di Eropa, dan apa yang hilang ketika pemerintahan Islam diusir dari Spanyol di abad ke-15 – telah diringkas oleh Stanley Lane-Poole yang menulis bahwa pada akhir abad ke-19 bahwa “selama hampir delapan abad, di bawah pemerintahan Mohammadan, Spanyol memberikan ke seluruh Eropa contoh sukses sebuah Negara yang beradab dan tercerahkan “, yang kontras dengan ketika pemerintahan itu dihapuskan sehingga dia menyatakannya sebagai “masa kegelapan yang sejak itu Spanyol telah jatuh kedalamnya”. Negara Islam merupakan model multi-kulturalisme pada waktu itu, dan apa yang menggantikannya adalah inkuisisi Spanyol yang merupakan jenis yang paling keji dari control pemikiran yang merasuk kedalam keyakinan pribadi dan umum dan penyembahan atas subjeknya, sesuatu yang merupakan renungan yang berharga mengingat keadaan yang terjadi saat ini di Eropa.
Sebagaimana kontak yang terjadi dengan Timur, hal ini terjadi bahkan lebih awal lagi – dengan Utsman bin Affan Khalifah ketiga yang mengirim utusan kepada Kaisar Cina pada tahun 650 AD. Diceritakan bahwa utusan itu – Sa’ad bin Abi Waqqas – membangun masjid pertama di Cina yang antara lain dikenal sebagai Masjid Agung Kanton. Sebagai akibatnya, ada banyak hubungan dagang yang terjadi antara Negara Islam dan Cina, seperti yang terjadi pada masa Dinasti Sung. Memang, contoh Peradaban Islam di Timur memiliki sejarah yang mendalam dan kaya ikatan budaya, ekonomi dan politik.
Pada titik ini – mari kita berhenti sejenak dan mempertimbangkan beberapa karakteristik yang merupakan dasar orisinil bagi Khilafah Islam, yang menyebabkan Islam memiliki dampak begitu mendalam pada situasi geo-politik Dunia selama masa itu.
Seperti Negara manapun – perhatikanlah bagaimana negara itu mengikat orang-orang yang hidup di dalamnya, dari sumber-sumber apa legitimasinya berasal, dan bagaimana sifat pemerintahannya. Ikatan mereka cukup sederhana – agama universal – hal itu adalah pesan yang diadopsi Islam yang memungkinkannya untuk mengikat secara bersama-sama berbagai macam orang dengan kepentingan yang berbeda, dan memberikan mereka suatu misi untuk mendakwahkan pesan itu kepada bagian dunia yang lainnya. Ini berarti juga bahwa hal ini bersifat ekspansionis, yang merupakan sifat dari setiap Negara yang meyakini sebagai pembawa Kebenaran. Negara ini juga memiliki kebijakan asimilasi yang sangat efektif – dimana siapa pun bisa menjadi seorang Muslim, dan Anda bisa lihat khususnya di daerah-daerah yang dibawa kedalam pemerintahan Islam dalam seratus tahun pertama kekuasaanya- sebagian besar penduduknya menjadi Muslim dan tetap menjadi Muslim hingga saat ini. Negara itu termasuk Spanyol, yang populasi Muslimnya tidak lagi mayoritas karena dilakukannya pengusiran dan pembersihan kaum Muslim pada saat inkuisisi. Pada saat yang sama, pemerintahan Negara didasarkan pada supremasi hukum, dan karenanya pada umumnya tidak ada yang dipaksa untuk menjadi Muslim.
Dalam teori Politik Islam, Khalifah awalnya diangkat atas dasar pilihan dan persetujuan. Secara praktek, hal ini hanya berlangsung selama 30 tahun pertama, kemudian setelahnya pemerintahan dinasti menjadi mapan. Namun, secara teoritis konsep Persetujuan dan Pilihan adalah selalu tetap, dengan pengecualian yang diberikan yang memungkinkan aturan turun temurun kalau alternatifnya adalah terjadi perang saudara. Namun, aturan itu tidak dibiarkan tanpa pembatasan – ini bukanlah pemerintahan despotik (zalim) atau otokrasi yang tak terkendali, melainkan adalah aturan hukum, seperti yang disebutkan sebagai dasar fundamental
Negara. Dengan kata lain – ada persetujuan diberikan kepada penguasa, selama penguasa menerapkan hukum Islam. Jika dia menyimpang dari penerapan ini, di tidak lagi ditaati. Inilah dasar teori bay’ah dalam pemerintahan Islam, dan ada sebuah bab yang ditulis oleh sarjana Amerika terkenal yang mempelajari Islam, Bernard Lewis, yang menyatakan secara penuh:
“Bay’ah itu dengan demikian dipahami sebagai suatu kontrak di mana subjek melakukan ketaatan dan sebagai gantinya Khalifah kembali melakukan tugas tertentu yang ditetapkan oleh para hakim. Jika seorang Khalifah gagal dalam tugas-tugas itu – dan sejarah Islam menunjukkan bahwa hal ini tidak berarti murni teoritis, maka dia dapat, sesuai dengan kondisi tertentu, akan diberhentikan dari jabatannya.
Doktrin ini menandai salah satu perbedaan penting antara Pemerintahan Islam dan dan pemerintahan otokrasi. Seorang penguasa Islam tidak kebal hukum. Dia tunduk kepada hukum, tidak beda dengan orang-orang paling rendah di bawah kekuasaanya. Jika dia memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, tidak ada ketaatan padanya, dan digantikan bukan oleh hak untuk taat tapi kewajiban untuk tidak taat”.
Ada juga poin penting bahwa umat Islam seharusnya memiliki seorang pemimpin politik tunggal, yang merupakan Kepala suatu Negara Kesatuan. Tentu saja, ada teori dan ada praktek, dan dari waktu ke waktu ukuran Negara Islam adalah sulit, jika bukan dikatakan mustahil, bagi Khalifah untuk secara praktis mengkontrol Negara.
Singkatnya – ada para penuntut, dan Khalifah tetap sebagai simbol penting – sedemikian pentingnya sehingga tetap menjadi posisi yang dicari, dan para penguasa yang lebih rendah akan mengajukan kepada otoritas Khalifah, jika tidak dalam praktek, setidaknya secara simbolis dengan menyatakan kesetiaan formal mereka.
Namun – Kekhalifahan terakhir Daulah Utsmaniyah yang mengatur untuk menyatakan kekuasaan dirinya atas dunia Islam setelah masa yang terpecah sedemikian rupa sehingga menjadi kekuatan utama yang tidak diperselihkan dan sebagian besar menerimanya sebagai pemimpin kaum muslimin. Hal ini juga sebenarnya merupakan dampak yang lebih abadi dari Islam di Eropa karena secara geografis Turki terletak di Eropa, dan setiap pertimbangan saat ini atas Kekhalifahan di Eropa mulai dihitung dari akhir kekhalifahan terakhir, yang terjadi setelah akhir Dunia Pertama di tangan Mustafa Kemal.
Kejatuhan dan Kebangkitan Khilafah?
Sejarah Kekhalifahan Utsmaniyah itu sendiri adalah sejarah yang sangat kaya – menjelang abad ke 17 Kekhalifahan itu telah memantapkan dirinya sebagai pemimpin Dunia Muslim dan diakui oleh kaum Muslim lain, yang tercermin dalam permohonan dari para pemimpin berbagai wilayah seperti India dan Aceh untuk mencari dukungan dari Khalifah Utsmaniyah terhadap penjajahan bangsa Eropa di wilayah mereka di abad ke-17. Ada banyak faktor yang ikut andil dalam kejatuhan Kekhilafahan Utsmaniyah, yang berada di luar bahasan di sini, tetapi cukup untuk mengatakan bahwa pada paruh kedua abad ke-19 kekuatan bangsa Eropa sedang mempertimbangkan bagaimana mereka bisa mengambil keuntungan terbaik dari situasi pasca-Utsmaniyah. Sebagai akibat dari revolusi industri yang menyebabkan kemajuan di jantung Eropa, ditambah dengan stagnasi pada Daulah Utsmaniyah yang sering menyerang kekuatan global pada hari-hari kematian mereka, berarti bahwa peradaban Eropa terlihat berkuasa di atas semua kebudayaan yang lain.
Menurut seorang akademisi Aydin Cemil – sebagai akibat dari hegemoni Eropa pada titik sejarah ini, ada dominasi orde politik tunggal Eurosentrik. Pada titik ini-Eropa mengklaim bahwa mereka telah memperoleh posisi unggul karena Zaman Pencerahan (Enlighment), dan bahwa peradaban lain tidak dapat bersaing karena keterbelakangan mereka. Dengan kata lain, Dunia Islam tidak pernah bisa bersaing dengan Barat karena masalah-masalah budaya, demikian juga sama halnya dengan peradaban-peradaban Asia dan Afrika. Dan Aydin berpendapat bahwa gerakan-gerakan Pan-Asia dan Pan-Islam sangat terkait khususnya dalam masa awal abad ke-20, yang merupakan reaksi terhadap rasisme dan eksklusivitas Barat. Pada periode itulah pertukaran dan kontak antara Daulah Islam dan Jepang mulai berakar. Dinasti Utsmaniyah, bersama dengan banyak yang lainnya, mulai melihat kepada identitas Pan-Asia terutama setelah kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1906 yang merusak narasi yang menegaskan keniscayaan dominasi Barat. Suatu keterlibatan bersama dengan pusat Eropa yang menyebabkan munculnya identitas Timur yang – meskipun kurang adanya komunikasi dan nilai-nilai bersama – hal ini telah disosialisasikan oleh pembentukan gerakan-gerakan Pan-Asia seperti “Asosiasi Pertahanan Asia (Association for the Defense of Asia)” pada tahun 1909 antara AbdulResid Ibrahim dan pan-Asianis Jepang seperti Toyama Mitsuru.
Ketika banyak umat Islam memandang Jepang untuk mendapatkan inspirasi dan rahasia sukses pada periode ini, pertukaran budaya juga menyebabkan masuk Islamnya orang-orang Jepang. Kotaro Yamaoka, seorang aktivis Pan-Asia, yang masuk Islam saat bepergian dengan Ibrahim dan biasa memberikan pidato dalam Daulah Utsmaniyah. Mohammad Barakatullah, seorang cendekiawan India, menerbitkan jurnal “Persaudaraan Islam (Islamic Fraternity)” dari Tokya, bekerjasama dengan orang Jepang yang telah masuk Islam Hasan Hatano Uho. Ini semua dibangun di atas ide bersama blok Pan-Asia diantara negara-negara Asia yang berbeda termasuk Kekhalifahan untuk melawan hegemoni Eropa.
Namun, meskipun ada upaya para pendukung Kekhalifahan Utsmaniyah, akibat dari Perang Dunia Satu menyebabkan dihapuskannya sama sekali Kekhilafahan Utsmaniyah di tangan Presiden Republik Turki masa depan Mustafa Kemal, yang terjadi pada tahun 1924 (Pada saat yang sama, masih ada banyak keterkaitan antara kaum Muslim dan Jepang hingga Perang Dunia II sebagai bagian dari diadopsinya kebijakan Pan-Asia). Untuk merangkum argumen dari masa ini – diputuskan bahwa satu-satunya cara agar berhasil di Dunia “modern” adalah melalui kendaraan negara-bangsa, dan dengan pembentukan pemerintahan sekuler di Turki, dan pendirian kontrol kolonial atas sebagian besar wilayah yang sebelumnya adalah wilayah Utsmaniyah di Timur Tengah.
Pada titik ini, tanpa masuk kedalam rincian, Kekhalifahan tidak lagi dianggap sebagai pilihan politik yang layak, dan kinerja Khalifah terakhir dilihat oleh sebagian orang sebagai sebuah alat di tangan Inggris terhadap rakyat Turki. Ini adalah era negara-bangsa (nation-state) – pemerintahan global Daulah Utsmaniyah, yang diwakili juga oleh Emperium Habsburg, telah dianggap sebagai pemerintahan gagal dan tidak sesuai dengan era modern. Ini adalah apa yang telah diberi label oleh sebagian orang sebagai “Momen Wilsonian”. Tidak hanya pemerintahan global dan multi-etnis yang ditinggalkan untuk mendukung negara-bangsa, tetapi juga merupakan suatu persyaratan untuk tercerahkan agar bisa diterima kedalam kelompok modernitas – agama tidak memiliki peran dalam politik, atau – sebagaimana yang dilakukan secara ekstrem oleh Mustafa Kemal – agama tidak memiliki peran dalam ruang publik.
Dan di sini kita telah masuk kedalam lingkaran penuh hingga ke titik di mana kita memulai kuliah ini – tipe-tipe rezim yang muncul dalam pemerintahan pasca-langsung kolonial dari Timur Tengah, demikian juga dengan cara mengadopsi paradigma pemerintah sekuler, baik di bawah kerajaan yang ditinggalkan oleh Inggris seperti seperti di Yordania atau dibawah republik yang berdasarkan pada Pan-Arabisme sebagai hasil dari kudeta tahun 1950. Pada waktu itu, Islam diturunkan tingkatnya dalam ruang politik. Khilafah itu tidak disebutkan sebagai visi politik atau alternatif, sebagian besar sebutan ini telah didiskreditkan dan terlihat gagal pada awal abad ke-20, dan semua upaya selanjutnya untuk menghidupkannya kembali, dalam konperensi-konperensi dari Kairo hingga Indonesia adalah tidak efektif dan dipandang sebagai kesempatan bagi para raja dan para pemimpin lain untuk mencoba menjadi boneka Khalifah sebagai gelar simbolik belaka yang akan memberikan pengaruh dan prestise yang lebih besar kepada mereka, dan bukan sebagai pemimpin politik dari sebuah pemerintahan Islam global.
Ikhwanul Muslimin – gerakan Islam terbesar di Mesir – mengadopsi seruan untuk pendirian Kekhalifahan global sebagai tujuan dalam teori utamanya tetapi hal ini jarang digunakan dalam wacana mereka. Dalam kasus apapun, dalam kenyataannya mereka menerima untuk bekerja di dalam paradigma negara-bangsa sehingga membuat tujuan akhir mereka sebagai sebuah slogan utopis. Hizbut Tahrir, yang didirikan pada 50-an dengan tujuan eksplisit pembentukan Kekhalifahan, telah secara konsisten menolak untuk menerima paradigma negara-bangsa, tetapi sebagian aktivis mereka menyebutkan bahwa mereka tidak menggunakan kata khalifah ketika mereka pada awalnya berbicara dengan masyarakat tentang sistem politik Islam di tahun 1950 karena kesalahpahaman tentang apa yang disyaratkan.
Namun – di sini kita sudah setengah abad kemudian. Hasil jajak pendapat tahun 2007 menunjukkan bahwa 65% responden dari seluruh empat negara Muslim yang besar ingin hidup di bawah satu Daulah Islam yang tunggal, dan pada tahun yang sama 100.000 orang berkumpul di sebuah stadion di Indonesia untuk mendukung kekhalifahan. Hal yang konsisten dengan jajak pendapat dari Mesir, tahun demi tahun dari tahun 2006 telah menunjukkan bahwa lebih dari 2 / 3 dukungan bagi negara yang tunggal, dan lebih dari 80% dukungan untuk penerapan penuh Syariat Islam.
Seruan bagi Kekhilafahan ini tidak hanya bergema di negara-negara Muslim, dan pencarian bagi alternatif itu tidak terbatas pada umat Islam. Orang-orang Barat juga kecewa dengan materialisme pada masyarakat konsumtif dan kemunafikan yang dirasakan dari demokrasi liberal Barat yang mengklaim mewakili massa, namun pada kenyataannya mewakili kepentingan para elit dan bertanggung jawab atas sebagian besar kejahatan terbesar pada abad yang lalu yang pada kenyataannya mungkin adalah kejahatan terbesar dalam sejarah – dari mulai menjatuhkan bom atom; kejahatan dengan kekerasan atas warga sipil dari Vietnam, Irak hingga Afghanistan, rendisi, penjara dan penyiksaan terhadap para tahanan politik apakah itu dilakukan oleh Inggris di Malta pada awal abad ke-20 hingga penggunaan Guantanamo Bay di awal abad 21 – peradaban Barat telah menjadi semakin jauh terkucilkan diantara rakyatnya sendiri.
Salah satu contoh yang menonjol dari masalah ini adalah masalah Ian Dallas, yang sekarang dikenal sebagai Sheikh AbdulQadir Sufi, seorang Skotlandia yang lahir pada tahun 1930 di Ayr, Skotlandia yang kemudian masuk Islam pada usia tiga puluhan dan mendirikan kelompoknya yang awalnya dikenal sebagai Murabitun, dengan banyak anggota terkemuka mereka juga adalah orang-orang Barat yang masuk Islam. Tujuan utama mereka adalah untuk menghancurkan sistem perbankan global kapitalis dan pembentukan kembali Khilafah, yang akan dicapai melalui penciptaan masyarakat perdagangan Islam di seluruh Dunia yang akan meruntuhkan tatanan dunia saat ini dan secara alami mengarahkan pada munculnya pemerintahan Islam.
Mereka mengklaim memiliki lebih dari 20 komunitas yang didirikan hingga Inggris, Meksiko, Afrika Selatan, Indonesia dan Rusia dengan perkiraan jumlah pengikut 10.000 orang di seluruh dunia, dan telah mencetak mata uang emas dinar mereka sendiri sebagai bagian dari organisasi “Dunia Islam Mint”, yang baru-baru ini ada di Indonesia dan Malaysia.
Meskipun gerakan ini, dan gerakan-gerakan berbasis Barat seperti gerakan yang awalnya berbasis di Jerman Hilafet Devleti dan Jama’ah Muslimin yang berbasis di London berada di pinggiran masyarakat Muslim, mereka mencerminkan tumbuhnya rasa solidaritas dan persatuan diantara kaum Muslim yang berbasis di Eropa dan yang ada di negara-negara Muslim. Ini sebenarnya adalah bagian dari dasar teologis bagi umat Islam yang semuanya percaya bahwa mereka secara spiritual adalah satu Umat, atau bangsa kolektif yang berdasarkan keyakinan yang satu, dan bahwa kesatuan spiritual ini harus diungkapkan oleh kesatuan politik yang akan mewakili kepentingan Islam di panggung dunia. Ini adalah pandangan khas Islam atau Muslim, tetapi hal ini juga tidak boleh dilihat secara terpisah dari tren internasional saat ini.
Dunia Globalisasi
Dunia global saat ini juga berarti ada suatu fragmentasi identitas, dimana orang-orang tidak selalu merasa terikat pada satu negara manapun karena kemudahan perjalanan dan komunikasi. Negara bangsa umumnya dianggap sebagai entitas yang gagal, sebuah mode yang tidak cocok dari pemerintahan untuk sebuah dunia yang semakin terkait satu sama lain dengan adanya perpindahan modal dan tenaga kerja.
Pada saat ini kami juga menyaksikan kembali munculnya kembali suatu pemerintahan dunia multi-peradaban, dengan meningkatnya kekuatan Asia dan Amerika Selatan sebagaimana dicontohkan oleh China, India dan Brasil. Pada saat yang sama, pertimbangan dalam lingkungan global adalah bahwa entitas kolektif tingkat global adalah diperlukan. Amerika Serikat, Rusia dan Cina sudah ada pada ukuran tersebut. Di Eropa ada Uni Eropa yang sebagai entitas supra-nasional yang telah mengikis dan terus mengikis kedaulatan negara-bangsa, sehingga menjadikannya semakin kurang relevan – meskipun hal ini tidak disertai komponen militer dan politik yang sebenarnya masih menghambat hal ini, dan ini adalah arah kaum pendukung Uni Eropa yang bercita-cita untuk membangun integrasi ekonomi pada tempatnya.
Dapat dikatakan bahwa negara-bangsa cukup tangguh di Eropa Barat meskipun ketangguhannya telah berkurang, mengingat bahwa Eropa Barat adalah ayah intelektual dan yang melahirkannya – tetapi hal yang sama ditunjukkan secara palsu bagi negara-bangsa di wilayah-wilayah lain di dunia – dan di sini kita kembali berurusan dengan masalah saat ini di Timur Tengah dan Dunia Islam yang lebih luas. Negara-negara di Timur Tengah telah mengalami defisit legitimasi sejak saat negara-negara itu menjadi mapan, mengingat bahwa mereka adalah ciptaan kolonial yang terdiri dari perbatasan negara yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Suatu contoh yang baik adalah tiga negara Afrika Utara yang memiliki fitur sangat dalam pada protes , revolusi dan pemberontakan yang terjadi bulan lalu yaitu Tunisia, Mesir dan Libya. Tidak dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan etnis di antara negara-negara itu – karena suku Awlad Ali ditemukan pada setengah wilayah Mesir dan setengah wilayah Libya, dan ada banyak suku Berber yang tersebar dari Maroko hingga Mesir. Ada tiga negara yang semua penduduknya berbicara dengan dialek Arab, dan secara fundamental – mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan pada masa sekarang menjadi lebih konservatif dan cenderung religius. Secara historis dan budaya, batas-batas di antara mereka bukanlah alami, melainkan dipaksakan.
Untuk menunjukkan solidaritas masyarakat di wilayah ini – setelah terjadinya pemberontakan di Tunisia yang kemudian menyebar ke Mesir – masyarakat baik di Tunisia maupun Yordania dan Negara-negara lainnya pergi keluar rumah untuk menunjukkan penentangan terhadap presiden Mesir sambil juga memprotes pemerintah mereka sendiri. Solidaritas yang sama dirasakan dengan pemberontakan rakyat Libya melawan Gaddafi, dimana terlihat orang-orang Mesir melakukan protes di luar kedutaan Libya di Kairo. Kami juga melihat umat Islam dari London hingga Indonesia berdemonstrasi menunjukkan solidaritas dan mendukung gerakan-gerakan untuk menghapus para diktator daerah, dan hal ini terus terjadi saat kita bicara dan situasinya tetap cair.
Meskipun masing-masing dari pemberontakan itu memiliki kondisi khusus, terdapat banyak karakteristik yang luas, yaitu melanggar hukum negara – dan hilangnya faktor ketakutan, yang merupakan pilar dari setiap kediktatoran untuk menjadikan rakyatnya penurut, sebagai akibat dari yang dirasakan atas keberhasilan protes Tunisia dan kemudian dilanjutkan Mesir.
Para elit pemerintahan di wilayah ini tidak dilihat sebagai mewakili pendapat dan sudut pandang dari massa, tetapi lebih dipandang sebagai alat Barat, sebagian besar contoh di berada di wilayah itu untuk memastikan kepentingan orang lain, sambil menekan aspirasi penduduk wilayah lain. Contoh yang baik yang dipublikasikan baru-baru ini adalah posisi pemerintah Mesir selama perang di Gaza pada tahun 2009, dan peran mereka dalam program yang memfasilitasi program rendisi Amerika (rendisi adalah menyerahkan tahanan dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi yang lain-pent) sejak pertengahan tahun 1990 itu, bertindak sebagai fasilitas penyiksaan lepas pantai bagi CIA. Inilah sebabnya mengapa kata-kata mujarab yang ada di seluruh kawasan itu adalah “rakyat menuntut pergantian sistem”.
Ada banyak faktor yang dapat dikatakan untuk mengatur adegan bagi populasi Muslim di Timur Tengah dan di luar wilayah itu untuk mencari alternatif bagi orde politik masa kini. Ini termasuk pendudukan tanah yang dianggap penting secara keagamaan seperti Palestina, penindasan terhadap penduduk Muslim di daerah yang diyakini memiliki sejarah Islam seperti di Kashmir atau wilayah Kaukasus dan kemiskinan pada populasi yang luas meskipun kekayaan alam dan sumber daya tenaga kerja ada di wilayah mereka, dan dianggap sebagai sikap tunduk negara untuk agenda asing dan bahwa penduduknya kebanyakan hidup di bawah pemerintahan opresif yang telah dipaksakan atas mereka dan tidak mewakili kepentingan-kepentingan mereka
dan nilai-nilai dan sering berurusan dengan populasi umum sebagai ancaman keamanan apakah seperti Republik Mesir, demokrasi palsu seperti Pakistan atau kerajaan seperti orang-orang dari Maroko atau Yordania, dan seterusnya. Keluhan ini sebagian besar dirasakan secara bersama karena identitas kolektif Islam sebagaimana yang diwakili pada ide ummat, meskipun negara-bangsa kini telah menjadi satu-satunya bentuk pemerintahan di wilayah itu bagi sejumlah generasi.
Apapun istilah yang digunakan di media, seperti istilah “pro-demokrasi” yang dipaksakan oleh sebagian saluran Satelit Internasional, dengan menggali kedangkalan bagi wacana seperti itu adalah tuntutan kunci tertentu yang orang-orang tampak mencarinya:
- Pemerintahan yang bisa terpilih kembali (electable government).
- Pemerintah yang bertanggung jawab (accountable government).
- Pemerintah yang independen.
- Aturan hukum.
- Dan juga sebuah sistim yang mewakili aspirasi politik mereka pada panggung global.
Dengan kegagalan negara-bangsa, dan kemudian ide-ide yang datang berturut-turut seperti pan-Arabisme yang sekuler untuk menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi oleh Umat, adalah Keklihafahan yang diposisikan sebagai sebuah alternatif yang dapat memenuhi semua tuntutan ini, sebagaimana yang dituangkan dalam rumus klasik dari Teori Kekhalifahan yang sebelumnya telah disinggung. Kedua ide yakni ide umat yang satu dan ide perwakilan politik dalam bentuk Kekhalifahan adalah berasal dari sumber-sumber Islami. Walaupun ada kekhawatiran akan adanya penyimpangan-peyimpangan, dapat dikatakan bahwa adalah Sistim Khilafah yang merupakan bentuk negara yang cocok bagi Dunia pada saat ini- mengingat negara itu tidak mengenal batas-batas negara yang tidak mewakili masyarakat, dan telah runtuh oleh transfer ide-ide revolusioner dan dorongan melalui Facebook dan Twitter. Dan pada saat dunia sedang bergerak ke arah persatuan yang lebih besar melalui di sepanjang blok-blok regional agar keberadaan masing-masing negara tetap relevan dan memiliki pengaruh di Panggung Dunia, maka Kekhalifahan lah yang secara historis, budaya dan teologis yang dapat memberikan legitimasi bagi masyarakat di wilayah tersebut.
Perlu diperhatikan pada tahap ini bahwa sejarah telah menunjukkan bahwa Kekhalifahan, baik dalam bentuk Kekhliafahan Utsmaniyah atau sebelumnya, semuanya memiliki segala macam hubungan eksternal dengan negara-negara dan pemerintahan lain. Hubungan itu berkisar dari pengakuan eksistensi secara damai, dukungan militer, hingga hubungan yang bermusuhan dan terjadinya peperangan, seperti juga hubungan antara pemerintahan di sepanjang sejarah. Hubungan Jepang dengan Utsmaniyah adalah contoh yang baik atas hal ini. Dalam setiap kasus penerapan teori-teori hubungan internasional atas kenyataan ini dapat selaras dengan banyak orang yang berbicara menentang gagasan Negara Islam bersatu untuk mengakomodirnya demi kepentingan-kepentingan mereka sendiri pada saat realisasi sumber daya yang mungkin berada di bawah kontrolnya.
Namun, berlanjutan usaha menakut-nakuti (demonisasi) atas pemerintahan yang dianggap sebagai bagian dari Islam normatif kemungkinan hanya akan merugikan bagi hubungan dengan penduduk di negara-negara Muslim dimana ada dukungan yang besar untuk penerapan yang lebih besar atas hukum Islam dan nilai-nilai dalam pemerintahan bersama dengan meningkatnya persatuan, terlepas dari apakah massa secara agitatif aktif melakukannya untuk mendirikannya kembali atau tidak. Pada saat yang sama hal ini juga akan menciptakan keterasingan lebih banyak Muslim yang tinggal di Barat, yang kemungkinan akan menyebabkan lebih banyak dari mereka akan mencari wadah dalam ide komunitas Islam global.
Kenyataannya adalah bahwa hegemoni pemerintahan Barat dan nilai-nilainya sedang disengketakan secara lebih terbuka dengan berjalannya waktu, dan seperti yang ditunjukkan oleh suatu jajak pendapat internasional yang dilakukan oleh BBC yang dirilis pada akhir tahun 2010 memang ada ketidakpuasan di seluruh dunia dengan gaya kapitalisme Barat. Karena kekuatan dunia yang kembali muncul dan identitas peradaban yang semuanya menyatakan diri bersifat regional dan internasional, tuntutan untuk mengadopsi nilai-nilai politik dan filsafat Eropa Barat dan pemerintah Amerika adalah kurang relevan atas mereka yang terlibat didalamnya. Akibatnya, upaya-upaya untuk mendirikan suatu bentuk pemerintahan Islam yang akan diberikan legitimasi oleh warganya harus diterima sebagai alternatif agar bisa dicek untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara klaim kemenangan berakhirnya sejarah pada awal masa dari apa yang disebut sebagai “Tata Dunia Baru (New World Order)” yang bernada mencemoohkan pada saat ini di beberapa wilayah dan kemudian terbukti merupakah penilaian yang salah, mungkin yang terjadi adalah lebih dari sekedar suara gemuruh dari akhir sejarah Barat, di mana wacana narasi yang dominan, universal dan hegemonik tidak hanya tertantang, tetapi akhirnya menjadi berbalik.[]
mantap
sungguh kerinduan yang tak terhingga atas berdirinya kekhalifahan islam yg kuat seperti dulu……