Potensi Represif dalam RUU Intelijen

Kantor Jurubicara
Hizbut Tahrir Indonesia

Nomor: 198/PU/E/04/11
Jakarta, 06 April 2011/02 Jumadil Awwal 1431

PERNYATAAN

HIZBUT TAHRIR INDONESIA

POTENSI REPRESIF DALAM RUU INTELIJEN

Saat ini di gedung parlemen tengah dibahas RUU Intelijen. Dalam RUU tersebut ada sejumlah pasal yang bila tidak diwaspadai bisa melahirkan kembali rezim represif seperti atau bahkan lebih dari rezim Orde Baru.

Pertama, ada kalimat atau frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, sehingga berpeluang menjadi pasal karet, seperti frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”. Juga  frase “musuh dalam negeri”, tidak jelas siapa dan apa kriterianya. Rumusan yang tidak jelas, kabur, cenderung multitafsir ini sangat mungkin disalah gunakan. Bisa jadi, sikap kritis atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih mengancam “keamanan nasional” dan stabilitas, serta dianggap musuh “dalam negeri”.

Kedua, di Pasal 31 disebutkan bahwa Lembaga Intelijen memiliki wewenang untuk melakukan intersepsi (penyadapan) terhadap komunikasi dan/atau dokumen elektronik, serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau yang mengancam keamanan nasional. Di dalam penjelasan dikatakan, intersepsi itu bisa dilakukan tanpa ketetapan Ketua Pengadilan. Bahkan di ayat 4 Pasal yang sama, Bank Indonesia, bank, PPATK, lembaga keuangan bukan bank, dan lembaga jasa pengiriman uang, wajib memberikan informasi kepada LKIN atau BIN.

Pemberian wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi penyadapan itu didasarkan pada alasan yang definisi, kriteria dan tolok ukurnya tidak dijelaskan, kabur dan multi tafsir sehingga bisa bersifat subyektif dan tergantung selera. Lebih berbahaya lagi, tidak disebutkan siapa yang berwenang memutuskan penyadapan itu. Akibatnya secara implisit setiap personel intelijen berhak melakukannya. Pemberian wewenang intersepsi tanpa izin pengadilan ini akan bisa menyebabkan terjadinya penyadapan secara liar. Akibatnya warga akan terancam hak privasinya.

Ketiga, dalam RUU itu diusulkan pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif (interogasi) paling lama 7×24 jam. Usulan itu sama saja memberi wewenang intel BIN untuk mengambil orang yang dicurigai, tanpa surat perintah, tanpa diberitahu tempat dan materi interogasi, tanpa pengacara dan tanpa diberitahukan kepada keluarganya. Lalu apa bedanya dengan penculikan? Jika usulan itu digolkan, maka akan lahir kembali rezim represif.

Keempat, di dalam RUU tidak ada mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh lembaga intelijen. Rakyat berpotensi menjadi korban tanpa ruang untuk mendapatkan keadilan. Di sinilah terlihat jelas potensi lahirnya rezim intel.

Kelima, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen akan menjadi “super body” yang bisa melakukan apapun tanpa kendali.

Berkenaan dengan soal ini, Hizbut Tahrir Indonesia berpendapat, memang benar intelijen diperlukan dalam sebuah negara. Tapi mestinya bukan untuk memusuhi rakyat. Juga tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk kepentingan mengamankan status quo. Apalagi jika intelijen digunakan untuk memberangus setiap usaha memperjuangkan syariah Islam. Masa rezim Orde Baru dengan intelijennya, cukuplah menjadi pengalaman pahit bagi rakyat, khususnya umat Islam.

Dalam pandangan syariah Islam, negara haram memata-matai rakyat. Allah SWT berfirman: dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (QS al-Hujurat [49]: 12). Dan Rasul saw bersabda: Sesungguhnya seorang amir itu, jika ia mencari keragu-raguan (sehingga mencari-cari kesalahan) dari rakyatnya, berarti ia telah merusak mereka (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan al-Baihaqi)

Terhadap ahl ar-riyab dalam Daulah Khilafah, yaitu orang-orang yang dikhawatirkan dapat menimbulkan bahaya terhadap institusi negara, jamaah atau bahkan individu sekalipun, memang diperbolehkan dillakukan tajassus (spionase). Namun itu bisa dilakukan dengan syarat: Pertama, didasarkan pada hasil monitoring terhadap muhâriban fi’lan ataupun muhâriban hukman; dan Kedua, hal itu disampaikan kepada dan disetujui oleh Qadhi Hisbah (lihat detilnya dalam Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hal 99-104, Darul Ummah. 2005).

Oleh karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

  1. Menolak RUU Intelijen, khususnya pada poin-poin yang disebut di atas.
  2. Meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan/mengoreksi poin-poin tersebut karena akan membahayakan kehidupan rakyat, khususnya aktifitas dakwah.
  3. Menegaskan kepada seluruh umat bahwa hanya dengan penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah sajalah, negara tidak akan menjadi musuh rakyat, tidak penuh curiga kepada rakyat dan tidak sibuk memata-matai rakyat. Dengan itu pemerintah dan rakyat akan menyatu menjadi kekuatan besar demi terwujudnya rahmat bagi semua. Kapan lagi itu kita wujudkan jika tidak sekarang?

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796  Email: Ismailyusanto@gmail.com

One comment

  1. sunarkokalisatjember

    Biar tidak dimata matai, gerakan dakwah harus semakin nyata tampil dihadapan masyarakat. Semakin hari semakin membesar dan terus membesar. Sehingga rakyat mengetahui bahwa gerakan dakwah khilafah yang diusung oleh HT ini nyata nyata rasional dan didukung rakyat banyak. Segala cara yang baik dan benar, besar maupun kecil kita tempuh untuk meyakinkan ahlul quwwah dan masyarakat. Tiada hari tanpa membesarkan gerakan dakwah ini. Banyak berdoa kepada allah semoga kekuatan musuh dilemahkan dan kekuatan dakwah dihebatkan.Ayo semakin dekat kepada Allah dan terus memohon pertolongannya. Semoga kita diberi kekuatan.Amiin. Allahu Akbar !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*