Tiga pekan yang lalu, dan setelah menjadi Menteri Dalam Negeri Jerman, Hans-Peter Friedrich mengatakan bahwa “Kaum Muslim yang tinggal di Jerman sudah pasti mereka bagian dari masyarakat Jerman. Akan tetapi jika Islam dikatakan bagian dari Jerman, maka ini adalah masalah yang tidak memiliki sandaran (sanad) historis.”
Sebagian masyarakat Jerman mengecam pernyataannya ini. Kemudian ia menjawab kecaman itu dalam sebuah wawancara dengan radio Deutschlandfunk pada tanggal 27/03/2011 dengan menuduh mereka (lawan politiknya) telah menggunakan pernyataannya “Untuk membuat jarak antara dirinya dengan komunitas kaum Muslim di Jerman.”
Dan ia akan menjelaskan tujuan pernyataannya pada saat Konferensi Islam di Berlin. Ia telah menyatakan keyakinannya bahwa “Konferensi Islam telah memasuki periode amaliyah (prektek). Dan yang paling penting dalam hal ini adalah pengajaran agama serta pelatihan bagi guru-guru agama Islam dan para imam.”
Padahal semua tahu bahwa draft konsep materi pengajaran agama yang disiapkan untuk mengajar anak-anak kaum Muslim telah disusun berdasarkan sekulerisme, yakni mereka menyusunnya berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan; serta bersandar pada kebebasan berperilaku, yang artinya bahwa manusia bebas melakukan apa yang ia suka dan ia inginkan tanpa ada campur tangan agama sedikit pun. Dan yang menarik perhatian terkait anak-anak kaum Muslim bahwa mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti agama orang tuanya. Materi pengajaran agama itu juga berdasarkan pada kebebasan berkeyakinan (beragama) dan berpikir (berpendapat). Sehingga konsekwensinya, bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk meninggalkan agamanya (murtad) dan membangun pemahaman agamanya menurut pikirannya, bukan menurut dalil-dalil syariah, serta menghormati kebebasan berbicara tentang agamanya oleh orang lain, bahkan sekalipun bicaranya telah sampai pada tingkat mengolok-olok agamanya dalam bentuk dan cara yang berbeda .
Ketika diadakan konferensi di Berlin, 2011/03/29, ternyata menteri menolak untuk menarik pernyataan yang telah diucapkannya. Sebaiknya ia berusaha meredakan ketegangan dengan mengulang-ulang pernyataannya bahwa “Kaum Muslim adalah bagian dari masyarakat Jerman”. Namun ia menolak untuk mengatakan bahwa Islam bukanlah bagian dari Jerman, sehingga Jerman tidak mengakuinya sebagai agama resmi di negara ini di samping agama-agama lain. Kemudian ini berdampak pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan sebagian ritual keagamaan kaum Muslim, seperti hari libur hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha, serta yang lainnya, di mana mereka dilarang memperoleh haknya. Padahal semua tahu bahwa kaum Muslim di Jerman mencapai 10% atau bahkan lebih. Sementara menurut angka resmi hanya 5% saja. Anehnya, Jerman justru mengakui agama dengan jumlah penganut yang sedikit sekali di banding pemeluk Islam.
Bahkan dalam konferensi ini, menteri memperlihatkan sikap yang meremehkan kaum Muslim ketika ia mengusulkan pembentukan “Kemitraan Keamanan” antara kepolisian dan kaum Muslim, dengan menjadi informan yang bertugas memata-matai kaum Muslim yang lain, dalam rangka memerangi ekstrimisme agama, dan mencegah terjadinya serangan yang dilakukan oleh para aktivis Islam.
Hal ini mengingatkan atas apa yang dulu pernah dilakukan pada era Nazi, di mana konstitusi ketika itu memaksa rakyat Jerman untuk memata-matai satu sama lain, dan kemudian melaporkan hasilnya pada Dinas Keamanan Nazi.
Seorang peneliti dalam studi Islam yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut mengatakan bahwa “Usulan menteri itu dipahami sebagai sebuah seruan untuk mendorong kaum Muslim agar memfitnah dan memata-matai satu sama lain, dari pada mengatasi masalah kesulitan integrasi. Sehingga usulannya ini terkesan lucu dan tidak bisa diterima.”
Sementara itu Kepala negara Jerman, Christian Wulff pada tanggal 3/10/2010 bertepatan dengan Hari Penyatuan Jerman, mengatakan bahwa Islam adalah bagian dari Jerman seperti halnya Kristen dan Yahudi.
Namun pendapatnya ini masih belum diterima oleh kebanyakan masyarakat Jerman, di mana 67% rakyat Jerman menolak Islam sebagai agama resmi di Jerman. Hal ini berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada akhir tahun lalu. Dan juga belum diterima oleh kekuatan politik, sebab tidak ada satu partai pun yang berani mengusulkan hal itu di parlemen untuk ditetapkannya.
Anehnya, mereka begitu percaya dengan demokrasi. Mereka mengatakan bahwa masyarakat di Jerman bebas. Akan tetapi, kenyataannya bahwa semua masyarakat terikat dengan konstitusi sehingga masyarakat mulai berkeyakinan bahwa demokrasi hakikatnya adalah mengikat masyarakat dengan konstitusi, sementara ketentuan hukum membebaskan manusia, dan mencegah agama untuk memiliki peran dalam kehidupan ini (kantor berita HT, 6/4/2011).
yah lihat saja nantinya. Mereka besar sebagai penjajah bukan sebagai pelindung. Ya Allah, segerakanlah berdirinya daulah khilafah