Hizbut Tahrir telah mengadakan pertemuan pada bulan Januari di Denmark, tepatnya di perpustakaan Denmark “Royal Library”, tentang ketidakmungkinannya untuk memenangkan perang di Afghanistan, dan dibenarkannya umat Islam melakukan perlawanan bersenjata. Hal ini telah memicu kemarahan para politisi dan personil militer di Kopenhagen. Mereka menilai bahwa dengan ini Hizbut Tahrir telah melecehkan terhadap tentara Denmark, demokrasi, dan agama mereka Kristen.
Perlu diketahui bahwa delapan menteri di Pemerintah Denmark telah berpartisipasi bersama dengan beberapa ratus orang dalam sebuah demonstrasi di luar perpustakaan untuk memprotes pertemuan yang diadakan oleh Hizbut Tahrir. Sehingga inilah yang mendorong Menteri Kehakiman Denmark, Lars Barfoed meminta kepada Jaksa Agung untuk meninjau kembali tentang kemungkinan melarang Hizbut Tahrir, dengan alasan bahwa Hizbut Tahrir mengkampanyekan kekerasan. Sehubungan dengan hal terdapat berita sebagai berikut
Polisi Denmark mengakui legitimasi debat tentang “kewajiban kaum Muslim melakukan perlawanan bersenjata”.
Situs surat kabar “The Copenhagen Post” pada hari Sabtu (9/4/2011) mempublikasikan berita bahwa berdasarkan hasil penyelidikan polisi, Hizbut Tahrir bebas dari setiap kesalahan atau pelanggaran sehubungan dengan pertemuan yang diadakan pada bulan Januari lalu, yang menekankan pada “Kewajiban kaum Muslim melakukan perlawanan bersenjata di Afghanistan dan negara-negara sekitarnya”.
Surat kabar itu mengatakan bahwa pertemuan itu telah menuai kecaman. Dan sebagian dari kecaman itu disebabkan oleh Hizbut Tahrir dalam undangannya meletakkan foto peti mati tentara negara-negara Skandinavia yang sedang pulang ke negaranya dari perang.
Di mana surat kabar “Berlingske” menjelaskan bahwa polisi membuka penyelidikan karena undangan yang disebarkan oleh Hizbut Tahrir untuk menghadiri pertemuan tersebut dapat dipahami sebagai sebuah seruan pada revolusi bersenjata.
Sementara itu, pengacara pihak polisi, Dorit Borgaard mengatakan bahwa pernyataan yang terdapat dalam undangan Hizbut Tahrir menyatakan bahwa “Menyerah tidak terdapat dalam kamus kaum Muslim”. Dan bisa pernyataan ini dipahami dari cara. Namun, setelah kita amati dan kita teliti apa yang ada dalam undangan, disusul dengan konferensi pers, serta perkataan para perwakilan Hizbut Tahrir dalam pertemuan tersebut, kami yakin bahwa kita tidak memiliki bukti cukup untuk membuktikan bahwa Hizbut Tahrir telah melakukan tindak pidana.
Borgaard menambahkan bahwa apa yang dilakukan Hizbut Tahrir sebagai bagian dari debat publik tentang partisipasi Denmark dalam perang Afghanistan. Ia menegaskan bahwa dalam situasi seperti ini kebebasan berbicara harus dihormati, kata Borgaard.
Borgaard menambahkan bahwa berdasarkan pada apa yang terdapat dalam undangan, pertemuan itu juga menekankan “Wajibnya kaum Muslim melakukan perlawanan bersenjata di Afghanistan dan negara-negara sekitarnya. Dan kami menganggap hal ini sepenuhnya sah-sah saja.”
Hizbut Tahrir telah menjawan semua kritik terkait apa yang terdapat dalam undangan. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir telah membuat pernyataan pers menjelaskan apa yang terdapat dalam undangan, bahwa “Perlawanan yang dibenarkan adalah melawan pendudukam, tidak termasuk perang terhadap warga sipil, dan tidak pula pembunuhan terhadap warga Barat yang tidak bersalah.”
Di mana dalam pernyataan itu dikatakan, “Ada upaya kuat oleh para politisi untuk mendistorsi pesan dari maksud yang sebenarnya. Bahkan merupakan klaim konyol dan tidak masuk akal bahwa pesan kami berisi seruan tersembunyi untuk sebuah revolusi bersenjata.” (pal-tahrir.info, 9/4/2011).