HTI Press. Pengajuan RUU Intelijen oleh DPR dan pengajuan DIM RUU Intelijen oleh pemerintah mendapat banyak kritikan. Bahkan langkah yang diambil Komisi I DPR berguru ke AS dan Prancis untuk menggali masukan UU Intelijen dinilai sebagai bentuk kentalnya “aroma” kepentingan asing dalam penyusunan RUU tersebut. Terlebih lagi, peristiwa teror bom belakangan ini disinyalir adalah pengkondisian dramatisir bahwa RUU Intelijen saat ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Terkait peristiwa “bom bunuh diri” di Cirebon jumat (15/4) lalu, HTI secara tegas mengutuk keras bom bunuh diri tersebut sebagai tindakan biadab dan bertentangan dengan syariah Islam.
Sabtu (16/4), DPD I HTI Sulsel menggelar acara Halqah Islam dan Peradaban edisi 22. Meski hujan deras mengguyur kota Makassar sepanjang pagi hingga siang, tak menyurutkan antusias peserta untuk hadir di Aula STIE NOBEL Makassar, lokasi berlangsungnya HIP. Setidaknya 500 buah kursi yang disiapkan panitia terlihat penuh ditempati peserta. Acara yang bertema ” Mewaspadai kembalinya rezim represif, tinjauan kritis RUU Intelijen ” ini menjadi lebih spesial karena disiarkan secara live video streaming melalui HTI Channel yang dapat di akses melalui http://hizb-indonesia.info
Hadir sebagi narasumber bapak Syahrir Ibnu, S.Ag. M.Si (pengamat intelijen) dan Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme ). Sebelumnya, panitia telah mengundang kapolda Sulselbar, namun dari surat yang masuk ke maktab HTI Sulsel, kapolda memohon maaf dan menyampaikan berhalangan untuk hadir menjadi narasumber karena bertepatan menjalankan tugas ditempat lain.
Kedua narasumber pada dasarnya sepakat bahwa RUU Intelijen tersebut sarat kepentingan dan harus di tolak.
Menurut hasil kajian Harits Abu Ulya yang juga Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi catatan dalam RUU Intelijen. Pertama, dalam draft RUU definisi tentang ancaman nasional masih kabur dan multitafsir, juga sangat interpretatif serta luas tidak membatasi kepada konotasi tertentu dari apa yang dimaksud kepentingan nasional sehingga memungkinkan penyalahgunaan kepentingan politik kekuasaan. Kedua, menyangkut kewenangan penyadapan LKIN (Lembaga kordinasi Intelijen Nasional) atau dalam DIM kewenangan BIN (Badan Intelijen Negara) misalnya dalam hal penyadapan dan data aliran dana. Titik krusialnya adalah, penentuan perkara apa yang dianggap sebagai rahasia intelijen masih kabur dan tidak fiks memungkinkan tafsiran yang disalah artikan. Ketiga, kewenangan menangkap dan mengintrogasi (paling lama 7x 24 jam), seperti yang tertuang dalam pasal 15 akan berpotensi lahirnya rezin intel. Sikap represif akan terulang, penculikan akan menjadi tradisi dilakukan oleh pihak intelijen hanya karena alasan demi “keamanan nasional”. Keempat, dalam Draf RUU Intelijen Negara masih belum menyertakan mekanisme koreksi. Termasuk mekanisme jaminan tidak terjadi pengulangan kesalahan dan penyelahgunaan kewenangan oleh parat intel di lapangan. Kelima, Belum terangnya mekanisme kontrol secara permanen yang melibatkan unsur masyarakat, DPR dan Pemerintah. Jika tidak, intelijen akan menjadi “super body” tapi sarat kepentingan politik status quo
” Inilah yang perlu diwaspadai. Lahirnya UU Intelijen Negara tidak boleh menjadi alat menggencet dan mengeliminasi Islam dan kaum Muslimin melalui bendera “War on terrorism” atau alasan keamanan nasional “ papar Harits Abu Ulya.[] Aulia Yahya