HTI Press. Fenomena maraknya teror ‘bom’ menurut Ust. Harits Abu Ulya yang juga Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI merupakan bukti negara gagal. Menurut Abu Ulya, penduduk di Indonesia yang setengahnya berada dalam kemiskinan membuat masyarakat tidak memiliki lagi harapan. Kondisi seperti itu akan sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuannya. Ditambah lagi dengan penanganan orang-orang yang baru diduga terlibat jaringan teroris yang represif dan membabi buta juga akan memunculkan ‘teroris baru’ yang motifnya mungkin murni balas dendam.
Saat ini menurut pengamat kontra-terorisme itu, ada sekitar 600 orang yang dijebloskan ke penjara dan sekitar 50 orang yang ‘dieksekusi’ karena baru diduga teroris atau terkait jaringan teroris. Bahkan tidak sedikit yang dibantai di depan istri dan anak-anak mereka, tegas Abu Ulya. Dengan gayanya yang khas, Abu Ulya mengatakan “Anda bisa bayangkan, psikologi anak yang bapaknya ditembak di hadapannya sendiri, tentu akan sangat membekas dalam benaknya dan tertanam dalam otak bawah sadar mereka. Tentu tidak mustahil, jika anak-anak mereka kelak akan justru melakukan tindakan nekat karena memori pahit yang dialaminya”. Hal tersebut diungkapkan Abu Ulya saat menjadi narasumber pada acara Halqah Islam dan Peradaban (HIP) pada hari Ahad lalu (24/04) di Grha Emerald, Bandung. Acara yang dihadiri sekitar 500 orang tersebut juga menghadirikan narasumber Letkol (Pur) Herman Ibrahim selaku pengamat intelijen dan Luthfi Afandi, mewakili HTI Jabar.
Lebih lanjut Abu Ulya mengkritik, statemen ‘orator BNPT’ Ansyaad Mbai sesaat setelah terjadinya ‘bom’ buku. Ansyaad mengatakan bahwa target bom adalah penghalang khilafah. Ini merupakan tuduhan yang gegabah tegas Abu Ulya. Secara tidak langsung menurut Abu Ulya, Ansyaad ingin mengatakan bahwa pelaku teror bom adalah orang-orang yang memperjuangkan khilafah. Padahal belakangan diketahui, pelaku ‘bom buku’ dan ‘bom pipa’ apalagi ‘bom cirebon’ sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok Islam manapun.
Masih menurut Abu Ulya, saya sendiri masih meragukan itu dilakukan oleh kelompok teroris, karena selain sasarannya bukanlah instalasi penting AS juga terkesan tidak serius. Bagaimana mungkin teroris menggunakan mercon dalam aksi-aksinya? Kata Abu Ulya retoris. Dan Abu Ulya pun menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan berlebihan alias lebay dalam menyikapi kondisi terakhir, yakni dengan mengatakan bahwa Indonesia sedang siaga 1. Saya malah menduga, bahwa ‘aksi teror’ yang banyak bermunculan ditambah lagi dengan ‘bumbu’ NII adalah dalam rangka mematangkan isu agar pengesahan RUU Intelijen berjalan dengan lancar, pungkasnya.
Kelemahan dan Bahaya RUU Intelijen
Di acara yang sama, Humas HTI Jabar, Luthfi Afandi menjelaskan kelemahan sekaligus bahayanya jika RUU tersebut jadi disahkan. Menurut Luthfi, paling tidak ada 4 kelemahan dan bahaya jika RUU ini diterapkan. Pertama, RUU ini sarat dengan pasal-pasal yang bersayap dan multitafsir. Menurut Luthfi ada kalimat atau frase yang belum jelas definisi dan tolok ukurnya, sehingga dapat memunculkan tafsir subjektif dan berpeluang menjadi pasal karet dan berpotensi munculnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Luthfi mencontohkan pasal-pasal yang berpotensi menjadi ‘pasal karet’ adalah kata “ancaman” dalam Pasal 1 ayat 4 atau frase “Pihak Lawan” dan “Kepentingan Nasional” dalam Pasal 1 ayat 9. Selain itu frase “Mengganggu Stabilitas/Keamanan Nasional dalam Pasal 4 dan frase “diduga kuat” terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau tindakan yang mengancam keamanan nasional dalam DIM Pemerintah adalah contoh pasal-pasal bersayap dan multitafsir. Apa kriteria, tolok ukurnya kata dan frase ‘ancaman’, ‘pihak lawan’, ‘kepentingan nasional’, ‘mengganggu stabilitas/keamanan nasional’ atau frase ‘diduga kuat’? tanya Luthfi retoris. Dan bahayanya, dalam RUU tersebut tidak dijelaskan siapa yang memiliki kewenangan menentukan kriteria dan tolok ukurnya.
Kelemahan kedua menurut Luthfi, RUU ini banyak sekali bertentangan dengan peraturan perundangan yang sudah lebih dulu ada. Luthfi mencontohkan Penyadapan tanpa izin pengadilan bertentangan dengan UU Terorisme. Dalam pasal 31 UU No. 15 tahun 2003 dikatakan bahwa “Yang berwenang melakukan penyadapan seharusnya adalah aparat penyidik setelah mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat“. Pertentangan lainnya adalah dengan pasal 18 KUHAP. Dalam DIM versi Pemerintah, RUU harus memberikan kewenangan kepada intelijen untuk melakukan “penyelidikan” dan “pengamanan“. Selain bertentangan dengan KUHAP juga akan terjadi tumpang tindih dengan tugas kepolisian.
Selain itu, menurut Luthfi, belum diaturnya hak-hak korban dalam RUU ini berpotensi bertentangan dengan pasal 5 UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentang hak-hak korban. Belum lagi pertentangannya dengan pasal 17 UU KIP, karena dalam hal kerahasiaan informasi RUU tersebut tidak menyebutkan mengenai mekanisme keberatan publik untuk meminta informasi terkait hasil kerja intelijen dengan alasan dirahasiakan. Padahal menurut Luthfi, jika rahasia tersebut menyangkut kehidupan masyarakat, harus dipublikasikan.
Ketiga, menurut Luthfi RUU tersebut berpotensi merugikan hak-hak publik. Dalam banyak kesempatan, menurut Luthfi, pemerintah ingin memajukan kehidupan demokrasi dan kebebasan. Tapi kenapa peranan intelijen diperluas untuk mematai-matai rakyat? Sehingga menjadi jelas, kebebasan sesungguhnya hanya untuk mereka, bukan untuk rakyat.
Selain itu, penyadapan tanpa izin pengadilan akan berpotensi terjadinya penyadapan liar, dan terancamnya privasi publik serta kewenangan “pengamanan” dalam DIM Pemerintah No. 22 justru rentan untuk disalahgunakan menjadi “penangkapan”. Jika demikian menurut Luthfi, ini namanya melegalisasi penculikan, mengingat kerja intelijen yang tertutup dan rahasia.
Keempat, jika RUU ini disahkan, maka tumpang tindih dengan Polisi tak bisa dihindari, yakni terkait dengan kewenangan “penyelidikan” dan “penangkapan”.
Alhasil, menurut seluruh narasumber dalam Halqah Islam dan Peradaban tersebut, bahwa issue teror bom dan NII adalah rakayasa pihak-pihak tertentu untuk mencitraburukkan Islam dan gerakan pengusung syariah dan khilafah Islam. Dalam jangka pendek, mereka menargetkan agar RUU intelijen disahkan. Selain itu, isi RUU intelijen sangatlah berbahaya dan banyak kelemahan-kelemahan, karenanya ummat Islam harus menolaknya. Wallahu A’lam. (Kantor Humas Jabar)