Kurang dari sehari setelah keberhasilan revolusi di Mesir, para pemimpin kelompok Ikhwanul Muslim melontarkan pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan jauhnya kelompok dari Islam. Bahkan berusaha keras untuk melibatkan diri dalam proyek demokratisasi nasionalisme di Mesir, yang disponsori oleh Amerika Serikat dan masyarakat internasional.
Ide pembentukan Partai Kebebasan dan Keadilan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin itu datang untuk menerjemahkan pendekatan ini menjadi gerakan politik praktis dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik.
Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan, Essam el-Erian, salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin, berbicara tentang partainya yang baru, di mana ia menilai bahwa demokrasi, pluralisme, dan suksesi kekuasaan secara damai merupakan konsep dasar didirikannya partai; dan partainya terbuka untuk semua rakyat Mesir tanpa memandang latar belakang pemikiran dan agamanya.
Muhammad Ghanim, juga salah seorang di antara pemimpin Ikhwanul Muslimin di Mesir mengatakan bahwa tuntutan untuk memutus hubungan dengan (Israel) adalah salah, dan itu hanya slogan-slogan semata, karena hal itu justru akan membuat Mesir mundur.
Sementara Kamal Helbawy mantan perwakilan Ikhwanul Muslimin di Eropa dan salah satu tokoh pemimpin terkemuka di Barat menyatakan tentang kemustahilannya penerapan syariah Islam untuk saat sekarang. Ia mengatakan: “Tidak mungkin dapat menerap hudud (hukuman atau sanksi) menurut ketentuan syariah Islam untuk saat sekarang, di masyarakat Muslim manapun, karena penerapannya untuk saat ini bisa memicu keresahan,” katanya.
Ia menambahkan: “Etika Ikhwanul Muslimin yang telah kami pelajari bahwa siapa saja yang menjalankan misi untuk sesuatu yang terbaik, maka mereka adalah para tentara kami, bahkan jika rakyat memilih seorang Kristen untuk menjadi seorang pemimpin, maka saya akan membaiatnya.”
Sedangkan terkait sikap Ikhwanul Muslimim khusus tentang perempuan, ia berkata: “Ikhwanul Muslimin telah membuat kesalahan dalam programnya yang berhubungan dengan perempuan.” Ia mengatakan bahwa “Jika saja Noha El-Zeany-dan ia seorang hakim Mesir-mencalonkan dirinya untuk menjadi presiden, niscaya saya akan membaiatnya.”
Sesungguhnya pernyataan-pernyataan para pemimpin Ikhwanul Muslimin yang fokus pada penolakan terhadap penerapan syariah, hak-hak minoritas, dan pemberdayaan perempuan, sepenuhnya sejalan dengan persyaratan Barat dan Amerika untuk diterimanya rezim pemerintahan manapun di negeri-negeri Islam, di mana Barat menganggap bahwa penerapan syariah merupakan garis merah yang tidak boleh didekatinya. Sebagaimana Barat memandang bahwa pluralisme pemikiran dan politik dalam sistem demokrasi merupakan perkara yang harus dan mengikat bagi keberadaan rezim pemerintahan manapun di negeri-negeri Islam, di samping meraka fokus pada pentingnya emansipasi dan pemberdayaan perempuan, serta kesetaraannya dengan laki-laki, menurut konsep Barat.
Dan persyaratan ini sama persis dengan pernyataan-pernyataan yang selalu dilontarkan oleh para pemimpin Ikhwanul Muslimin. Mereka selalu menyuarakan hal-hal seputar itu, dan menyuarakan persetujuannya untuk terikat dengan hal-hal tersebut. Sungguh semua ini merupakan bentuk sambutan Ikhwanul Muslimin untuk beraktivitas dan terlibat dalam panggung politik yang lebih mengutamakan restu Amerika.
Mungkin ini yang dimaksud oleh situs “Islammemo”, yang mengutip dari seorang penulis Inggris Tariq Ali dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di surat kabar Inggris “The Guardian” bahwa “Perundingan antara Amerika Serikat dan Ikhwanul Muslimin di Mesir masih terus berlangsung di belakang layar.” (hizb-ut-tahrir.info, 5/5/2011).
Muslim yang mukhlis dan cerdas tidak akan tertitu dengan tipu daya AS
Astaghfirullah… IM tak layak disebut sebagai gerakan Islam. Pantas rusak pula kelompok2 di indonesia yg menirunya
harokah/hizbun yg mabda’i/ideologis tdk akan m’gadaikan aqidahx apalagi harokah Islam
Astaghfirullah..memang, kekeliruan dalam pemikiran dan method sebuah partai, cepat atau lambat ,tentu kan menghancurkan diri partai itu sendiri.