Bertakwa dan Berkata Benar


Oleh: Rokhmat S. Labib

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (TQS al-Ahzab [33]: 71).

Lidah tak bertulang. Ungkapan ini biasa digunakan untuk menggambarkan betapa mudahnya orang untuk berbicara. Padahal, meskipun terasa ringan, setiap kata yang keluar darinya, mendatangkan konsekuensi. Bahkan konsekuensinya kadang tidak ringan. Maka lidah bagaikan pisau bermata dua. Bisa menjadi senjata yang menyelamatkan pemiliknya atau berbalik menikam pemiliknya. Inilah yang banyak tidak sadari orang.

Agar tidak salah mengeluarkan perkataan, ayat ini penting untuk dijadikan sebagai panduan.

Perintah Bertakwa dan Berkata Benar

Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [i]ttaqûl-Lâh (hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah). Seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan [i]ttaqûl-Lâh (bertakwa kepada Allah). Secara bahasa, al-taqwâ berarti menjadikan diri dalam perlindungan dari segala yang menakutkan. Oleh karena itu, al-taqwâ terkadang bermakna al-khawf, seperti dalam firman-Nya: Wa [i]ttaqû al-nâr al-latî u’iddat li al-kâfirîn (dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir, TQS Ali Imran [3]: 131).

Secara syar’i, al-taqwâ didefinisikan sebagai penjagaan diri dari perbuatan dosa. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Di samping itu, menurut al-Raghib al-Asfahani, juga disempurnakan dengan meninggalkan sebagian perkara mubah.

Dalam Alquran, perintah untuk bertakwa amat banyak. Selain ayat ini, juga dalam QS al-Baqarah [2]: 98, 196, 278, Ali Imran [2]: 130, al-Nisa [4]: 9, dan lain-lain. Bahkan dalam awal surat ini, perintah untuk bertakwa juga ditujukan kepada Rasulullah SAW  dengan firman-Nya: Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik (TQS al-Ahzab [33]: 1).

Kemudian diiringi dengan diperintahkan: wa qûlû qawl[an] sadîd[an] (dan katakanlah perkataan yang benar). Kata al-sadîd merupakan bentuk shifah musyabbahah dari kata al-sadâd. Dalam Mukhtâr al-Shihhah dijelaskan bahwa al-sadâd berarti al-shawâb wa al-qashd min al-qawl wa al-‘amal (ucapan dan perbuatan yang benar dan lurus). Al-Raghib mengatakan, pengertian al-sadâd adalah istiqâmah. Sedangkan menurut al-Syaukani, kata al-sadîd diambil dari kata tasdîd al-sahm (membetulkan anak panah) agar tepat sasarannya.

Dalam konteks ayat ini, sadîd[an] bisa berarti shawâb[an] (benar) sebagaimana dijelaskan Ibnu ‘Abbas. Menurut Qatadah bermakna ‘ad-l[an] (adil). Tak jauh berbeda, al-Hasan menafsirkannya sebagai shidq[an] (jujur). Ada pula yang memaknainya mustaqîm[an] (lurus). Sedangkan menurut ‘Ikrimah, sadîd[an] dalam ayat ini bermakna ucapan lâ ilâha illâl-Lâh. Dengan demikian, perkataan yang diperintahkan keluar dari orang Mukmin adalah qawl[an] sadîd[an]. Yani, perkataan yang benar, adil, jujur, dan lurus. Tentu saja, kriteria, batasan, dan koridornya didasarkan pada Islam. Perintah bertakwa yang disebutkan sebelumnya jelas menunjukkan kesimpulan tersebut.

Sebagaimana dijelaskan al-Syaukani, takwa yang diperintahkan itu meliputi seluruh urusan. Itu artinya, ketaatan kepada perintah dan larangan-Nya mencakup semua hal, dalam perbuatan maupun ucapan. Oleh karena itu, frase qûlû qawl[an] sadîd[an] di sini berkedudukan sebagai ‘athf al-khâsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus kepada yang umum). Penyebutan secara khusus tersebut menunjukkan pentingnya berkata benar bagi kaum Mukmin.

Menurut zhahir-nya ayat ini, perintah berkata benar tersebut berlaku umum untuk semua perkara. Tidak hanya dikhususkan untuk satu jenis perkara. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan al-Sa’di, membaca (Quran), dzikir, amar ma’ruf, nahi munkar, belajar dan mengajarkan ilmu, dll termasuk dalam cakupan qawl[an] sadîd[an]. Demikian juga berdakwah, mendamaikan perselisihan antar Mukmin, dan lain-lain.

Dengan demikian, berkata benar, jujur, adil, dan lurus merupakan karakter setiap Mukmin. Sikap tersebut diambil bukan didasarkan pada nilai manfaat yang akan diperoleh, namun didasarkan kepada ketakwaan. Sehingga, apa pun hasilnya, sikap itu harus dilakukan secara konsisten. Rasulullah SAW bersabda: Katakanlah kebenaran walaupun pahit (HR al-Baihaqi dari Anas).

Selain sebagai perintah berkata benar, ayat ini juga bisa dipahami sebagai larangan berlaku sebaliknya. Sebagaimana perkataan benar dapat mengantarkan pelakunya ke surga, perkataan batil juga bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Sebut saja misalnya syahâdat al-szûr (kesaksian palsu) yang terkategori sebagai dosa besar. Demikian juga dosa besar lainnya, seperti kemusyrikan, menghalangi manusia dari jalan Allah, durhaka kepada orang tua dll, bisa dilakukan oleh lisan. Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang penyebab terbesar yang membawa masuk surga. Beliau menjawab, “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ditanya penyebab terbesar yang membawa manusia masuk neraka, maka beliau  menjawab, “Dua rongga badan yaitu mulut dan kemaluan.” (HR al-Tirmidzi).

Diperbaiki Amalnya dan Diampuni Dosa-dosanya

Terhadap orang yang menjalankan perkara yang diperintahkan tersebut dijanjikan mendapatkan dua perkara. Pertama: yushlih lakum a’mâlakum (niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu). Ishlâh al-a’mâl bisa berarti taufik dan kemudahan yang diberikan Allah SWT terhadap mereka dalam mengerjakan amal shalih. Ibnu Jarir al-Thabari adalah di antara mufassir menafsirkan demikian. Pengertian ini juga sejalan dengan QS al-Lail [92]: 5-6. Bisa pula berarti memperbaikinya dengan menerima dan memberikan pahala kepada mereka. Demikian al-Nasafi dan al-Baidhawi dalam tafsir mereka.

Kedua: wa yaghfir lakum dzunûbakum (dan mengampuni bagimu dosa-dosamu). Artinya, dosa-dosa dimaafkan, kesalahan-kesalahan mereka ditutup, mereka tidak ditimpakan azab. Hal ini juga ditegaskan dalam TQS al-Thalaq [65]: 5. Dua balasan kebaikan itu tentu merupakan seuatu yang menjadi kebutuhan setiap manusia.

Kemudian ditegaskan lagi: wa man yuthi’il-Lâh wa rasûlahu (dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya). Jika dilihat pengertiannya, frase ini memberikan penegasan terhadap perkara yang telah disebutkan sebelumnya. Sebab, ketaatan terhadap Allah SWT dan rasul-Nya merupakan aplikasi riil bertakwa kepada-Nya.

Mereka diberitakan: faqad fâza fawz[an] azhîm[an] (maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar). Menurut Ibnu Manzhur, kata al-fawz berarti al-najâ` wa al-zhafar bi al-umniyah wa al-khayr (selamat dan berhasil  meraih sesuatu yang diharapkan dan kebaikan). Dijelaskan al-Jazairi, kemenangan besar yang dimaksud adalah teraihnya tujuan yang diharapkan. Yakni, selamat dari neraka dan berhasil masuk surga. Tak jauh berbeda, al-Baidhawi mengatakan, di dunia terpuji dan di akhirat berbahagia.

Dalam Alquran, banyak ayat yang menyebut balasan surga dengan berbagai kenikmatan di dalamnya sebagai al-fawz al-‘azhîm. Di antaranya adalah QS al-Nisa’ [4]: 13, al-Maidah [5]: 119, al-Taubah [9]: 72, 89, 100, dll. Juga disebut sebagai al-fawz al-kabîr (lihat al-Buruj [85]: 11).

Inilah kunci sukses bagi setiap manusia yang selamat dan bahagia di dunia dan akhirat: taat terhadap seluruh ketentuan syariah-Nya. Terutama menjaga lisannya agar senantiasa berkata benar! Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.

Ikhtisar:

  1. Kaum Mukmin diperintahkan bertakwa dan berkata benar
  2. Balasan yang dijanjikan kepada mereka yang mengerjakan perintah tersebut: diperbaiki amalnya dan diampuni dosa-dosanya
  3. Orang yang menaati Allah SWT dan rasul-Nya niscaya memperoleh kemenangan besar.

One comment

  1. jun kirigara

    ya Allah masukkanlah kami kepada golongan hamba-Mu yang selalu bertaqwa, serta memiliki lisan yang selalu basah karena zikir, fasih dalam membaca al-quran, lantang menyerukan kebenaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*