Allah SWT menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Ibadah tak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun ‘uqubat (hukum dan peradilan).
Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya.”
Dengan demikian, ibadah pada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Zat yang disembah, yakni Allah SWT, dengan selalu menaati seluruh hukum-hukum-Nya.
Terkait dengan itu, Allah SWT berfirman (yang artinya): “Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka satu rasa keberatan pun terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima putusanmu itu dengan sepenuh hati” (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Ada sejumlah riwayat terkait dengan sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah, yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Baginda Rasulullah SAW dalam suatu perkara. Baginda Rasulullah kemudian mengeluarkan putusan dalam perkara tersebut yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan lalu berkata, “Engkau memenangkan dia karena dia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini (Dikeluarkan oleh Al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa’id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Hibban dalam al-Kabir).
Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada dua orang yang berperkara, yang sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah SAW. Beliau lalu mengeluarkan putusan hukum atas perkara tersebut yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dianggap salah. Namun, orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.” Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?” Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq (untuk meminta putusannya, pen.).” Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra. Beliau lalu berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah SAW.” Namun, pihak yang dikalahkan menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai Umar bin al-Khaththab.” Lalu keduanya menemui Umar ra. Namun, Umar bukan memberikan putusan. Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang itu ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu. Kemudian turunlah ayat di atas.
Riwayat senada dituturkan oleh Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, Umar kemudian berkata, “Begitukah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah SAW.” Lalu turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah sembari memberitahu beliau, “Sesungguhnya Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan Umar.” Karena itulah kemudian Umar disebut dengan al-Faruq (as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur fi Ta’wil bi al-Ma’tsur, III/161-162. Lihat pula: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/260-261).
Jelas, ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah SWT merupakan bukti hakiki keimanan seorang Muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah SWT dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin itu–manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka–adalah ungkapan, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS an-Nur [24]: 51).
Sayangnya, saat ini kaum Muslim berada dalam sistem kapitalis-sekuler dan tidak diatur dengan hukum-hukum Allah SWT. Sistem sekuler, dengan demokrasi sebagai pilar utamanya, terbukti telah menjauhkan kaum Muslim dari ketundukan terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu, mau tidak mau, umat ini harus segera mengenyahkan sistem sekuler dan bersegera menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, tentu dalam institusi Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah kaum Muslim bisa benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah SWT. [] abi
sebuah setegasan yang patut ditiru dari perbuatan umar sang pembeda yang haq dan yang batil…
Aslm.mmg,sistem saat ini tlh mjauhkan kaum muslimin dr keimanan,shgga memperturutkan nfsu dn mncri pmbnaran dlm kemaksiatn.Nauzubbillah min dzalik.wslm
betul bahwa ibadah maknanya begitu luas. tidak sesempit sholat-puasa-zakat saja :-)
sungguh indah ketika islam menjadi sebuah sistem yang diterapkan. membayangkan ketundukan setiap makhluq Allah dalam naungan sistem islam saya sungguh indah. apalagi hal tsb menjadi sebuah fakta. semoga segera, khilafah islamiyah tegak kembali di muka bumi. aamiin