Lembaga dunia sekaliber Dana Moneter Internasional atau International Monetery Fund (IMF) ikut angkat bicara mengenai rencana pemerintah membatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di tengah harga minyak mentah dunia yang semakin melambung.
Senior Resident Representative IMF di Indonesia, Milan Zavadjil, di Jakarta, Selasa, 3 Mei 2011 berpendapat pembatasan BBM bersubsidi di Tanah Air sebenarnya sudah harus ditetapkan sejak dulu. Alasannya, “Langkah-langkah untuk membatasi subsidi BBM diperlukan tidak hanya karena risiko kenaikan harga minyak internasional, tapi pengeluaran itu sangat tidak produktif,” kata Milan Zavadjil di gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa, 3 Mei 2011.
IMF menilai pemerintah Indonesia seharusnya mengalokasikan anggaran subsidi pada hal-hal yang lebih produktif dan memberikan efek berantai bagi masyarakat.
Kendati demikian, Zavadjil menyerahkan sepenuhnya persoalan pembatasan BBM tersebut kepada pemerintah Indonesia. IMF hanya berpesan pemerintah betul-betul serius dan menemukan skema yang efektif untuk menjalankan program tersebut.
Pemikiran mengenai pembatasan BBM bersubsidi belakangan ini memang kembali bergulir setelah sempat tenggelam karena pemerintah memutuskan membatalkan rencana tersebut pada awal April 2011.
Wacana ini semakin berkembang seiring dengan lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan tersebut juga tercermin pada harga Pertamax, yang tidak disubsidi. Per 1 Mei 2011 lalu, Pertamax dipatok pada harga Rp9.050 per liter, atau 2 kali lipat dari harga Premium yang hanya Rp4.500 per liter.
Sebagai perbandingan, meskipun dengan kondisi yang berbeda, lonjakan harga minyak mentah dunia saat ini telah memicu kenaikan harga bensin di Amerika Serikat. Bensin reguler tercatat naik satu sen menjadi US$3,95 per galon atau sekitar Rp8.925 per liter. Harga ini telah naik 32 sen dalam sebulan terakhir.
Sedangkan di Indonesia, tingginya harga minyak mentah dunia hanya memicu kenaikan harga bensin tak bersubsidi seperti Pertamax dan Pertamax plus. Untuk Premium sendiri, pemerintah tetap pada keputusannya untuk mempertahankan harga pada level Rp4.500 per liter.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah kesempatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Mesrenbangnas) Tahun 2012 sempat mengkritisi harga minyak mentah yang meningkat tajam sehingga turut meningkatkan subsidi BBM dan listrik. “Kalau semakin besar akan mengganggu makro ekonomi.”
Presiden meminta seluruh pemimpin di daerah untuk mengupayakan penghematan listrik dan BBM. Bahkan, jika diperlukan, pemerintah daerah (Pemda) bisa saja mengeluarkan peraturan agar konsumsi listrik dan BBM dapat ditekan.
Tidak mau kalah sigap, Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo dalam sebuah kesempatan juga mengutarakan harapannya agar rencana pengaturan konsumsi BBM bersubsidi dapat terealisasi secepatnya. Bahkan, sedikit lebih maju, pemerintah rencananya akan secara bertahap benar-benar akan menghapus produk Premium sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Menkeu beralasan, pembatasan BBM yang terus-menerus ditunda akan mengancam finansial pemerintah dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pernyataan ini lebih keras dibandingkan pernyataan-pernyataan yang selama ini dikeluarkan bekas bos Bank Mandiri tersebut. Sebelumnya, Agus hanya berpendapat anggaran subsidi pemerintah masih bisa diselamatkan dengan program pembatasan BBM bersubsidi.
Walau mundur dari rencana semula yaitu pembatasan BBM bersubsidi untuk wilayah Jabodetabek, Agus kala itu masih berharap program tersebut tetap berjalan dengan cakupan wilayah yang lebih luas pada Juni 2011 ini.
Konsumsi Premium
Hasil kajian oleh Tim Pembatasan BBM yang digawangi oleh tiga universitas ternama di Indonesia, memperlihatkan bahwa kenaikan harga Pertamax menjadi Rp8.000 per liter, secara otomatis membuat 10 persen penggunanya akan beralih mengonsumsi kembali Premium.
Artinya, akan ada peningkatan konsumsi Premium akibat peralihan pengguna Pertamax yang ujung-ujungnya menambah beban subsidi BBM yang semakin membengkak.
Sinyalemen meningkatnya konsumsi Premium sudah terlihat sejak tiga bulan terakhir. Data sementara PT Pertamina (Persero) menunjukkan, selama kuartal I-2011 ini, konsumsi Premium tercatat 3 persen lebih banyak dari kapasitas yang sudah ditetapkan. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan volume BBM bersubsidi sebesar 38,5 juta kiloliter (KL).
BPH Migas juga mencatat penurunan konsumsi Pertamax pada Februari 2011 lalu. Konsumsi BBM non-subsidi ini mencapai 53.054 KL, turun dibandingkan Januari 2011 yang mencapai 62.727 KL.
Sementara untuk konsumsi Premium Februari 2011, BPH Migas mencatat adanya kelebihan kuota dari batas yang telah ditetapkan sebanyak 1,7 Juta KL. Konsumsi Premium pada Februari 2011 mencapai 1,82 juta KL.
Rencana pembatasan BBM subsidi maupun penghapusan Premium memang bukan kebijakan yang bisa diterapkan begitu saja. Pengamat Energi, Pri Agung Rakhmanto, menilai rencana pemerintah menghilangkan Premium sangat tidak masuk akal.
Pri Agung mengatakan, rencana pemerintah menekan subsidi BBM melalui larangan penggunaan Premium bagi kendaraan pelat hitam saja maju-mundur tak jelas. Apalagi harus menghilangkan subsidi dan menghapus Premium. “Ini sangat berat tantangannya,” tegas Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini.
Apalagi, infrastruktur bahan bakar minyak tak bersubsidi di wilayah Indonesia sangat buruk. Misalnya, ketika dahulu ada rencana pengalihan Premium ke Pertamax bagi mobil pribadi di Jabodetabek, banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tak siap. Puluhan SPBU harus menambah investasi lagi agar bisa menjual Pertamax. (vivanews.com, 3/5/2011)