Dubai: Fatamorgana Padangpasir

Dubai dianggap sebagai salah satu tujuan wisata paling diinginkan oleh kaum Muslim dan non-Muslim. Dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang menjulang tinggi, mal-mal mewah, padang pasir yang luas, pantai putih yang  bersih dan makanan halaal, Dubai telah menjadi tujuan wisata yang diimpikan untuk berlibur dan bagi sebagian orang untuk bertempat tinggal secara permanen. Dengan banyak selebriti, orang-orang seperti almarhum Michael Jackson, Beckham dan keluarganya, Brad Pitt, Mariah Carey dan Claudia Schiffer semuanya tinggal di Dubai, daya tariknya semakin tumbuh. Keberhasilan Dubai telah menyebabkan banyak orang mendukungnya sebagai bentuk baru pembangunan ekonomi, dengan pendekatan khas Islam.

Saya baru-baru memiliki kesempatan untuk mengunjungi Dubai dan waktu saya di sana memberi saya banyak hal untuk direnungkan. Salah satu aspek yang langsung menyapa setiap pengunjung adalah surealisme murni negara. Pemandangan yang umum termasuk mobil-mobil baru yang mengkilap yang baru keluar dari pabrik, jalan-jalan yang bersih, orang-orang yang terus menerus berbelanja sepanjang hari dan malam dan seterusnya. Outlet-outlet Starbucks yang lebih banyak dari yang anda bayangkan. Hal ini seolah-olah memberikan kesan seseorang telah tiba di sebuah planet baru dimana tidak ada kemiskinan, depresi, kelaparan atau penindasan. Namun saya menemukan perasaan yang janggal bahkan tidak menyenangkan karena semua pelarian ini hanya untuk mengabaikan ketakutan yang ditimpakan kepada ummat Islam hanya beberapa mil jauhnya. Dunia Muslim meletus dalam revolusi dan kebangkitan politik, sementara para pembeli sibuk mencari apa warna kristal Swarovski untuk dipakai pada jilbab mereka.

Visi Dubai sebagai ‘tanah yang dijanjikan’ yang telah dicanangkan adalah apa yang menarik para wisatawan, ekspatriat dan buruh. Para penguasa Dubai tersebut dianggap telah memberikan pelayanan kelas utama dalam hal bagaimana mengembangkan ekonomi dari yang tadinya hampir tidak ada. Mereka menggunakan pendapatan minyak mereka untuk bisa membuat sebuah pelabuhan dan zona perdagangan bebas, dengan meyakini bahwa negara kecil mereka itu bisa menjadi pusat bisnis jika mereka menciptakan kondisi yang tepat. Bagi banyak orang hal ini merupakan suatu langkah yang cerdas. Maskapai penerbangan Emirates, mendukung peran pusat bisnis ini dan menjadi banner iklan terbaik yang mobile. Dubai dianggap sebagai keajaiban ekonomi. Perkembangan ekonomi yang pesat ini menarik perusahaan-perusahaan terbesar di dunia, institusi keuangan, banyak selebriti dan tenaga kerja murah dari Timur. Hal ini menyebabkan populasi orang-orang asing menjadi penduduknya yang merupakan lebih dari 80% dari 2,2 juta penduduk Dubai.

Pencarian untuk pekerjaan menyebabkan banyak orang dari Filipina, Bangladesh dan Pakistan tiba di pantai Dubai. Saat ini mereka bekerja dalam kondisi dimana lembaga HAM menggambarkannya sebagai ‘tidak cocok bagi manusia’. Kisah tentang kondisi kesehatan yang buruk dan keselamatan para pekerja yang vital itu terlalu umum didengar. Kalau kita berjalan diantara gedung-gedung baru yang sedang dibangun ini kita akan melihat para pekerja bangunan yang sedang bekerja dalam panas terik. Hal ini jelas bagi semua orang yang mengunjungi Dubai bahwa pemerintah tidak memperdulikan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Krisis ekonomi global yang dimulai pada tahun 2008 menghantam keras Dubai. Negara padang pasir itu tergantung pada bakat dan keahlian entitas asing bagi kelangsungan hidupnya. Negara hanya bisa menawarkan layanan khusus seperti perbankan dan keuangan sebagai alat untuk menjamin masa depannya, bersama dengan pariwisata. Karena sektor-sektor ini sangat bergantung pada niat baik dan kepercayaan orang-orang asing, ketika krisis terjadi, investasi asing menjadi kering, perusahaan-perusahaan asing mulai merelokasi usahanya dan pemerintah Dubai gagal melakukan pembayaran utang.

Wisatawan menghilang dalam semalam dan banyak proyek konstruksi yang berhenti dan terancam hancur. Tanpa uang dan tanpa pekerjaan, ribuan pekerja buruh dibiarkan miskin, sebagian mereka begitu putus asa sehingga mau melakukan bunuh diri. Pemerintah Dubai tidak melakukan apa pun untuk membantu orang-orang  tersebut.

Bagi mereka yang cukup beruntung untuk menjadi  warga negara Emirat atau orang-orang asing yang berada di Dubai adalah karena mereka lah yang menghidupi kehidupan Dubai dengan mobil-mobil besar yang mengkilap, restoran-restoran dan apartemen-apartemen mewah. Salah satu isu yang mengejutkan saya adalah kehidupan monoton dari sebagian besar penduduknya. Hidup di Dubai adalah perjuangan untuk mengisi waktu dan mencari cara yang selalu baru untuk menghabiskan uang. Kaum pemuda adalah contoh yang baik atas hal ini. Adalah pemandangan umum jika seorang berjalan di sepanjang bagian depan tepi laut dimana para pemuda mengendarai mobil-mobil sport, memainkan suara mesin mobil mereka untuk menarik gadis-gadis, suara live music yang keras, restoran-restoran yang padat dan tempat-tempat parkir penuh pemuda yag menampilkan mobil mereka yang penuh aksesori, sambil menonton iklan computer game baru dengan suara keras yang ditampilkan di layar proyektor. Untuk para pemuda kaya, hanya sedikit waktu yang harus dilakukan kecuali untuk bersosialisasi, berbelanja dan menghiasi mobil-mobil mereka. Sementara Dubai dapat dianggap sebagai sebuah dunia yang terpisah dari realitas dan merupakan  realitas  palsu di padang pasir.

Ada banyak masjid di Dubai, fasilitas kolam renang yang terpisah antara laki dan perempuan dan jelas ketidaksukaan ata hubungan di luar pernikahan. Sebagai seorang wanita saya tidak merasa direndahkan pada lingkungan dengan atmosfir Barat dan merupakan perubahan yang di sambut bisa disambuk baik. Pada saat waktu shalat para perempuan yang  berjilbab dan yang tidak berjalan ke mushola-mushola di mal, yang saya senang melihatnya adalah karena ini masih menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Emirat.

Namun disinilah tempat di mana Islam juga berhenti. Selain Shalat, sangat sedikit hal yang bisa menandai Dubai sebagai masyarakat Islam. Sementara atau Abayah merupakan hal yang biasa, ini jelas merupakan aspek budaya kehidupan orang Emirat karena mereka terlihat dengan makeup yang berlebihan, wangi parfum yang kuat dan warna-warni baju semua jelas dipamerkan. Sayangnya jilbab telah menjadi seragam jalan. Saya sangat terkejut dan bingung karena menemukan perempuan-perempuan di Emirat yang memakai jilbab tapi  tidak menutup kepala!

Aspek lain yang mengkhawatirkan adalah usaha Dubai untuk menawarkan gaya hidup Barat dengan rasa Timur bagi semua orang. Hal ini mendorong pihak berwenang untuk mengubah cara lain ketika banyak wisatawan mau memanjakan diri dalam kegiatan-kegiatan non-Islam. Meskipun tinggal di sebuah hotel di Dubai, para wisatawan barat bisa minum alkohol dan mengunjungi klub-klub malam. Hubungan antara pasangan yang belum menikah diperbolehkan untuk dilakukan secara terbuka selama pihak berwenang tidak mengetahui kegiatan mereka. Pada bulan Januari 2010, seorang perempuan Muslim Inggris yang mengklaim bahwa dia telah diperkosa pada waktu malam, ditangkap ketika mengajukan tuntutannya setelah dia ditemukan telah meminum alkohol dan punya pacar denganya dia telah berhubungan suami istri.

Jauh dari citra model pemerintahan Islam, Dubai realitasnya adalah tiruan murahan dari gaya hidup barat sementara mencoba untuk berpegang pada praktek-praktek Islam yang aneh. Upaya mereka untuk meniru Barat telah mengakibatkan dilusi identitas Islam mereka. Upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi menjadikan Dubai beralih ke ekonomi yang didorong hutang, yang pada saat ini sedang bertekuk lutut.

Jika Dubai mewakili sesuatu  maka kenapa seseorang  tidak boleh membangun sebuah bangsa.

Sumber: khilafah.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*