Berpotensi Melahirkan Rezim Represif

Rancangan undang-undang (RUU) intelijen mendapat perhatian khusus berbagai kalangan. Tak terkecuali Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Lampung. Mereka menilai dalam RUU itu terdapat sejumlah pasal yang bila tidak diwaspadai bisa melahirkan kembali rezim represif lebih dari rezim Orde Baru.

’’Pertama, ada kalimat atau frase yang tidak didefinisikan dengan jelas sehingga berpeluang menjadi pasal karet, seperti frase ancaman nasional dan keamanan nasional.  Juga  frase musuh dalam negeri, tidak jelas siapa dan apa kriterianya. Rumusan yang tidak jelas, kabur, dan cenderung multitafsir ini sangat mungkin disalahgunakan,” kata Humas DPD 1 HTI Lampung Akhiril Fajri kemarin ketika ditemui di sekretariat HTI Lampung, Jl. Pahlawan No. 100, Kedaton, Bandarlampung.

’’Bisa jadi, sikap kritis atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih mengancam keamanan nasional dan stabilitas serta dianggap musuh dalam negeri,” tambahnya.

Kedua, sambung Akhiril, pada pasal 31 disebutkan lembaga intelijen memiliki wewenang untuk melakukan intersepsi (penyadapan) terhadap komunikasi atau dokumen elektronik serta pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat terkait kegiatan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan lain yang mengancam keamanan nasional. ’’Penyadapan bisa dilakukan tanpa ketetapan ketua pengadilan. Penyadapan tanpa izin pengadilan akan menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, bisa menyebabkan terjadinya penyadapan secara liar. Ini mengancam hak privasi warga,” terangnya.

Lebih berbahaya lagi, lanjut Akhiril, tidak disebutkan siapa yang berwenang memutuskan penyadapan.

Ketiga, dalam RUU itu diusulkan pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan intensif paling lama 7 × 24 jam. Usulan itu sama saja memberi wewenang pada BIN untuk menciduk orang yang dicurigai tanpa surat perintah. ’’Lalu, apa bedanya dengan penculikan? Jika usulan itu digolkan, akan lahir kembali rezim represif,” tandasnya.

Menurut Akhiril, intelijen memang diperlukan dalam sebuah negara. Tapi, bukan untuk memusuhi rakyat. Juga tidak boleh menjadi alat kekuasaan demi kepentingan mengamankan status quo. ’’Apalagi jika intelijen digunakan untuk memberangus setiap usaha memperjuangkan syariah Islam,” tegasnya. (radarlampung.co.id, 23/5/2011)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*