Oleh: Hafidz Abdurrahman
Praktik politik uang (money politic) berkembang dan marak dalam sistem politik oportunistis. Sistem politik yang jauh dari pondasi agama, alias sekuler. Sistem politik yang lahir dari cara pandang benefit (asas manfaat), di mana untung dan rugi merupakan satu-satunya standar dalam berpolitik. Untuk meraih benefit (keuntungan), segala cara pun dihalalkan, asal tujuan tercapai.
Dalam landscape politik seperti itu, para politikus tidak pernah berpikir bagaimana mengurus urusan umat. Karena itu, mereka tidak pernah hadir di tengah-tengah umat, ketika mereka dibutuhkan. Mereka pun jauh dari umat. Mereka baru mendekat, atau tepatnya mendekati umat, ketika mereka membutuhkan umat untuk kepentingan politik mereka. Karenanya, aceptabilitas (penerimaan) mereka di tengah-tengah umat pun rendah. Demikian juga elektabilitas (keterpilihan) mereka.
Namun, alih-alih mereka memerhatikan dan mengurus kepentingan umat dengan tulus, yang dengan begitu aceptabilitas dan elektabilitas mereka bisa naik, justru mereka lebih memilih jalan pintas. Pada saat seperti itu, mereka pun menyogok umat dan siapapun yang bisa disogok dengan uang najis para politikus oportunistis itu. Umat yang hidup dalam kultur politik yang korup dan kesulitan ekonomi pun tidak jarang yang akhirnya ikut menikmati uang najis itu. Karenanya, terjadilah patgulipat, alias simbiosis mutualisme.
Landscape dan kultur politik seperti inilah yang berkembang dalam sistem politik kapitalis. Selama pondasi, standar dan cara pandang politiknya masih dibangun berdasarkan sekularisme dan asas manfaat, selama itu pula landscape dan kultur politik seperti ini akan terus hidup dan tumbuh subur. Untuk menghentikan praktik politik seperti ini, yang dibutuhkan bukan hanya sekadar reformasi, tetapi perubahan mendasar. Akidah sekuralisme, yang menjadi pondasi politik oportunistis harus dibuang, diganti dengan Islam. Demikian pula, standar dan cara pandang benefit, harus dibuang jauh-jauh, diganti dengan halal-haram. Praktik menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan juga harus dihilangkan, diganti dengan keterikatan pada hukum syariah. Inilah perubahan mendasar yang dibutuhkan dan harus dilakukan.
Pertanyaannya kemudian, apa jaminannya jika Islam diterapkan, landscape dan kultur politik yang korup, termasuk politik uang (money politic) bisa dihilangkan? Jawabannya, pertama, jaminan itu ada pada akidah Islam yang menjadi pondasi kehidupan, termasuk sistem politik. Akidah Islam menjadikan setiap pemeluknya mempunyai ketakwaan kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga muncul self control (control pribadi) di dalam diri mereka. Dengan ketakwaan yang sama, masyarakat juga memiliki social control, sehingga kewajiban amar makruf dan nahi munkar bisa berjalan dengan baik dan efektif di tengah-tengah masyarakat. Dengan akidah Islam pula, tidak ada satu pun hukum yang dijalankan oleh negara, kecuali hukum Islam. Negara pun tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum terhadap seluruh rakyat. Karena itu, dengan ketiga faktor ini, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan negara yang konsisten menegakkan hukum Islam, maka satu-satunya kultur yang tumbuh dan berkembang adalah kultur yang baik dan sehat.
Ketika Abu Hurairah diutus oleh Nabi SAW selaku kepala negara untuk mengambil jizyah dan kharaj dari warga Yahudi, mereka pun berusaha menyuap utusan Nabi tersebut dengan mengumpulkan perhiasan istri-istri dan anak-anak mereka. Mereka mengatakan, “Kami telah mengumpulkan perhiasan ini dari istri-istri dan anak-anak perempuan kami untuk Anda, agar Anda bisa mengurangi jumlah pungutan yang Anda ambil dari kami.” Dengan tegas, Abu Hurairah pun menolak, seraya berkata, “Celakah kalian wahai bangsa Yahudi. Karena tindakan kalian, Allah telah melaknat kalian melalui lisan Nabi Dawud.” Ketika mendengar jawaban Abu Hurairah itu, mereka menyatakan, “Andai saja para pejabat negara seperti Anda, niscaya langit dan bumi ini akan tetap tegak selamanya.” Abu Hurairah bisa seperti itu karena ketakwaan pribadinya, sehingga self control-nya begitu kuat, dan tidak mempan disuap.
Ketika Khalifah Mu’awiyah melaknat Imam ‘Ali di mimbar-mimbar masjid, Asma’ binti Abu Bakar, mendatanginya dan menasihatinya agar tidak melakukan tindakan tidak etis itu. Bukan hanya Asma’, jamaah pun meninggalkannya agar tidak mendengarkannya melaknat ‘Ali (al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, 155). Ketika Khalifah Ja’far bin al-Manshur berangkat haji dari Baghdad ke tanah suci dengan menyertakan rombongan, maka seorang ulama berdiri menasihatinya seraya mempertanyakan dana yang digunakan sang khalifah untuk memberangkatkan mereka. Ulama itu adalah Sufyan as-Tsauri (Ibn Qutaibah ad-Dainuri, al-Imamah wa as-Siyasah, Juz II/172). Seorang raja ulama sekelas Izzuddin bin Abdussalam, ketika melihat kesalahan penguasa dalam kebijakan politik mereka, tidak segan-segan untuk membeberkan dan mengoreksi kesalahan tersebut di mimbar-mimbar khutbah. Ketika ditanya oleh muridnya, apakah ia tidak khawatir dengan tindakannya? Dengan tegas ia menyatakan, “Ketika Allah telah aku hadirkan dalam diriku, maka penguasa itu di mataku, ibarat seekor kucing.” (Fauzi Sinnuqarth, Taqarrub Ila-Llah, hal. 161) Sekali lagi, ketakwaanlah yang membentuk social control dalam diri Asma’, Sufyan as-Tsauri dan Izzuddin Abdussalam.
Ini hanya sekelumit contoh, bahwa Islam merupakan jaminan tumbuh dan berkembangnya landscape dan kultur politik yang bersih di tengah-tengah masyarakat. Selain ketiga faktor di atas, Islam juga mempunyai mekanisme yang jelas sehingga praktik-praktik politik yang kotor dan korup itu bisa dibersihkan.
Islam, misalnya, dengan tegas mengharamkan praktik suap, penyuap (ar-rasyi), penerima suap (al-murtasyi) dan perantara/broker (ar-ra’is bainahuma). Bukan hanya suap yang diharamkan, tetapi hadiah yang diberikan kepada penguasa juga diharamkan. Selain mengharamkan praktik suap dan hadiah, Islam juga menutup celah tumbuh dan berkembangnya praktik kotor seperti ini. Karena umumnya praktik suap dan hadiah ini terkait dengan kepentingan (kemaslahatan) penyuap yang hendak dipenuhi, sementara aspek ini terkait dengan urusan administrasi dan birokrasi, maka Islam pun membangun administrasi dan birokrasinya dengan tiga prinsip dasar: (1) birokasi yang sederhana (basathah fi an-nidzam); (2) cepat proses dan penyelesaiannya (sur’ah fi injaz); (3) ditangani oleh orang cakap dan bertakwa (‘Abd al-Qadim Zallum, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, hal. 211-213).
Selain ketiga ciri di atas, birokrasi dan administrasi negara juga tidak bersifat sentralistik, tetapi desentralistik. Di tiap kota kecil atau besar ada biro administrasi, yang memungkinkan penduduk setempat untuk menyelesaikan urusan administrasi cukup di tempatnya, tidak perlu harus merujuk ke pusat. Manajemennya pun berkembang mengikuti perkembangan sarana dan prasarana, atau teknologi mutakhir. Tidak hanya itu, biro-biro ini juga dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah dan cakap (Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islam, hal. 86).
Dengan sistem seperti itu, celah dan peluang terjadinya praktik suap dan korupsi bisa ditutup rapat-rapat. Jika seluruh celah dan peluang tersebut tidak ditutup, tetapi masih nekat melakukan korupsi, maka hukum akan ditegakkan dengan tegas, tanpa pandang bulu. Islam pun menetapkan ta’zir, sebagai bentuk sanksi yang diberlakukan kepada mereka, di mana kadar dan beratnya akan ditetapkan oleh hakim.
Dengan semuanya itu, maka masyarakat pun bersih dari landscape dan kultur politik yang korup dan kotor, yang bukan saja membahayakan pelakunya, tetapi juga sendi-sendiri kehidupan masyarakat, bisa dibersihkan sebersih-bersihnya. Namun, semuanya itu hanya bisa diwujudkan dalam sebuah negara yang bernama Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah negara yang diidam-idamkan oleh setiap orang Mukmin. Wallahu a’lam.
Syariah numero uno. Kapitalisme demokrasi hanya menghasilkan penguasa-penguasa korup, dari hulu sampai hilir sebagian besar semuanya korup. Hanya dengan syariah dan khilafah Indonesia menjadi baik.