Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang peran kesatuan ibadah yang disiapkan oleh Dewan Menteri Mesir menuai kecaman dari berbagai kalangan, termasuk para pengacara dan ahli hukum. Mereka menegaskan bahwa penerapan undang-undang ini akan mengancam perdamaian sosial, dan menghancurkan persatuan nasional di tengah berkobarnya fitnah (kekerasan) sektarian.
Menurut para pengacara anggota asosiasi pengacara, bahwa RUU ini melanggar konstitusi dan kaidah keadilan yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. RUU ini juga akan mengancam perdamaian sosial dan persatuan nasional.
Sehingga mereka menuntut penghapusan undang-undang ini, dan menyelidiki semua orang yang berkontribusi dalam penyusunannya. Di mana seorang pengacara, Mamduh Ismail menilai undang-undang sangat tidak sesuai dengan kaidah keadilan yang paling sederhana.
Ismail mengatakan bahwa Kairo telah dikenal sebagai kota seribu menara, dan membiarkan gereja berdiri di sebelah masjid tertua dan pertama, yaitu masjid Amr bin al-Ash. Ini menunjukkan toleransi Islam yang begitu besar. Di Mesir belum pernah selama 14 abad ada undang-undang yang membatasi jumlah masjid, dan mencegah kaum Muslim shalat ke masjid, seperti yang ada dalam undang-undang—yang diselimuti kecurigaan—ini.
Undang-undang Fitnah
Ismail mengatakan kepada Aljazeera Net bahwa undang-undang ini menciptakan fitnah (perselisihan dan kekerasan) sektarian. Jika itu terjadi di Mesir, maka akan menjadi pintu intervensi asing yang akan membagi Mesir dan mewujudkan tujuan Zionisme.
Ia mengecam standar aneh yang diambil undang-undang ini, untuk memberikan ijin pembangunan masjid dan gereja jika ada jarak satu kilometer antara satu rumah ibadah dengan yang lainnya. Sementara standar internasional hak asasi manusia dalam penyediaan bangunan (rumah) ibadah berdasarkan kepadatan dan jarak yang dibutuhkan oleh masing-masing individu.
Ia berpendapat bahwa jarak satu kilometer persegi di desa-desa, dan daerah padat penduduk yang sangat besar, yang diperkirakan jumlahnya ribuan, sehingga tidak cukup dengan satu rumah ibadah saja. Lalu, ia mepertanyakan: “Di mana puluhan juta kaum Muslim akan mendirikan shalat?” Apakah dibenarkan mereka mendirikan shalat di jalan-jalan. Sementara kaum Kristen dapat berdoa di gereja-gereja mereka dalam keadaan tenang dan yaman!”
Ismail menambahkan bahwa Departemen Perhubungan membuat jarak antara satu halte bis dengan halte yang lain tidak lebih dari 500 meter, karena jarak itu dianggapnya sebagai jarak yang sangat jauh bagi individu untuk berjalan kaki. Lalu bagaimana dengan jarak antara masjid 1000 meter, padahal ada anak-anak, lansia dan orang sakit yang ingin mendirikan shalat di masjid sesuai dengan keyakinan agama mereka. Sehingga, menurut undang-undang—yang diselimuti kecurigaan—ini, siapa saja yang ingin mendirikan shalat di masjid harus menempuh jarak 10.000 meter setiap hari pulang pergi.
Dan menurut RUU ini, satu orang Kristen yang tinggal satu daerah berhak mendirikan gereja selama gereja itu terletak pada jarak satu kilometer. Sedangkan dengan jarak yang sama, dimana di daerah itu tinggal ribuan kaum Muslim tidak bisa membangun masjid yang lain.
Bahkan, dalam pandangan Ismail undang-undang ini akan memungkinkan pembangunan puluhan ribu gereja. Sementara puluhan juta kaum Muslim dilarang membangun masjid dan memaksa mereka untuk mendirikan shalat wajib di jalan-jalan seperti yang terjadi dalam pelaksanaan shalat Jum’at, terutama karena terlalu sesak masjid di kebanyakan daerah. Dan kesulitan lainnya, bahwa untuk membangun masjid membutuhkan biaya jutaan pound yang sulit dikumpulan manyoritas kaum Muslim, akibat politik zalim Hosni Mubarak yang membuat miskin kaum Muslim di Mesir (aljazeera.net, 9/6/2011).