Pengalaman Mengelola Pluralitas

Ayik Heriansyah (DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Babel)
* dimuat di harian BangkaPos, 30/11/2007

Keragaman agama (pluralitas) adalah realitas yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan. Karena pluralitas adalah sunnatullah yang mesti dikelola dengan benar agar membawa kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan manusia. Bukan malah dijadikan alasan untuk membuat kerusakan dimuka bumi. Pluralitas tidak sepatutnya menjadi kambing hitam konflik antarumat beragama.

Pengalaman peradaban manusia dalam menyikapi pluralitas ini berbeda-beda. Tulisan ini akan membandingkan pengelolaan pluralitas oleh ideologi Islam dan kapitalisme barat. Dipilih Islam karena dianut mayoritas orang di negeri ini, sedangkan kapitalisme karena secara praktis berkuasa di dunia sekarang.

Peradaban Islam mencatat pengalaman yang mengesankan dalam mengelola pluralitas. Dari sejak awal agama ini mewujud dalam sebuah Negara (Daulah Islamiyah) di Madinah, Rasulullah Muhammad Saw telah membuat perjanjian untuk mengelola pluralitas agar tercipta kerukunan dan keharmonisan kehidupan di Madinah. Perjanjian ini yang dikenal dengan nama Piagam / Konstitusi Madinah. Secara sosiologis saat itu di Madinah terdiri komunitas Muslim, komunitas Yahudi dan orang-orang musyrik. Salah satu isi perjanjian itu berbunyi: “Bahwa bangsa yahudi dari bani ‘Auf merupakan sebuah umat bersama orang-orang yang beriman (muslim), bagi bangsa Yahudi agama mereka dan bagi umat Islam agama mereka….” Piagam Madinah ini merupakan pengakuan secara de jure Islam atas eksisitensi komunitas Yahudi dan otonomi keagamaannya. Robert N Bella Sosiolog Amerika dalam buku Beyond Belief mengatakan, konstitusi Madinah ini “terlalu modern untuk ukuran zamannya.”

Ketika wilayah daulah Islam meluas sampai ke Najran yang dihuni umat Kristen, negara Islam menjadi lebih pluralistik. Umat Kristen Najran tetap memeluk agamanya lalu Muhammad Saw memperlakukan mereka sama seperti Yahudi yaitu diberikan kebebasan beragama dan status otonomi untuk mengatur urusan keagamaan mereka. Sikap politik Muhammad Saw ini termaktub dalam perjanjian dia dengan suku Najran yang berbunyi: “Suku Najran dan sekitarnya mendapat perlindungan Allah dan tanggungan Nabi Muhammad Rasulullah, atas diri mereka, agama, tanah, harta, yang hadir dan tidak hadir, rumah-rumah peribadatan dan salat-salat mereka. Mereka tidak berhak mengubah seorang uskup dari keuskupannya dan seorang pewakaf dari wakafannya, juga segala sesuatu yang ada di bawah kekuasaan mereka, sedikit maupun banyak….Apabila diantara mereka menuntut suatu hak, maka diantara mereka berlaku keadilan tidak ada yang menzalimi dan dizalimi…Tidak seorangpun dituntut atas kesalahan pihak lain. Perjanjian ini menjadi tanggungan Allah dan Rasul-Nya selamanya hingga Allah memutuskan ketentuan-Nya dengan syarat jika mereka tulus dan setia terhadap kewajiban mereka…”

Perjanjian-perjanjian sejenis juga dibuat Rasulullah Muhammad Saw kepada komunitas non Islam lainnya seperti dengan Bani Junbah di teluk Aqaba, Bani Ghadiya, Yahudi Bani Uraid, penduduk Jarba dlll. Sikap toleran Islam terhadap non Islam pasca Rasulullah Muhammad Saw dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Dalam bentangan wilayah Khilafah yang demikian luas (2/3 dunia), semua gereja, sinagog dan kuil masih utuh sampai sekarang. Khilafah di Spanyol membuat peradaban Islam, Kristen dan Yahudi mencapai puncaknya. Karena itu, Khilafah di Spanyol terkenal dengan sebutan “negara tiga agama.” Komunitas-komunitas Kristen di Arab, Yahudi di Arab, Hindu di India sampai sekarang masih eksis walaupun selama 1300 tahun mereka hidup dalam naungan Khilafah yang menerapkan syariah.

Lalu bagaimana pengalaman ideologi kapitalisme dalam mengelola pluralitas. Jika akhir-akhir ini pluralitas menjadi masalah maka bisa dipastikan bahwa pasti bukan karena Islam. Sebab konflik-konflik yang terjadi bukan dalam daulah Islamiyah (mengingat negara Khilafah sudah runtuh 83 tahun yang lalu) dan bukan karena diterapkannya syariah (sekarang tidak ada negara yang menerapkan syariah secara total). Konflik antarumat beragama yang terjadi antara Kristen – Islam ( di Ambon, Poso, Irak, Afghanistan, dll), Yahudi – Islam (di Palestina), Hindu – Islam (di India), Budha – Islam (di Thailand) bukan inisiatif dari umat Islam. Bahkan dalam hal ini umat Islam selalu menjadi objek (korban).

Konflik antarumat beragama pada dekade ini terjadi dalam negara yang menerapkan ideologi kapitalisme. Ini menunjukkan kegagalan ideologi kapitalisme dalam mengelola pluralitas. Kita bisa lihat fakta pembunuhan ratusan ribu muslim di Irak dan Afghanistan oleh tentara yang mayoritas beragama Kristen yang dipimpin AS. Pembunuhan yang dilakukan tentara Yahudi atas orang Islam di Palestina. Pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw oleh koran Denmark, penyerangan terhadap muslim setelah shalat Idul Fithri di Ambon serta penyerangan terhadap pesantren di Poso dan masih banyak lagi fakta-fakta ketidakmampuan ideologi kapitalisme mengelola pluralitas.

Kegagapan ideologi kapitalisme terhadap pluralitas juga tampak dalam perkataan pemimpin-pemimpin Barat. Dengan menunjuk para pelaku peledakan Bom London, Juli 2005, mantan PM Inggeris, Tony Blair, menyatakan seraya mendefinisikan pemikiran mereka sebagai Pemikiran Barbar. Dia tidak hanya berhenti sampai di situ. Blair, bahkan kemudian menambahkan, “Perundang-undangan syariah di dunia Arab akan mengantarkan terbentuknya satu keKhilafahan untuk seluruh umat Muslim.” Menteri Dalam Negerinya yang kala itu adalah Charles Clark pun ikut memberikan pernyataan, dalam dialognya dengan para pemikir Amerika sayap kanan, Heritage Foundation, “Kita tidak akan pernah mentolelir apapun perbincangan tentang pendirian Khilafah. Kita juga tidak akan mentolelir apapun perbincangan tentang wajibnya perundang-undangan (hukum) syariah.” George W. Bush telah mengomentari topik tersebut seraya menyatakan, “Mereka mengharapkan berdirinya entitas politik yang sadis di Timur Tengah, yang mereka sebut Khilafah. Mereka ingin memerintah semua orang dengan ideologi kebencian ini.” Pada Juli 2007, Menteri Pertahanan Inggeris yang baru, Lord Wist, saat menceritakan para pelaku yang berusaha meledakkan mobil di London, telah menyatakan, “Mereka adalah kaum Rasis dan Puritan. Mereka sedang mencari kekuatan. Mereka adalah orang-orang yang gila harta, dan selalu berbicara tentang Khilafah.” (Leaflet HT Britain 21/08/2007)

Kalau kita cermati, paling tidak, selama ini ada dua “peluru” yang sengaja dibidikkan oleh kapitalisme kepada Islam dan kaum Muslim. Pertama, melemparkan stigma (cap) buruk bahwa kaum Muslim selalu identik dengan kaum teroris yang layak untuk selalu dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik, kerusuhan, ataupun tindakan teror yang terjadi sehingga mereka dipandang layak pula untuk dijadikan sasaran pertama yang harus diburu dan diperangi. Demikian yang dilakukan AS dan Barat pasca Tragedi WTC September 2001 lalu, meskipun sampai saat ini tidak terbukti bahwa pelakunya dari kalangan Muslim. Kedua, melemparkan gagasan bahwa Islam adalah agama damai yang tidak pernah mengenal kekerasan fisik, termasuk jihad (perang fisik). Hanya saja, untuk menimbulkan kesan bahwa mereka masih mengakui konsep Islam tentang jihad, mereka tetap menggunakan kata ini, tetapi setelah disimpangkan maknanya hanya sekadar “memerangi hawa nafsu”, atau paling banter hanya sebagai “perang untuk membela diri.” Karena Islam sudah dikesankan sebagai agama yang tidak mengenal “kekerasan”, maka kaum Muslim, secara sadar ataupun tidak, telah dipaksa untuk selalu bersikap lemah lembut dan tidak boleh mengadakan kekerasan (baca: perlawanan) fisik-termasuk jihad (perang fisik)-karena kekerasan fisik bukan bersumber dari Islam; meskipun pada saat yang sama mereka diperlakukan seperti “anjing kurap”-diburu, disekap, disiksa, dan dibantai tanpa pernah ditunjukkan kesalahannya. Inilah yang dialami kaum Muslim di Afganistan dan sejumlah tempat lain yang menjadi korban dari apa yang disebut sebagai “perang melawan terorisme”, yang pada dasarnya merupakan “perang terhadap kaum Muslim.”

Pengalaman Islam dalam mengelola pluralitas yang begitu mengesankan disebabkan oleh syariahnya yang begitu universal. Dalam konteks syariah Islam atau negara yang mayoritas penduduknya muslim, sama sekali tidak relevan wacana dialog antaragama yang berkembang dewasa ini jika tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan, menghilangkan konflik dan demi mewujudkan perdamaian dunia. Mengapa? Karena penjagaan Islam atas pluralitas yang rukun dan harmonis sudah built in syariahnya. Tinggal persoalannya, apakah syariah itu diterapkan negara atau tidak.

6 comments

  1. iman ti bandung

    Opini yang luar biasa… Terima kasih.
    Dalam Islam, Beragama dan Bertoleransi adalah satu paket.

  2. Hanya Sistem Islam yang mampu menjamin & mengatur pluralitas di tengah masyarakat

  3. Sudah terbukti dan sudah banyak bukti bahwa ketika syariah dan khilafah diterapkan dan ditegakkan tidak memberangus pluralitas beragama bahkan menjamin orang-orang yang agama lain menjalankan ibadahnya masing2.

    Masihkan para penolak syariah dan khilafah menjadikan alasan jika syariah dan khilafah diterapkan dan ditegakkan akan memberangus pluralitas beragama?

    Sungguh syariah dan khilafah akan segera tegak!
    Allahu Akbar !!!

  4. opini yang bagus..
    Tolong Admin menyediakan fasilitas untuk dapat mengirim artikel artikel ini ke alamat e-mail lain,sehingga memperlancar dakwah…. jazakumullah khairan

  5. Fiqru Jayyid

    kalau Uslam sudah terbukti. biat apa cari selain Islam.

  6. Istilah “Dua Peluru” yg dibidikkan kpd kita diatas sangatlah dasyat. Ih bagaimana seandainya 2 pluru itu benar2 mengenai kita. ih ngeri..! Coba renungkan:

    Fitnah itu kan lebih kejam dari pembunuhan? Nah kita ternyata difitnah sebagai pembunuh yang teroris. Adakah yang lebih kejam dari fitnah membunuh?
    Padahal dimana2 kita dibunuh dan dibantai! Dan dimana2 diajarkan bahwa agama kita agama damai. tak mengenal Jihad. Kalo Jihad ya melawan hawa nafsu. maksudnya nafsu membalas penyerangan. Jihad yg tertinggi adalah menahan hawa nafsu. nafsu untuk bangkit dari kehinaan.
    Sambil menahan sakit diserang orang2 kafir, kita diajari,”sst sabar, mereka tuh ahlul kitab, anak Ibrahim juga, sst tahan,tahan, kita bersaudara!” sambil kita terus dipukuli, dilukai dan dibunuhi

    sambil terus difitnah pembunuh yg teroris…
    sambil terus dibunuhi..
    sambil terus diajari menahan hawa nafsu..
    sambil terus dibunuhi..
    sambil terus difitnah teroris..
    sambil terus dubunuhi, disiksa, dilecehkan, dihina
    sambil terus diajak berdialog

    Astaghfurullah.Kita telah diserang, dan perang.. baru akan dimulai. Sungguh tidak masuk akal membahas jihad melawan hawa nafsu. Padahal perang belum usai. Bahkan perang belum dimulai.

    mereka menyerang, maka jihad solusinya!
    mereka kuat dengan kapitalis, maka khilafah kekuatan kita!
    Tidakkah kita melihat bahwa mereka begitu gigih menyerang kaum muslimin dan gigih menyerang kebangkitan khilafah?

    Rapatkan barisan!
    Allahuakbar!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*