Oleh Muhammad Ismail Yusanto
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Meski belum ditetapkan sebagai fatwa, KH Ma’ruf Amien beberapa hari lalu menjawab pertanyaan wartawan dan ia menyebut berdosa bila orang kaya mengonsumsi BBM bersubsidi karena dianggap mengambil hak orang miskin. Benarkah?
Dalam perspektif Islam, minyak dan gas merupakan hak milik umum, baik orang kaya maupun miskin. Ini ditegaskan oleh Nabi dalam sejumlah hadis, antara lain, “Manusia bersyarikat (secara bersama memiliki) tiga hal: padang, air, dan api.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Karena ini merupakan milik umum, setiap orang, baik kaya maupun miskin, sama-sama berhak untuk menikmati barang milik umum tersebut. Keumuman lafaz “an-Nas” tetap berlaku dengan konotasi umum selama tidak ada dalil yang mengecualikannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan, al umumu yabqa bi umumihi ma lam yarid dalilut tahsis (Lafaz umum tetap dengan konotasi keumumannya selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususannya).
Tidak ada satu dalil pun yang mengecualikan keumuman lafaz/dalil tersebut. Maka, melakukan takhshish (pengkhususan) tanpa adanya mukhashish (lafaz/dalil yang mengkhususkan) jelas tidak boleh. Dengan demikian, mengkhususkan BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin sama dengan melakukan takhshish tanpa adanya mukhashish.
Maka, pandangan yang menyatakan bahwa BBM (bersubsidi) merupakan hak orang miskin dan karenanya orang kaya haram mengonsumsinya jelas tidak bisa diterima karena dalil syara’ menyatakan semua orang mempunyai hak yang sama, baik kaya maupun miskin. Alasan bahwa pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan bentuk pengaturan pemerintah untuk kemaslahatan publik sebagaimana kaidah tasharraful imami manutun bil mashlahah (Tindakan/kebijakan imam (khalifah/kepala negara) terikat dengan kemaslahatan rakyat) juga tidak bisa diterima.
Tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal ini harus dibedakan, antara tasyri’i (legislasi) dan ijra’i (administratif). Mengubah kepemilikan yang diatur syariah dari kepemilikan umum misalnya menjadi milik individu (privatisasi) jelas menyimpang dari ketentuan syariah karena telah mengubah ketentuan hukum. Demikian juga membatasi BBM tertentu hanya untuk orang miskin juga menyimpang dari ketentuan syariah.
Ini berbeda dengan tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal administratif, seperti peraturan lalu lintas, SIM, KTP dan sebagainya, maka tindakan ini merupakan bentuk pengaturan yang dibolehkan. Mengikuti dan mentaatinya wajib karena ini merupakan masalah administratif.
Akar masalah
Jika harus dikeluarkan fatwa, semestinya fatwa mengenai haramnya liberalisasi sektor migas. Rencana menghapus subsidi BBM jenis Premium dari tengah masyarakat ini sebenarnya merupakan bagian dari liberalisasi migas di mana hal ini sudah dirancang oleh pemerintah sejak Kementerian ESDM dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro dan bekerja sama dengan DPR kala itu hingga lahir UU No 22/2001.
Undang-undang ini sendiri didanai USAID, seperti dalam pengakuan mereka, “USAID telah membantu pembuatan draf UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi.”
Setelah UU ini disahkan, dalam rilisnya, USAID menyatakan telah menggelontorkan dana ke sejumlah LSM untuk mendukung rencana mereka. Pada tahun 2001, USAID merencanakan untuk menyediakan 850 ribu dolar AS (Rp 8,5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi, termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal.
Ternyata semua kebijakan penghapusan BBM jenis Premium ini merupakan dampak dari pencabutan subsidi BBM yang bertujuan untuk meliberalisasi sektor migas. Semuanya ini tak lain merupakan syarat dari utang yang diberikan Bank Dunia sebagaimana yang mereka rilis, “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi” (Indonesia Country Assistance Strategy- World Bank, 2001).
Dengan senang hati, pemerintah ketika itu mengikutinya sebagaimana tertuang dalam Me morandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan 2000). Juga ditegaskan dalam Me mo randum of Economic and Fi nancial Policies (LoI IMF, Juli 2001) “Pemerintah (Indo ne sia) berkomitmen penuh un tuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000.
Berbagai kebijakan liberalisasi migas yang digulirkan sejak tahun 2001 memang tidak bisa berjalan mulus. Meski kenaikan BBM terus merangkak sejak era Megawati, kemudian dilanjutkan pada era SBY-JK dengan menaikkan 100 persen lebih, ternyata masih belum cukup bagi pemain asing untuk menjalankan bisnis mereka.
Mereka pun terus mendesak SBY-Boediono untuk menjalankan agenda liberalisasi migas ini, antara lain, dengan mencabut subsidi BBM dan menghapus BBM Premium. Berbagai dalih pun dibuat, seperti “Sub sidi hanya untuk miskin”, “Ha ram orang kaya mengambil hak orang miskin”.
Liberalisasi pengelolaan migas jelas bertentangan dengan ketentuan syariah. Barang-barang milik umum ini semestinya tidak boleh dialihkan, baik sebagai milik ne gara nasionalisasi) maupun individu (privatisasi). Negara jadi pengelola hak milik umum ini agar sampai kepada pemiliknya dengan murah dan terjangkau.
Secara syar’i, memang tidak ada larangan bagi negara untuk menetapkan harga migas mengikuti harga pasar atau harga tertentu yang rasional, tetapi seluruh kebijakan tersebut bukan untuk keuntungan pemerintah (ne gara) atau asing (privat) kare na barang tersebut bukan milik mereka.
Jika pemerintah (negara) harus menempuh kebijakan yang kedua ini, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat melalui penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, termasuk jaminan terpenuhinya sandang, papan, dan pangan melalui pembukaan lapangan kerja yang memadai.
Sumber: Republika (11/7/2011)