Oleh : Muhammad Ishak (Lajnah Maslahiyyah DPP HTI)
Harga pangan dunia sepanjang tahun 2011 terus merangkak naik. Gandum misalnya pada bulan Mei telah naik 87% dari lalu sementara gula juga naik 85%. Kenaikan ini tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Di Indonesia harga beras, terigu, dan sembako lainnya juga meningkat signifikan. Sejak 2006-2010, inflasi bahan makanan di negeri ini telah mencapai 85%. Artinya harga bahan makanan selama lima tahun terakhir hampir naik dua kali lipat. Padahal peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat jelas tidak sepesat itu.
Akibat kenaikan harga pangan tersebut menurut perkiraan Bank Dunia sejak Juni tahun lalu telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebanyak 44 juta orang dengan standar di bawah $1.25 per hari. Dengan demikian jumlah penduduk miskin dunia kini hampir mencapai satu miliar orang. Dengan kata lain, satu dari tujuh orang di dunia ini adalah orang miskin.[i] Di Indonesia sendiri, penduduk miskin dan yang mendekati miskin mencapai 87, juta jiwa (36 persen).[ii] Lebih dari 60 persen dari pengeluaran mereka adalah untuk membeli pangan. Dengan demikian dapat dipastikan jika harga pangan mengalami kenaikan, mereka akan semakin tertekan.
Kenaikan harga pangan global dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain perubahan musim dan bencana alam. Australia yang sempat mengalami banjir dan Rusia yang ditimpa kekeringan membuat sempat membuat harga pangan khususnya gandum meningkat. Meski demikian pengaruh ini tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi supply dan harga pangan dunia mengingat kejadian tersebut bersifat temporal dalam beberapa bulan saja sementara kenaikan harga pangan dunia dunia telah berlangung sejak tahun 2007.
Kenaikan harga minyak mentah terutama akibat ketidakpastian politik di Timur Tengah, juga memberikan pengaruh pada peningkatan permintaan pangan. Hal ini karena sebagian komoditas seperti jagung dan gula dijadikan bahan pembuat ethanol yang menjadi alternatif bahan bakar minyak bumi. Di AS, misalnya 37 persen produksi jagung diolah menjadi ethanol. Meski demikian, faktor ini juga tidak dominan mempengaruhi harga. Pasalnya, jika memang demikian semestinya komoditas yang bukan bahan baku pembuat ethanol tidak ikut naik. Namun kenyataannya tidak demikian. Gandum, beras, dan kedelai misalnya juga terus naik padahal ia bukan bahan baku utama pembuatan energi alternatif.
Faktor Spekulasi
Faktor lain yang mempengaruhi kenaikan tersebut, bahkan dianggap sebagai faktor utama adalah meningkatnya perdagangan komoditas pangan di pasar berjangka. Sebagaimana diketahui bahwa komoditas pangan dan energi telah menjadi alternatif investasi portfolio seperti saham, obligasi dan properti. Rendahnya suku bunga sejak 2007 di negara-negara maju, belum stabilnya pasar finansial di kawasan Eropa dan AS akibat akibat krisis 2008 ditambah dengan krisis utang di negara-negara Eropa seperti Yunani, membuat para investor keuangan mengalihkan dana investasi mereka ke pasar komoditas. Pemerintah di negara-negara barat bukan tidak menyadari hal ini. Pada pertemuan G-20 lalu di Paris, Perdana Menteri Prancis bahkan telah menuding spekulasi komoditas pangan sebagai pemicu fluktuasi harga dan meminta adanya peningkatan regulasi di bursa tersebut. Sayangnya ide itu ditolak oleh negara-negara lain.[iii]
Kegagalan meregulasi pasar komoditas melengkapi kegagalan pemerintah negara-negara barat dalam mengatur sektor finansial yang sangat liberal. Sektor yang telah diamini sebagai pemicu utama krisis ekonomi 2008. Hal ini tidak dapat dilepaskan kuatnya lobi perusahaan finansial terhadap pengambil kebijakan di negara-negara barat. Perusahaan-perusahaan finansial seperti Goldman Sachs misalnya, yang juga banyak berinvestasi di bursa komoditas secara aktif melakukan pendekatan terhadap lembaga-pemerintah dan lembaga internasional agar tidak melakukan pengetatan regulasi terhadap bursa komoditas.[iv]
Padahal bursa komoditas, telah nyata membuat harga pangan naik berlipat-lipat. Sebagaimana halnya bursa saham, bursa komoditas telah memberikan peluang yang sangat terbuka kepada para investor yang didominasi spekulan untuk meraup keuntungan dengan melakukan transaksi spekulatif. Untuk komoditas minyak misalnya, kurang dari 30 persen transaksi di bursa dilakukan oleh pihak yang memang bertujuan untuk menggunakan atau memperdagangkan fisik minyak.[v] Para investor melalui broker akan membeli suatu komoditas jika diperkirakan harganya akan mengalami kenaikan dan menjual ketika harga diatas pembelian mereka. Sebaliknya mereka akan segera menjual jika harganya diperkirakan turun di masa datang tanpa perlu menerima komoditas yang diperdagangkan. Lebih dari itu, salah satu keunikan bursa berjangka (future) nilai transaksi bisa lebih tinggi dari modal dasar yang dimiliki seorang investor. Dengan demikian, semakin besar permintaan terhadap suatu komoditas maka harganya akan semakin melambung. Celakanya, transaksi perdagangan riil mengikuti harga yang dibentuk oleh bursa tersebut.
Masalah Distribusi
Meningkatnya harga pangan secara pasti berdampak pada meingkatnya jumlah orang yang kelaparan. Mereka yang miskin semakin sulit untuk mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Namun demikian, meskipun harga pangan mengalami kenaikan pesat bukan berarti stok pangan global mengalami kelangkaan. Yang terjadi justru sebaliknya, dalam 5 tahun terakhir tren produksi produk-produk pangan global terus meningkat. Produksi global masih jauh lebih tinggi dari total konsumsi, baik untuk makanan maupun non makanan. Ini terlihat dari besarnya surplus stok dari masing-masing komoditi. Pada 2010 misalnya, surplus sereal mencapai 490 juta ton atau 21% dari total produksi; surplus gandum sebesar 183 juta ton atau 19% dari total produksi; dan surplus beras sebanyak 137 juta ton atau 29% dari produksi. Bahkan surplus beras sejak tahun 2005 hingga 2010 terus mengalami peningkatan.[vi] Jika memang demikian, lalu mengapa di berbagai belahan dunia termasuk di negeri ini banyak yang mengalami kekurangan pangan?
Dalam sistem kapitalisme, negara tidak bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya pangan, sandang dan papan. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri. Pangan tetap dipandang sebagai komoditas yang memliki harga yang harus dibayar oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya.
Memang di negara-negara kapitalisme negara kadangkala melakukan intervensi dengan memberikan subsidi termasuk pangan. Namun demikian berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia misalnya ada program penjualan beras untuk orang miskin (raskin) dengan harga di bawah harga pasar. Tapi hal itu tidak menyelesaikan masalah. Kenyataanya subsidi tersebut disamping temporal, jumlahnya sangat terbatas–apalagi seringkali salah sasaran–sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin. Selain itu, bagi sebagian penduduk miskin, harga tersebut masih cukup mahal sehingga mereka tidak dapat menikmatinya secara persisten. Dengan demikian kebijakan tersebut memang tidak didesain untuk menjamin agar seluruh rakyat dapat menikmati pangan secara berkelanjutan. Tak heran jika dalam realitasnya banyak penduduk yang kekurangan pangan sehingga rentan penyakit.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga tidak pernah serius untuk membenahi ketergantungan kepada pangan impor. Padahal ketergantungan tersebut sudah sedemikian parah. Komoditas yang sangat tergantung pada impor antara lain: gandum (100%), susu (73%), gula (71%) daging sapi (26%), jagung (9%)[vii] dan kedelai (60%). Di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara ketergantungan tersebut malah lebih tinggi lagi. Hampir separuh dari kebutuhan pangan di kawasan tersebut dipasok dari luar negeri, seperti gandum (48%), jagung (67%), dan beras (43%).[viii] Di Mesir misalnya, 55% gandum yang dikonsumsi merupakan produk luar negeri dan merupakan komoditi impor terbesar kedua setelah minyak mentah. Akibatnya, naiknya harga pangan global langsung berefek pada mahalnya komoditas tersebut di dalam negeri.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah secara perlahan justru ‘mematikan’ sektor pertanian. Perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain atas asas perdagangan bebas seperti China-Asean Free Trade Agreement dan Asean-Australia-New Zealand Free Trade Agreement. dan telah membuat harga pangan impor menjadi lebih murah. Bukan saja karena bea masuk produk-produk impor tersebut dihilangkan namun juga biaya produksi komoditas tersebut lebih rendah karena kuatnya kebijakan negara eksportir dalam mendukung sektor pertanian mereka. Sementara di Indonesia subsidi untuk sektor pertanian terus dikurangi. Murahnya harga produk impor dan mahalnya input pertanian membuat instentif untuk bertani semakin rendah. Tak heran konvesi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri meningkat tajam.
Membiarkan hal tersebut, bukan saja akan mematikan para petani, namun dalam jangka panjang akan mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor. Padahal sangat jelas, ketergantungan impor tersebut sangat beresiko khususnya ketika terjadi gejolak eksternal. Penurunan produksi akibat bencana alam, melemahnya nilai tukar mata akan membuat harga meningkat. Namun lebih dari itu, jika negara eksportir memberlakukan boikot ekspor maka hal itu tentu sangat membahayakan negara importir.
Kegagalan Kapitalisme
Kenaikan harga pangan saat ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang telah menjadikan komoditas pangan sebagai barang spekulasi sehingga harga tidak lagi mencerminkan permintaan dan penawaran di sektor riil. Di bursa tersebut barang dapat diperjualbelikan secara spekulatif. Komoditas diperjualbelikan tanpa adanya penyerahan barang oleh pembeli atau harga oleh penjual sesaat setelah proses transaksi.[ix] Praktek-prektek demikian jelas sangat bertentangan dengan Islam dan oleh karenanya keberadaan bursa sebagaimana halnya sistem kapitalisme itu sendiri, merupakan sebuah kemungkaran.
Selain itu, negara gagal memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya termasuk pangan. Akibatnya banyak dari mereka yang kekurangan gizi hingga mati kelaparan. Hal ini diperparah dengan kebijakan pertanian di negara-negara muslim yang mengabaikan pengembangan sektor pertanian sehingga membuat negeri-negeri tersebut sangat tergantung pada impor.
Ini berbeda dengan sistem Islam yang telah menetapkan bahwa negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya per individu baik pangan, sandang dan papan. Di samping itu, negara juga didorong untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri melalui peningkatan produksi secara berkesinambungan. Lebih dari itu, politik pertanian negara bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat dan mengantisipasi bencana, namun juga untuk menjaga kemungkinan boikot negara-negara lain serta potensi kelaparan dari negeri-negari muslim lainnya.[x]
Walhasil, sistem kapitalisme merupakan biang kerok dari peningkatan harga-harga pangan secara tak terkendali dan membuat jutaan orang menderita kelaparan. Oleh karena itu, disamping secara i’tiqadi wajib diperjuangkan, secara empiris hanya sistem Islam dibawah khilafah Islamiyah yang mampu menyelesaikan persoalan pangan secara tuntas.[]
[i] World Bank (2011), World Bank Group Announces New Instrument to Help Food Producers and Consumers in Developing Nations Deal with Volatile Prices. www.worldbank.org. Diakses 27 Juni 2011.
[ii] Penduduk miskin menurut BPS per Juli 2011 dengan pendapatan kurang dari Rp 233 ribu sebanyak 30,02 juta jiwa (12,49%). Sementara penduduk yang mendekati miskin dengan pendapatan diatas garis kemiskinan hingga 250 ribu mencapai 57,15 jita jiwa (23,78%).
[iii] Bloomberg (2011), “Sarkozy’s Fight Against Agriculture Speculators Moves to Finance Ministers.” www.bloomberg.com. Diakses 25 Juni 2011.
[iv] Institute for Agriculture and Trade Policy, (2008), Commodities Market Speculation: The Risk to Food Security and Agriculture, hlm. 9
[v] Ibid. hlm. 9
[v] Lihat: FAO (2011), Food Outlook June 2011.[vi] Ibid. hlm 1-6
[vii] Ibid.hlm 70-95
[viii] World Bank, 2011. World Bank Middle East and North Africa Region Regional Economic Update May 2011, hlm. 50.
[ix] Lebih lanjut lihat: Yusuf Sabatin (2002), Al-Buyu’ al-Qadimah wal-Mu’ashirah, wal Bursha al-Mahalliyah wal Dauliyah. Beirut: Darul Bayariq, hal. 75
[x] Abdurrahman Al-Maliky (1963), As-Siyasah Al-Iqtishadiyah al-Mutshala, Hizbut-Tahrir, hlm. 76